Konsep
Keadilan Gender
dalam
Perspektif Mansour Fakih
Diajukan
Guna Memenuhi
Ujian
Akhir Mata Kuliah: Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam
Dosen
Pengampu: Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Disusun
Oleh:
Imam
Muslim 134111028
JURUSAN
AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Selama
manusia hidup, tentu tidak akan pernah lepas dengan apa yang namanya problema
kehidupan. Begitu juga dengan permasalahan gender khususnya perempuan yang akan
terus bermunculan menurut kebenaran dan keadilan bagi kaumnya.
Permasalahan-permasalahan gender dan perempuan khususnya, yang paling sering terjadi
adalah mengenai penindasan, eksploitasi, kekerasan dan permasalahan hak, baik
itu di dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Istilah
gender sendiri, masih relatif baru dalam tradisi kamus sosial, politik, hukum
dan terutama agama di Indonesia. Di sisi lain kata gender masih cenderung
dipahami secara rendah (Pejoratif), Banyak orang yang masih sangat
antipati terhadap istilah gender. Kata gender bagi mereka adalah, bernuansa
semangat pemberontakan kaum perempuan yang diadopsi dari nilai-nilai barat yang
tidak bermoral dan tidak religius. Perbincangan
tentang feminisme atau gender karena di sebakan oleh adanya ketimpangan yang
terjadi di masyarakat tentang perbedaan peran laki dan perempuan, dimana laki-laki
lebih memiliki superior atas perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Bahkan dalam peran dunia politik dan publik masih banyak di pimpin oleh laki
dari pada perempuan. Sementara perempuan lebih banyak berperan dalam level
domestik baik sebagai istri maupun ibu rumah tangga.[1]
Jauh dari apa yang sudah terlanjur dituduhkan
banyak orang mengenai isu gender selama ini, sesungguhnya diskursus gender
mempersoalkan keadilan dan kebebasan dalam masyarakat, terutama dalam hubungan
sosial, kultural, hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan. oleh karena
itu, suatu hal yang harus ditegaskan bahwa pemikiran tentang keadilan gender,
pada intinya hanya ingin memahami, mendudukkan dan menyikapi relevansi antara
laki-laki dan perempuan secara lebih proposional dan lebih berkeadilan, karena
laki-laki dan perempuan, juga sama-sama sebagai hamba Tuhan.
Konsep
gender sendiri sebetulnya sangat sederhana walaupun pemahamannya sering
dikaburkan dengan pengertian jenis kelamin (sexs). Maka untuk memahami keduanya, pengertian sex (jenis kelamin)
dan gender harus di bedakan, sex merupakan pembagian dua jenis kelamin
manusia yg di tentukan secara biologis.[2]
Dan gender lebih pada fungsi dan peran masing-masing.
Jenis
kelamin adalah konsep biologis sebagai identitas yang membedakan antara
laik-laki (jantan) dan perempuan (betina). Identitas jenis
kelamin (sex) dikonstruksikan secara alamiah, kodrati, yang merupakan
pemberian khusus (distingtif) yang kita bawa sejak lahir. Karena itu,
jenis kelamin mempunyai sifat yang tetap, permanen, dan Universal. Sedangkan
gender adalah seperangkat atribut dan peran sosial-kultural yang menunjukan
kepada orang lain, bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Gender bersifat
dinamis sesuai dengan ruang dan waktu, karena gender di kontruksikan pada nilai-nilai sosio-kultural.
Dalam
kaitannya di atas, teks dan doktrin keagamaan sering dijadikan sebagai tempat
berlindung dan acuan utama untuk merumuskan pemikiran tentang keadilan gender. Menurut
Mansour Fakih, pendidkan merupakan hak asasi manusia dan manjadi alat yang
sangat penting untuk mencapai kesetaraan, pengembangan dan kedamaian.
Pendidikan
yang tidak diskriminatif akan bermanfaat bagi perempuan maupun laki-laki,
terutama untuk menyatakan hubungan di antara keduanya. Untuk menjadi agen
perubahan sosial (agen social of change), perempuan harus memiliki akses
yang adil dalam berkesempatan mengenyam pendidikan. Melek huruf bagi perempuan,
merupakan kunci untuk meningkatkan pendidikan dan memberdayakan perempuan, agar
bisa berpartisipasi dalam masyarakat. Namun dalam realitas yang ada masih
banyak hal yang mengedepankan prinsip kesetaraan gender masih dirasa minim,
bahkan kaum perempuan masih banyak yang tertindas.
Oleh karena itu, akan sangat menarik untuk
mengkaji lebih dalam tentang konsep keadilan gender perspektif Mansour Fakih
yang dikenal sangat kritis dalam merespon realitas masyarakat dan tafsir-tafsir
kebijakan gender yang masih diskriminatif. Karya ilmiah ini dimaksudkan untuk mendalami
pemikiran Mansour Fakih mengenai konsep keadilan gender untuk menganalisis
keadilan gender dalam realitas Sosial. Selain itu, penulis ingin merelevansikan
konsep keadilan gender Mansour Fakih dalam di era modern, sehingga diharapkan
ada sebuah pemahaman yang kontekstual
terhadap pemaknaan gender dalam kehidupan sosial
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi dan latar belakang Mansour Fakih?
2.
Apa
karya-karya Mansour Fakih?
3.
Bagaimana
kontruksi pemikiran Mansour Fakih?
4.
Bagaimana
relevansi dan kontektualisasi pemikiran Mansour Fakih di kehidupan Modern?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana biografi dan latar belakang Mansour Fakih
2.
Untuk
mengetahui karya-karya Mansour Fakih
3.
Untuk
mengetahui kontruksi pemikiran Mansour Fakih
4.
Untuk
mengetahui relevansi dan kontektualisasi pemikiran Mansour Fakih di era modern
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
dan Latar Belakang Mansour Fakih
1.
Riwayat hidup Mansour Fakih
Mansour Fakih adalah seorang sosok laki-laki kelahiran
Bojonegoro pada tanggal 10 Oktober 1954, beliau memperoleh gelar sarjananya
dari Fakultas Ushuludin (Islamic theologi) IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,
Master of Education dan Doctor of Education dari Center for International Education, School of Education, University of Massachusetts at Amherst (UMASS, USA). Pada Tahun 1993-1997. Mansur Fakih sempat menjabat sebagai country representative of OXFAM United Kingdom and Ireland mewakili Indonesia, yang bertugas untuk mengembangkan program pengembangan masyarakat dengan perspektif gender dan hak asasi manusia (HAM).
Master of Education dan Doctor of Education dari Center for International Education, School of Education, University of Massachusetts at Amherst (UMASS, USA). Pada Tahun 1993-1997. Mansur Fakih sempat menjabat sebagai country representative of OXFAM United Kingdom and Ireland mewakili Indonesia, yang bertugas untuk mengembangkan program pengembangan masyarakat dengan perspektif gender dan hak asasi manusia (HAM).
Keterlibatannya
di dunia aktivis, terutama kaitannya dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), telah digelutinya sejak Tahun 1997, ketika terlibat aktif sebagai
fasilitator dan pendidik HAM.
Pada saat yang sama, Mansour Fakih menjadi gender
training
specialist and management consultant, CIDA-Woman Support Project pada Tahun 1997 - 2001. Sejak Tahun 2001 menjadi Direktur dari Institut for Social Transformation (INSIST PRESS) Yogyakarta dan juga Senior
Researcher of Institut of Development Studies, University of Sussex, Brighton
UK. Selain menjadi Ketua Sub Komisi Penyuluhan Komnas HAM, Mansour Fakih juga mengajar pada Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
specialist and management consultant, CIDA-Woman Support Project pada Tahun 1997 - 2001. Sejak Tahun 2001 menjadi Direktur dari Institut for Social Transformation (INSIST PRESS) Yogyakarta dan juga Senior
Researcher of Institut of Development Studies, University of Sussex, Brighton
UK. Selain menjadi Ketua Sub Komisi Penyuluhan Komnas HAM, Mansour Fakih juga mengajar pada Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2.
Latar belakang pemikiran Mansour Fakih
Mansour Fakih dikenal sebagai pendamping masyarakat (community
organizer), fasilitator berbagai pelatihan pengembangan masyarakat dan konsultan pengembangan organisasi kemasyarakatan sejak tahun 1978. Dalam kehidupannya, Mansour Fakih tidak tumbuh dari laboratorium sepi dan menara gading intelektual yang angkuh. Mansour Fakih tumbuh dari dialektika teori dan praktik, bersama teman-temannya dari gerakan aktivis, dia menekuni bidang pembangunan, lingkungan, pembaharuan agraria, keadilan gender, kaum cacat dan lain-lain.
organizer), fasilitator berbagai pelatihan pengembangan masyarakat dan konsultan pengembangan organisasi kemasyarakatan sejak tahun 1978. Dalam kehidupannya, Mansour Fakih tidak tumbuh dari laboratorium sepi dan menara gading intelektual yang angkuh. Mansour Fakih tumbuh dari dialektika teori dan praktik, bersama teman-temannya dari gerakan aktivis, dia menekuni bidang pembangunan, lingkungan, pembaharuan agraria, keadilan gender, kaum cacat dan lain-lain.
Lembaga pendidikan bagi Mansour Fakih, hanyalah proses
menjinakkan peserta didik dan sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk
berpikir kreatif, pendidikan yang terbaik adalah yang berada di tengah-tengah
masyarakat, dikalangan petani dan buruh, yaitu Pendidikan yang membebaskan,
sebuah tema yang tentu saja sangat asing. Pemikirannya mengenai pesantren
sangatlah menarik, ia yakin benar bahwa pesantren memiliki kekuatan yang luar
biasa untuk membantu kelompok-kelompok yang dilemahkan dalam masyarakat,
terutama di sekitar 17 pesantren, karena pesantren adalah sub-kultur, yang
memiliki kekuatan tersendiri dalam kebudayaan besar Indonesia.
Sayangnya potensi ini tidak pernah tergali, justru
pesantren menyedot secara terus menerus sumber daya ekonomi masyarakat
sekitarnya untuk mendukung aktivitas-aktivitas di dalam pesantren. Mansour
Fakih juga membahasakan gender dengan agenda kemanusiaan yang bisa
meminimalisir resistensi sebagian mereka, bahwa gender adalah paket dari Barat
atau program dari orang-orang Yahudi. Dia juga menyakinkan bahwa laki-laki
harus ikut bertanggung jawab untuk menyudahi ketidakadilan gender ini. Mansour
Fakih banyak menulis buku mengenai pendidikan, hak asasi manusia (HAM),
gender dan berbagai permasalahan LSM di Indonesia.
B.
Karya-karya
Mansour Fakih
a)
Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi
b)
Analisis Gender dan Transformasi Sosial
c)
Jalan Lain;Manifesto Intelektual Organik
d)
Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat
e)
Pergolakan Ideologi LSM Indonesia
f)
Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial
g)
Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial
h)
Human Rights Watch
i)
Landreform di Pedesaan
j)
Pendidikan Popular”, dan lain-lain.
C.
Kontruksi
Pemikiran Mansour Fakih tentang Keadilan Gender
1. Konsep gender dan keadilan gender
Makna gender banyak disalah pahami, Gender di pahami sebagai sebuah kontruksi sosial tentang relasi
laki-laki dan perempuan yang di kontruksikan oleh sistem dimana keduanya
berada. Dalam kenyataan kontruksi sosial dikontruksikan oleh kekuasaan, baik
politik, ekonomi, sosial, kultural, maupun fisikal, karena sebagaimana
kenyataan kekuasaan adalah identik dengan kepemimpinan.[3]
Salah satu hal yang penting adalah konsep relasi antar individu di dalam sebuah
komunitas. Konsep relasi terpilah menjadi dua: konsep relasi tanpa membedakan
jenis kelamin dan konsep relasi yang membedakan jenis kelamin.
Apabila gender dimaknai sebagai relasi hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang ditentukan oleh sistem,
maka makna gender sudah mulai bergeser. Oleh karena itu, perlu di pahami
bahwa perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat
tuhan yang secara permanen berbeda dengan pengertian gender.[4]
Gender
merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki
dan perempuan yang dikontruksi secara sosial[5],
yakni perbedaan perilaku yang bukan ketentuan tuhan melainkan di ciptakan oleh
manusia (bukan kodrat), akan tetapi
melalui proses sosial dan kultural yang panjang .
Gender bukanlah kodrat tuhan, melainkan berkaitan dengan proses
keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki bertindak sesuai dengan tata nilai
yang terstruktur, mulai ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Gender
adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak,
perilaku, yang di bentuk dalam struktur sosial masyarakat tersebut.[6]
Arti lain bahwa gender sebagai suatu yang melekat pada laki-laki atau perempuan
yang dikontruksi secara sosial-kultural. Misalnya; bahwa perempuan itu dikenal
lemah lembut, cantik, emosional. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,
jantan. Ciri dari sifat itu sendiri
merupakan sifat yang bisa di pertukarkan.[7]
Definisi
keadilan gender adalah sebuah konsep kultural
yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat[8]. Proses keadilan sangat terkait dengan
pemenuhan hak-hak seseorang setelah dipenuhinya beberapa kewajiban.
Dalam konteks gender, keadilan berarti telah terpenuhinya hak-hak
seseorang perempuan menurut ketentuan yang berlaku, setelah
dilaksanakannya beberapa kewajiban sebagaimana layaknya seorang
perempuan, baik sebagai Ibu, Isteri dan sebagai pendidik.
yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat[8]. Proses keadilan sangat terkait dengan
pemenuhan hak-hak seseorang setelah dipenuhinya beberapa kewajiban.
Dalam konteks gender, keadilan berarti telah terpenuhinya hak-hak
seseorang perempuan menurut ketentuan yang berlaku, setelah
dilaksanakannya beberapa kewajiban sebagaimana layaknya seorang
perempuan, baik sebagai Ibu, Isteri dan sebagai pendidik.
Namun dalam
realita banyak ketimpangan gender, yaitu
adanya subordinasi yaitu sikap yang menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak penting, dan munculnya anggapan bahwa perempuan emosional dan
irrasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, hal ini merupakan bentuk
subordinasi yang dimaksud.
Isu gender
dalam dunia pesantren juga sedikit tabu,
karena sangat minim di kembangkan dan di sosialisasikan, karena di
dominasi kiai. Adanya kesenjangan yang mencolok anatara kiai dan ustadz dalam wacana
gender. Hal ini menunjukkan rendahnya sensitivitas wacana gender di dunia
pesantren sebagai pusat pendidikan dan
agama.[9]
Dunia pesantren yang seharusnya juga mendapat perhatian lebih terhadap isu
gender agar dalam dunia pesantren nantinya memberikan orientasi yang
diskriminatif terhadap perempuan.
Alasan-alasan
mengapa wacana gender masih minim berkembang di dunia pesantren adalah, Pertama;
pesantren adalah lembaga sosial yang yang diciptakan oleh kiai dan ustadz
sebagai kontributor utama. Kedua; posisi dan peran perempuan dalam dunia
pesantren di anggap tidak penting, subordinatif, atau tidak relevan. Ketiga;
pesantren di pandang tidak menghasilkan implikasi-implikasi sosial-politik yang
khusus bagi kehidupan perempuan, maka hal itu di anggap tidak penting bagi
kehidupan sosial-keagamaan pada konteks yang lebih luas.
Dari adanya
perbedaan gender ini, menurut Mansour Fakih menyebabkan adanya ketidakadilan
gender terutama bagi perempuan, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan
ekonomi seperti kebijakan pemerintah yang diskriminatif, tafsir agama,
keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu penegtahuan., adanya subordinasi
atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, kekerasan, beban kerja
ganda.[10]
Dari
ketidakadilan yang muncul di masyarakat sosial maka bagi Mansour Fakih sebagai
kontruksi pemikirannya tentang keadilan gender adalah perlu adanya pemahaman
yang relevan dan kontekstual dalam memaknai kata gender. Karena bagi analisa
penulis, Mansour Fakih melihat realita dilapangan sudah sangat tidak relevan
dengan konsep gender yang semestinya. Makna gender yang seharusnya berusaha
membagi peran, fungsi dan kedudukan masing-masing dan masih bersifat dinamis.
Akan tetapi masih ada diskriminatif atau ketidakadilan gender yang malah
mendiskriditkan perempuan. Hal inilah yang menurut penulis, bahwa kontruksi
pemikiran kritis atas ketidakadilan gender perlu di tegakkan agar makna gender dapat
sesuai dengan makna dan konteks yang pas dengan zamannya.
Ketidakadilan
terhadap perempuan yang dianggap bahwa beban-beban kerja perempuan hanya
domestik sebagai kodrat tuhan dan perempuan tidak bisa masuk pada bidang-bidang
seperti yang mencolok adalah politik, itu di anggap sebagai hal yang salah atau
tidak pas dengan makna gender yang semestinya.
2. Analisa Gender dan Tafsir Agama
a.
Pandangan
Agama yang Membebaskan dan Transformasi Sosial
Dewasa
ini agama mendapat masalah, karena di anggap sebagai biang masalah bahkan
kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Dalam hal ini
Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi sosial menjelaskan
bahwa dalam memahami konteks Islam perlu di telaah secara mendalam berkenaan
dengan prinsip ideal Islam dalam memposisikan perempuan. Mansour Fakih memaparkan
bahwa ada spirit yang di bawa Islam untuk memperjuangkan perempuan yang
sebelumnya perempuan dianggap tidak berguna bahkan di bunuh sejak kecil.
Dari sini perlu diketahui bahwa
gambaran kedudukan perempuan dalam Islam atau dalam al-Qur’an mengakui
kedudukan keduanya antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya
diciptakan dari satu nafs, dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap
yang lain. Dengan demikian bahwa dapat dikatakan hak istri adalah sama dengan
hak suami.[11]
Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan
selain dalam hal pengambilan keputusan, juga dalam hak ekonomi, yakni untuk
memiliki harta kekayaan. Baik itu pewarisan atau usaha sendiri. Dalam tafsir
keagamaan tetap memegang peran penting dalam melegitimasi dominasi atas kaum
perempuan. Persoalannya adalah mengapa al-Qur’an seolah-olah menempatkan
kedudukan laki-laki di atas perempuan. Ali Engineer mengusulkan dalam memahami
ayat yang berbunyi “laki-laki adalah pengelola atas perempuan”,
hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial
masyarakat pada saat itu, dan bukan ajaran.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
laki-laki sebagai manager rumah tangga, tapi bukan berarti harus menguasai dan
memimpin perempuan. Maka dari itu teks agama perlu di pahami dan di hayati
maupun melihat konteks diturunkannya ayat tersebut agar tidak salah tafsir dan
salah pemahaman. Terkait bolehkah perempuan menjadi pemimpin atau kepala negara
tidak ada ayat yang jelas melarang. Walaupun ada riwayat hadis ahad riwayat Abu
Bakar yang melarang, tapi setelah itu dalam perang uhud Aisyah istri nabi
menjadi pemimpin pasukan, mengapa Abu Bakar tidak melarang. Maka dari itu,
lagi-lagi dalam pemaknaan teks perlu di pahami kembali konteknya, tidak
langsung menjustis tanpa tau terlebih dahulu maksud dan kandungan teks.
b.
Pendekatan
Tafsir Agama dengan Perspektif Gender
Pada dasarnya agama-agama termasuk Islam mengajarkan
prinsip keadilan, al-Qur’an sebagai prinsip –prinsip dasar atau pedoman moral
tentang keadilan yang mencakup berbagai
anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik, kultural maupun
keadilan gender.
Persoalan muncul
ketika masyarakat berkembang dan jenis ketidakadilan juga berkembang seiring
perkembangan zaman. Dalam hal ini guna memahami dan menganalisis tentang apa
yang adildan apa yang tidak adil serta bagaimana mekanisme ketidakadilan yang
menjadi prinsip dasar agama. Maka dari itu seseorang membutuhkan pisau
analisis.[12]
Dalam memahami teks untuk ajaran moral agama yang bersifat prinsipil, mesti
membutuhkan analisis sosial dan kontekstual.
Pisau analisis
gender juga sangat berguna jika digunakan untuk memahami teks, karena tidak
hanya pendekatan sosial saja dalam memahaminya. Penafsiran terhadap dalil yang
bersifat dzanniyah dengan menggunakan analisis dan perspektif gender
perlu dilakukan. Implikasi dari penafsiran tersebut adalah kemungkinan
dilakukannya rekontruksi fikih yang menjadi landasan perilaku umat Islam.
Tafsir dan fikih perempuan , yakni bukan saja tafsir dan fikih yang dilahirkan
kaum perempuan sendiri, melainkan tafsir dan fikih yang telah menggunakan
pendekatan analisis dan perspektif gender.
Karena dengan demikian, adanya obyektifitas terhadap
realitas yang ada, tidak ada diskriminatif dan subordinasi kepada satu kelompok
saja yang pada akhirnya akan memberikan masalah pada integrasi umat dan
ketidakadilan sosial.
c.
Identifikasi
Masalah Agama yang Strategis
Dengan
adanya gagasan gender sebagai respon realitas yang ada di masyarakat, maka ada
beberapa unsur permasalahan tafsiran keagamaan yang strategis agar mendapat
perhatian untuk dilakukannya kajian mendalam. Pertama, yang menyangkut
persoalan subordinasi kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang tidak
subordinatif terhadap laki-laki. Padahal
Islam mengajarkan prinsip keadilan, maka hal ini penting untukdi identifikasi
kembali tafsiran-tafsiran yang ada agar seimbang dan tidak memberatkan salah
satu pihak.
Dalam
QS. Al-Hujurat: 14 dijelaskan bahwa teks telah mengajarkan pada kita bahwa kaum
perempuan tidaklah subordinatif terhadap laki-laki. Hal demikian juga di dukung beberapa ayat
lain seperti; Qs. At Taubah:71, an-Nisa:123, Ali Imron: 195, an-Nahl: 97.
Kedua, pemahaman yang bias gender selain meneguhkan
subordinasi perempuan, juga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian
yang dianggap sudah tidak relevan, karena jika prinsip keadilan gender maka
dalam hal waris laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat satu bagian, sebagai
unsur dalam semangat kesetaraan gender.
Ketiga, perempuan juga berhak memperoleh jaminan
keselamatan dan kesehatan, hak untuk memilih pasangan hidup tanpa ada paksaan dari
orang tua, hak untuk menikmati maupun menolak hubungan seksual.
Maka dari itu, menurut Mansour Fakih bahwa tafsiran agama
mempunyai posisi strategis dalam melanggegkan ketidakadilan gender, yaitu dalam
usaha menegakkan keadilan gender. Strategi advokasi untuk usaha penyadaran dan
penafsiran dengan pendekatan-pendekatan terhadap teks agar terjadi penafsiran
yang sesuai dengan konteks zaman.
D.
Relevansi
dan Kontektualisasi Pemikiran Mansour Fakih di Kehidupan Modern
Relevansi dari apa yang di gagas oleh Mansour Fakih di
kehidupan modern ini, setidaknya sebagai solusi yang solutif
terhadap realitas masyarakat yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Gagasan kesetaraan gender juga pernah di gagas Aminah Wadud yang
sampai bertindak menjadi Imam bagi laki-laki saat shalat jum’at. Dalam hal ini
penulis berusaha mengungkap hal yang ingin di wujudkan oleh Aminah Wadud. Dalam
hal ini menurut analisa penulis adalah prinsip keadilan gender terlepas
benar/salah, namun semangat untuk menegakkan paradigma keadilan gender bahwa
perempuan juga dapat menjadi pemimpin agama, politik maupun ekonomi.
Di era modern ini,
walaupun masih sangat minim porsi perempuan yang juga ikut terjun ke dunia
politik dalam kontestasi menjadi pemimpin daerah, juga menunjukkan
semangat progresifitas yang sebelumnya wanita hanya hanya memiliki prinsip macak,
manak, masak. Namun di era modern ini, perempuan juga sudah ikut mengambil
bagian dalam ranah politik baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dari
fakta yang ada, perempuan ternyata telah mampu menjalankan tugasnya sebagai
pemimpin atau wakil rakyat.
Hal ini setidaknya
sangat relevan sekali sebagai respon isu keadilan atau kesetaraan gender. Dan
penafsiran yang subordinatif terhadap perempuan sudah selayaknya di kaji ulang.
Selain itu juga banyak wanita karier yang mampu mengangkat ekonominya sendiri sebelum
menikah ataupun setelah menikah. Artinya apa bahwa paradigma mendiskriditkan
perempuan dan tafsir yang demikian sudah tidak relevan dan perlu di kaji ulang
sesuai konteks dan realitas yang ada di masyarakat modern ini. Karena zaman
juga sudah mendukung perkembangan perempuan untuk sukses berkarier, banyak
peluang yang bisa mereka pakai untuk mewujudkan cita-cita mereka di zaman yang
perkembangan IPTEK sudah sangat maju ini.
BAB
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Isu gender sudah terjadi dialektika panjang dalam upaya
penyelesaiannya, hal mendasar yang perlu dipahami di masyarakat adalah
paradigma pemahaman terhadap konsep gender yang salah kaprah. Yang masih
memahami konsep gender seperti konsep biologis atau jenis kelamin.
Maka dari itu rekontruksi pemahaman agar sesuai dengan makna gender
perlu dilakukan, bahwa gender tidak hanya dalam hal biologis saja, tapi masalah
peran, fungsi dan kedudukannya dalam sosial, poitik, maupun kultural.
Jadi, gender adalah berkaitan dengan pembedaan perilaku dan
pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku,
yang di bentuk dalam struktur sosial masyarakat.
b.
Saran
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi bagi pembaca,
dan dapat memberikan gagasan yang sangat berguna bagi pembaca, dan harapannya
mampu memberikan hasanah keilmuan yang menggugah paradigma pemikiran pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Fakih, Mansour,
Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997
Marhumah, Ema, Kontruksi
Gender di Pesantren; studi kuasa kiai atas wacana perempuan, Yogyakarta:
Lkis Yogyakarta, 2010
Nugroho, Riant,
Gender dan Strategi pengarus-Utamanya di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008
Shihab, Quraish,
Membincang Persoalan Gender, Semarang: Rasail Media Group, 2013
Umar,
Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur'an, Jakarta:
Paramadina pers, 2001
[1] Prof. Quraish Shihab, Membincang Persoalan Gender, (Semarang:
Rasail Media Group, 2013), cet. I, hal 2
[2] Dr. Riant Nugroho, Gender dan Strategi pengarus-Utamanya di
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal.2
[3] Dr. Riant Nugroho, Gender
dan Administrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I,
hal.19
[4] Dr. Riant Nugroho, Gender
dan Administrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal.32
[5] Dr. Mansour Fakih, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II,
hal. 71
[6] Dr. Riant Nugroho, Gender
dan Administrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal.33
[7] Dr. Mansour Fakih, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet.
II, hal. 8
[8] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender:
Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina pers, 2001), hal. 33-34
[9] Dr. Ema Marhumah, Kontruksi Gender di Pesantren; studi kuasa kiai
atas wacana perempuan, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2010), cet. I, hal. 5
[10] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II, hal. 12-13
[11] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II, hal.130
[12] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II, hal.135
0 komentar:
Posting Komentar