Selasa, 12 Januari 2016

Keadilan atau kesetaraan gender



Konsep Keadilan Gender
dalam Perspektif Mansour Fakih

Diajukan Guna Memenuhi
Ujian Akhir Mata Kuliah: Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag













Disusun Oleh:

Imam Muslim              134111028



JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Selama manusia hidup, tentu tidak akan pernah lepas dengan apa yang namanya problema kehidupan. Begitu juga dengan permasalahan gender khususnya perempuan yang akan terus bermunculan menurut kebenaran dan keadilan bagi kaumnya. Permasalahan-permasalahan gender dan perempuan khususnya, yang paling sering terjadi adalah mengenai penindasan, eksploitasi, kekerasan dan permasalahan hak, baik itu di dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Istilah gender sendiri, masih relatif baru dalam tradisi kamus sosial, politik, hukum dan terutama agama di Indonesia. Di sisi lain kata gender masih cenderung dipahami secara rendah (Pejoratif), Banyak orang yang masih sangat antipati terhadap istilah gender. Kata gender bagi mereka adalah, bernuansa semangat pemberontakan kaum perempuan yang diadopsi dari nilai-nilai barat yang tidak bermoral dan tidak religius. Perbincangan tentang feminisme atau gender karena di sebakan oleh adanya ketimpangan yang terjadi di masyarakat tentang perbedaan peran laki dan perempuan, dimana laki-laki lebih memiliki superior atas perempuan dalam segala aspek kehidupan. Bahkan dalam peran dunia politik dan publik masih banyak di pimpin oleh laki dari pada perempuan. Sementara perempuan lebih banyak berperan dalam level domestik baik sebagai istri maupun ibu rumah tangga.[1]
 Jauh dari apa yang sudah terlanjur dituduhkan banyak orang mengenai isu gender selama ini, sesungguhnya diskursus gender mempersoalkan keadilan dan kebebasan dalam masyarakat, terutama dalam hubungan sosial, kultural, hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan. oleh karena itu, suatu hal yang harus ditegaskan bahwa pemikiran tentang keadilan gender, pada intinya hanya ingin memahami, mendudukkan dan menyikapi relevansi antara laki-laki dan perempuan secara lebih proposional dan lebih berkeadilan, karena laki-laki dan perempuan, juga sama-sama sebagai hamba Tuhan.
Konsep gender sendiri sebetulnya sangat sederhana walaupun pemahamannya sering dikaburkan dengan pengertian jenis kelamin (sexs). Maka untuk memahami keduanya, pengertian sex (jenis kelamin) dan gender harus di bedakan, sex merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yg di tentukan secara biologis.[2] Dan gender lebih pada fungsi dan peran masing-masing.
Jenis kelamin adalah konsep biologis sebagai identitas yang membedakan antara laik-laki (jantan) dan perempuan (betina). Identitas jenis kelamin (sex) dikonstruksikan secara alamiah, kodrati, yang merupakan pemberian khusus (distingtif) yang kita bawa sejak lahir. Karena itu, jenis kelamin mempunyai sifat yang tetap, permanen, dan Universal. Sedangkan gender adalah seperangkat atribut dan peran sosial-kultural yang menunjukan kepada orang lain, bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Gender bersifat dinamis sesuai dengan ruang dan waktu, karena gender di kontruksikan pada  nilai-nilai sosio-kultural.
Dalam kaitannya di atas, teks dan doktrin keagamaan sering dijadikan sebagai tempat berlindung dan acuan utama untuk merumuskan pemikiran tentang keadilan gender. Menurut Mansour Fakih, pendidkan merupakan hak asasi manusia dan manjadi alat yang sangat penting untuk mencapai kesetaraan, pengembangan dan kedamaian.
Pendidikan yang tidak diskriminatif akan bermanfaat bagi perempuan maupun laki-laki, terutama untuk menyatakan hubungan di antara keduanya. Untuk menjadi agen perubahan sosial (agen social of change), perempuan harus memiliki akses yang adil dalam berkesempatan mengenyam pendidikan. Melek huruf bagi perempuan, merupakan kunci untuk meningkatkan pendidikan dan memberdayakan perempuan, agar bisa berpartisipasi dalam masyarakat. Namun dalam realitas yang ada masih banyak hal yang mengedepankan prinsip kesetaraan gender masih dirasa minim, bahkan kaum perempuan masih banyak yang tertindas.
 Oleh karena itu, akan sangat menarik untuk mengkaji lebih dalam tentang konsep keadilan gender perspektif Mansour Fakih yang dikenal sangat kritis dalam merespon realitas masyarakat dan tafsir-tafsir kebijakan gender yang masih diskriminatif. Karya ilmiah ini dimaksudkan untuk mendalami pemikiran Mansour Fakih mengenai konsep keadilan gender untuk menganalisis keadilan gender dalam realitas Sosial. Selain itu, penulis ingin merelevansikan konsep keadilan gender Mansour Fakih dalam di era modern, sehingga diharapkan ada sebuah pemahaman yang kontekstual  terhadap pemaknaan gender dalam kehidupan sosial
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana biografi dan latar belakang Mansour Fakih?
2.         Apa karya-karya Mansour Fakih?
3.         Bagaimana kontruksi pemikiran Mansour Fakih?
4.         Bagaimana relevansi dan kontektualisasi pemikiran Mansour Fakih di kehidupan Modern?
C.      Tujuan Penulisan
1.         Untuk mengetahui bagaimana biografi dan latar belakang Mansour Fakih
2.         Untuk mengetahui karya-karya Mansour Fakih
3.         Untuk mengetahui kontruksi pemikiran Mansour Fakih
4.         Untuk mengetahui relevansi dan kontektualisasi pemikiran Mansour Fakih di era modern
















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi dan Latar Belakang Mansour Fakih
1.      Riwayat hidup Mansour Fakih
Mansour Fakih adalah seorang sosok laki-laki kelahiran Bojonegoro pada tanggal 10 Oktober 1954, beliau memperoleh gelar sarjananya dari Fakultas Ushuludin (Islamic theologi) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Master of Education dan Doctor of Education dari Center for International Education, School of Education, University of Massachusetts at Amherst (UMASS, USA). Pada Tahun 1993-1997. Mansur Fakih sempat menjabat sebagai country representative of OXFAM United Kingdom and Ireland mewakili Indonesia, yang bertugas untuk mengembangkan program pengembangan masyarakat dengan perspektif gender dan hak asasi manusia (HAM).
Keterlibatannya di dunia aktivis, terutama kaitannya dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), telah digelutinya sejak Tahun 1997, ketika terlibat aktif sebagai fasilitator dan pendidik HAM.
 Pada saat yang sama, Mansour Fakih menjadi gender training
specialist and management consultant, CIDA-Woman Support Project pada Tahun 1997 - 2001. Sejak Tahun 2001 menjadi Direktur dari Institut for Social Transformation (INSIST PRESS) Yogyakarta dan juga Senior
Researcher of Institut of Development Studies, University of Sussex, Brighton
UK. Selain menjadi Ketua Sub Komisi Penyuluhan Komnas HAM, Mansour Fakih juga mengajar pada Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2.      Latar belakang pemikiran Mansour Fakih
Mansour Fakih dikenal sebagai pendamping masyarakat (community
organizer), fasilitator berbagai pelatihan pengembangan masyarakat dan konsultan pengembangan organisasi kemasyarakatan sejak tahun 1978. Dalam kehidupannya, Mansour Fakih tidak tumbuh dari laboratorium sepi dan menara gading intelektual yang angkuh. Mansour Fakih tumbuh dari dialektika teori dan praktik, bersama teman-temannya dari gerakan aktivis, dia menekuni bidang pembangunan, lingkungan, pembaharuan agraria, keadilan gender, kaum cacat dan lain-lain.
Lembaga pendidikan bagi Mansour Fakih, hanyalah proses menjinakkan peserta didik dan sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk berpikir kreatif, pendidikan yang terbaik adalah yang berada di tengah-tengah masyarakat, dikalangan petani dan buruh, yaitu Pendidikan yang membebaskan, sebuah tema yang tentu saja sangat asing. Pemikirannya mengenai pesantren sangatlah menarik, ia yakin benar bahwa pesantren memiliki kekuatan yang luar biasa untuk membantu kelompok-kelompok yang dilemahkan dalam masyarakat, terutama di sekitar 17 pesantren, karena pesantren adalah sub-kultur, yang memiliki kekuatan tersendiri dalam kebudayaan besar Indonesia.
Sayangnya potensi ini tidak pernah tergali, justru pesantren menyedot secara terus menerus sumber daya ekonomi masyarakat sekitarnya untuk mendukung aktivitas-aktivitas di dalam pesantren. Mansour Fakih juga membahasakan gender dengan agenda kemanusiaan yang bisa meminimalisir resistensi sebagian mereka, bahwa gender adalah paket dari Barat atau program dari orang-orang Yahudi. Dia juga menyakinkan bahwa laki-laki harus ikut bertanggung jawab untuk menyudahi ketidakadilan gender ini. Mansour Fakih banyak menulis buku mengenai pendidikan, hak asasi manusia (HAM), gender dan berbagai permasalahan LSM di Indonesia.
B.       Karya-karya Mansour Fakih
a)      Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi
b)      Analisis Gender dan Transformasi Sosial
c)      Jalan Lain;Manifesto Intelektual Organik
d)     Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat
e)      Pergolakan Ideologi LSM Indonesia
f)       Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial
g)      Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial
h)      Human Rights Watch
i)        Landreform di Pedesaan
j)        Pendidikan Popular”, dan lain-lain.

C.      Kontruksi Pemikiran Mansour Fakih tentang Keadilan Gender
1.      Konsep gender dan keadilan gender
Makna gender banyak disalah pahami, Gender di pahami sebagai sebuah kontruksi sosial tentang relasi laki-laki dan perempuan yang di kontruksikan oleh sistem dimana keduanya berada. Dalam kenyataan kontruksi sosial dikontruksikan oleh kekuasaan, baik politik, ekonomi, sosial, kultural, maupun fisikal, karena sebagaimana kenyataan kekuasaan adalah identik dengan kepemimpinan.[3] Salah satu hal yang penting adalah konsep relasi antar individu di dalam sebuah komunitas. Konsep relasi terpilah menjadi dua: konsep relasi tanpa membedakan jenis kelamin dan konsep relasi yang membedakan jenis kelamin.
Apabila gender dimaknai sebagai relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh sistem,  maka makna gender sudah mulai bergeser. Oleh karena itu, perlu di pahami bahwa perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat tuhan yang secara permanen berbeda dengan pengertian gender.[4] 
Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial[5], yakni perbedaan perilaku yang bukan ketentuan tuhan melainkan di ciptakan oleh manusia  (bukan kodrat), akan tetapi melalui proses sosial dan kultural yang panjang .
Gender bukanlah kodrat tuhan, melainkan berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, mulai ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku, yang di bentuk dalam struktur sosial masyarakat tersebut.[6] Arti lain bahwa gender sebagai suatu yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikontruksi secara sosial-kultural. Misalnya; bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan. Ciri dari sifat itu  sendiri merupakan sifat yang bisa di pertukarkan.[7]
Definisi keadilan gender adalah sebuah konsep kultural
yang
berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat[8]. Proses keadilan sangat terkait dengan
pemenuhan hak-hak seseorang setelah dipenuhinya beberapa kewajiban.
            Dalam
konteks gender, keadilan berarti telah terpenuhinya hak-hak
seseorang perempuan menurut ketentuan yang berlaku, setelah
dilaksanakannya
beberapa kewajiban sebagaimana layaknya seorang
perempuan, baik sebagai Ibu, Isteri dan sebagai pendidik.
Namun dalam realita banyak  ketimpangan gender, yaitu adanya subordinasi yaitu sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting, dan munculnya anggapan bahwa perempuan emosional dan irrasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, hal ini merupakan bentuk subordinasi yang dimaksud.
Isu gender dalam dunia pesantren juga sedikit tabu,  karena sangat minim di kembangkan dan di sosialisasikan, karena di dominasi kiai. Adanya kesenjangan yang mencolok anatara kiai dan ustadz dalam wacana gender. Hal ini menunjukkan rendahnya sensitivitas wacana gender di dunia pesantren sebagai pusat pendidikan  dan agama.[9] Dunia pesantren yang seharusnya juga mendapat perhatian lebih terhadap isu gender agar dalam dunia pesantren nantinya memberikan orientasi yang diskriminatif terhadap perempuan.
Alasan-alasan mengapa wacana gender masih minim berkembang di dunia pesantren adalah, Pertama; pesantren adalah lembaga sosial yang yang diciptakan oleh kiai dan ustadz sebagai kontributor utama. Kedua; posisi dan peran perempuan dalam dunia pesantren di anggap tidak penting, subordinatif, atau tidak relevan. Ketiga; pesantren di pandang tidak menghasilkan implikasi-implikasi sosial-politik yang khusus bagi kehidupan perempuan, maka hal itu di anggap tidak penting bagi kehidupan sosial-keagamaan pada konteks yang lebih luas.
Dari adanya perbedaan gender ini, menurut Mansour Fakih menyebabkan adanya ketidakadilan gender terutama bagi perempuan, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi seperti kebijakan pemerintah yang diskriminatif, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu penegtahuan., adanya subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, kekerasan, beban kerja ganda.[10]
Dari ketidakadilan yang muncul di masyarakat sosial maka bagi Mansour Fakih sebagai kontruksi pemikirannya tentang keadilan gender adalah perlu adanya pemahaman yang relevan dan kontekstual dalam memaknai kata gender. Karena bagi analisa penulis, Mansour Fakih melihat realita dilapangan sudah sangat tidak relevan dengan konsep gender yang semestinya. Makna gender yang seharusnya berusaha membagi peran, fungsi dan kedudukan masing-masing dan masih bersifat dinamis. Akan tetapi masih ada diskriminatif atau ketidakadilan gender yang malah mendiskriditkan perempuan. Hal inilah yang menurut penulis, bahwa kontruksi pemikiran kritis atas ketidakadilan gender perlu di tegakkan agar makna gender dapat sesuai dengan makna dan konteks yang pas dengan zamannya.
Ketidakadilan terhadap perempuan yang dianggap bahwa beban-beban kerja perempuan hanya domestik sebagai kodrat tuhan dan perempuan tidak bisa masuk pada bidang-bidang seperti yang mencolok adalah politik, itu di anggap sebagai hal yang salah atau tidak pas dengan makna gender yang semestinya.
2.      Analisa Gender dan Tafsir Agama
a.      Pandangan Agama yang Membebaskan dan Transformasi Sosial
Dewasa ini agama mendapat masalah, karena di anggap sebagai biang masalah bahkan kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Dalam hal ini Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi sosial menjelaskan bahwa dalam memahami konteks Islam perlu di telaah secara mendalam berkenaan dengan prinsip ideal Islam dalam memposisikan perempuan. Mansour Fakih memaparkan bahwa ada spirit yang di bawa Islam untuk memperjuangkan perempuan yang sebelumnya perempuan dianggap tidak berguna bahkan di bunuh sejak kecil.
                 Dari sini perlu diketahui bahwa gambaran kedudukan perempuan dalam Islam atau dalam al-Qur’an mengakui kedudukan keduanya antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu nafs, dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Dengan demikian bahwa dapat dikatakan hak istri adalah sama dengan hak suami.[11]
     Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan selain dalam hal pengambilan keputusan, juga dalam hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaan. Baik itu pewarisan atau usaha sendiri. Dalam tafsir keagamaan tetap memegang peran penting dalam melegitimasi dominasi atas kaum perempuan. Persoalannya adalah mengapa al-Qur’an seolah-olah menempatkan kedudukan laki-laki di atas perempuan. Ali Engineer mengusulkan dalam memahami ayat yang berbunyi “laki-laki adalah pengelola atas perempuan”, hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada saat itu, dan bukan ajaran.
                 Ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki sebagai manager rumah tangga, tapi bukan berarti harus menguasai dan memimpin perempuan. Maka dari itu teks agama perlu di pahami dan di hayati maupun melihat konteks diturunkannya ayat tersebut agar tidak salah tafsir dan salah pemahaman. Terkait bolehkah perempuan menjadi pemimpin atau kepala negara tidak ada ayat yang jelas melarang. Walaupun ada riwayat hadis ahad riwayat Abu Bakar yang melarang, tapi setelah itu dalam perang uhud Aisyah istri nabi menjadi pemimpin pasukan, mengapa Abu Bakar tidak melarang. Maka dari itu, lagi-lagi dalam pemaknaan teks perlu di pahami kembali konteknya, tidak langsung menjustis tanpa tau terlebih dahulu maksud dan kandungan teks.
b.      Pendekatan Tafsir Agama dengan Perspektif Gender
            Pada dasarnya agama-agama termasuk Islam mengajarkan prinsip keadilan, al-Qur’an sebagai prinsip –prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan  yang mencakup berbagai anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik, kultural maupun keadilan gender.
            Persoalan muncul ketika masyarakat berkembang dan jenis ketidakadilan juga berkembang seiring perkembangan zaman. Dalam hal ini guna memahami dan menganalisis tentang apa yang adildan apa yang tidak adil serta bagaimana mekanisme ketidakadilan yang menjadi prinsip dasar agama. Maka dari itu seseorang membutuhkan pisau analisis.[12] Dalam memahami teks untuk ajaran moral agama yang bersifat prinsipil, mesti membutuhkan analisis sosial dan kontekstual.
            Pisau analisis gender juga sangat berguna jika digunakan untuk memahami teks, karena tidak hanya pendekatan sosial saja dalam memahaminya. Penafsiran terhadap dalil yang bersifat dzanniyah dengan menggunakan analisis dan perspektif gender perlu dilakukan. Implikasi dari penafsiran tersebut adalah kemungkinan dilakukannya rekontruksi fikih yang menjadi landasan perilaku umat Islam. Tafsir dan fikih perempuan , yakni bukan saja tafsir dan fikih yang dilahirkan kaum perempuan sendiri, melainkan tafsir dan fikih yang telah menggunakan pendekatan analisis dan perspektif gender.
            Karena dengan demikian, adanya obyektifitas terhadap realitas yang ada, tidak ada diskriminatif dan subordinasi kepada satu kelompok saja yang pada akhirnya akan memberikan masalah pada integrasi umat dan ketidakadilan sosial.
c.       Identifikasi Masalah Agama yang Strategis
                 Dengan adanya gagasan gender sebagai respon realitas yang ada di masyarakat, maka ada beberapa unsur permasalahan tafsiran keagamaan yang strategis agar mendapat perhatian untuk dilakukannya kajian mendalam. Pertama, yang menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang tidak subordinatif terhadap laki-laki.  Padahal Islam mengajarkan prinsip keadilan, maka hal ini penting untukdi identifikasi kembali tafsiran-tafsiran yang ada agar seimbang dan tidak memberatkan salah satu pihak.
                 Dalam QS. Al-Hujurat: 14 dijelaskan bahwa teks telah mengajarkan pada kita bahwa kaum perempuan tidaklah subordinatif terhadap laki-laki.  Hal demikian juga di dukung beberapa ayat lain seperti; Qs. At Taubah:71, an-Nisa:123, Ali Imron: 195, an-Nahl: 97.
            Kedua, pemahaman yang bias gender selain meneguhkan subordinasi perempuan, juga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian yang dianggap sudah tidak relevan, karena jika prinsip keadilan gender maka dalam hal waris laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat satu bagian, sebagai unsur dalam semangat kesetaraan gender.
            Ketiga, perempuan juga berhak memperoleh jaminan keselamatan dan kesehatan, hak untuk memilih pasangan hidup tanpa ada paksaan dari orang tua, hak untuk menikmati maupun menolak hubungan seksual.
            Maka dari itu, menurut Mansour Fakih bahwa tafsiran agama mempunyai posisi strategis dalam melanggegkan ketidakadilan gender, yaitu dalam usaha menegakkan keadilan gender. Strategi advokasi untuk usaha penyadaran dan penafsiran dengan pendekatan-pendekatan terhadap teks agar terjadi penafsiran yang sesuai dengan konteks zaman.
D.      Relevansi dan Kontektualisasi Pemikiran Mansour Fakih di Kehidupan Modern
            Relevansi dari apa yang di gagas oleh Mansour Fakih di kehidupan modern ini, setidaknya sebagai solusi yang solutif terhadap realitas masyarakat yang sangat diskriminatif terhadap perempuan. Gagasan kesetaraan gender juga pernah di gagas Aminah Wadud yang sampai bertindak menjadi Imam bagi laki-laki saat shalat jum’at. Dalam hal ini penulis berusaha mengungkap hal yang ingin di wujudkan oleh Aminah Wadud. Dalam hal ini menurut analisa penulis adalah prinsip keadilan gender terlepas benar/salah, namun semangat untuk menegakkan paradigma keadilan gender bahwa perempuan juga dapat menjadi pemimpin agama, politik maupun ekonomi.
            Di era modern ini, walaupun masih sangat minim porsi perempuan yang juga ikut terjun ke dunia politik dalam kontestasi menjadi pemimpin daerah, juga menunjukkan semangat progresifitas yang sebelumnya wanita hanya hanya memiliki prinsip macak, manak, masak. Namun di era modern ini, perempuan juga sudah ikut mengambil bagian dalam ranah politik baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dari fakta yang ada, perempuan ternyata telah mampu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin atau wakil rakyat.
            Hal ini setidaknya sangat relevan sekali sebagai respon isu keadilan atau kesetaraan gender. Dan penafsiran yang subordinatif terhadap perempuan sudah selayaknya di kaji ulang. Selain itu juga banyak wanita karier yang mampu mengangkat ekonominya sendiri sebelum menikah ataupun setelah menikah. Artinya apa bahwa paradigma mendiskriditkan perempuan dan tafsir yang demikian sudah tidak relevan dan perlu di kaji ulang sesuai konteks dan realitas yang ada di masyarakat modern ini. Karena zaman juga sudah mendukung perkembangan perempuan untuk sukses berkarier, banyak peluang yang bisa mereka pakai untuk mewujudkan cita-cita mereka di zaman yang perkembangan IPTEK sudah sangat maju ini.















BAB III
PENUTUP

a.      Kesimpulan
            Isu gender sudah terjadi dialektika panjang dalam upaya penyelesaiannya, hal mendasar yang perlu dipahami di masyarakat adalah paradigma pemahaman terhadap konsep gender yang salah kaprah. Yang masih memahami konsep gender seperti konsep biologis atau jenis kelamin.
Maka dari itu rekontruksi pemahaman agar sesuai dengan makna gender perlu dilakukan, bahwa gender tidak hanya dalam hal biologis saja, tapi masalah peran, fungsi dan kedudukannya dalam sosial, poitik, maupun kultural.
Jadi, gender adalah berkaitan dengan pembedaan perilaku dan pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku, yang di bentuk dalam struktur sosial masyarakat.
b.      Saran
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi bagi pembaca, dan dapat memberikan gagasan yang sangat berguna bagi pembaca, dan harapannya mampu memberikan hasanah keilmuan yang menggugah paradigma pemikiran pembaca.













DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Marhumah, Ema, Kontruksi Gender di Pesantren; studi kuasa kiai atas wacana perempuan, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2010
Nugroho, Riant, Gender dan Strategi pengarus-Utamanya di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Shihab, Quraish, Membincang Persoalan Gender, Semarang: Rasail Media Group, 2013
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina pers, 2001


[1] Prof. Quraish Shihab, Membincang Persoalan Gender, (Semarang: Rasail Media Group, 2013), cet. I, hal 2
[2] Dr. Riant Nugroho, Gender dan Strategi pengarus-Utamanya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal.2
[3]  Dr. Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal.19
[4]  Dr. Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal.32
[5]  Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II, hal. 71
[6]  Dr. Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal.33
[7]  Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II, hal. 8
[8] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina pers, 2001), hal. 33-34
[9] Dr. Ema Marhumah, Kontruksi Gender di Pesantren; studi kuasa kiai atas wacana perempuan, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2010), cet. I, hal. 5
[10] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II, hal. 12-13
[11] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II, hal.130
[12] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. II, hal.135

0 komentar:

Posting Komentar

Menurutmu Bagaimana Blog Ini?

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.