1.
Strategi
Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan dalam Keilmuan Tafsir Hadis
Salah satu
contoh kajian tentang kesatuan ilmu
dalam tafsir hadis adalah hadis tentang kewajiban menuntut ilmu, طالب العلم فرظة علي كل مسلم و المسلمة
Untuk mengkaji hadis di atas maka penulis akan menggunakan strategi Spiritualisasi
ilmu-ilmu modern[1],
mengapa demikian? Karena untuk menyatukan prinsip-prinsip keilmuan
antara ilmu agama atau dalam hal ini penulis spesifikan dengan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan tafsir dan hadis.
Penyatuan ilmu agama dan ilmu modern dirasa perlu untuk pemahaman
terhadap realitas yang ada. Ilmu-ilmu modern yang mengandalkan akal sebagai
tumpuan dan adanya sekularisasi atau pemisahan dengan agama, maka dari itu
prinsip atau strategi spiritualisasi ilmu-ilmu sekuler akan sangat penting demi
adanya unity of science. Strategi spiritualisasi ini di ungkapkan oleh
Dr. Fuad Nashori, dia menjelaskan bahwa spiritualisasi berusaha memberikan
kebijakan nilai-nilai ketuhanan dan etika terhadap ilmu-ilmu sekuler untuk
memastikan bahwa pada dasarnya semua ilmu berorientasi pada peningkatan
kualitas atau keberlangsungan hidup manusia dan alam semesta serta bukan
penistaan atau perusakan keduanya.
Timbulnya pihak-pihak yang hanya menekankan ilmu-ilmu agama yang di
berikan oleh para pemuka agama (ulama), seperti halnya al ghozali, misalnya yang
memandang sebagai fardhu ain ntuk menuntut ilmu agama dan fardhu kifayah untuk
menuntut ilmu-ilmu non agama[2].
Hal ini menimbulkan ketimpangan yang nyata antara kedua klasifikasi ilmu
tersebut. Dari problem yang ada menjadikan sulitnya mengintegrasikan berbagai
sumber ilmu yang bersumber dari pengalaman manusia, baik ilmu yang bersumber
dari panca indera, intelektual, dan intuisi sebagai pengalaman riil manusia
maupun pengalaman ruhaniyah atau mistik dan religius yaitu agama[3].
Maka dari itu penting menyusun strategi sebagai paradigma kesatuan ilmu agama
dan ilmu umum, agar ilmu menjadi lebih bijaksana.
Satu teori lagi yaitu dari Al-Kindi, salah satu Filosof muslim yang
mengusahakan adanya pemaduan antara Filsafat (Ilmu/akal) dengan Agama.
Untuk mengajukan konsep tersebut, dia menjelaskan beberapa langkah dan strategi
dalam usaha pemaduannya. Menurutnya keduanya tidaklah bertentangan antara akal
yang akan melahirkan ilmu umum dan agama, karena masing-masing keduanya adalah
ilmu tentang kebenaran. Sdangkan kebenaran itu adalah satu.[4]
Ilmu filsafat yang memberikan ruang pada akal akan banyak melahirkan ilmu
sekuler seperti apa yang dikembangkan Barat. Namun dalam hal ini al-Kindi
memberikan dalil Nash yang menunjukkan adanya integrasi ilmu agama dan ilmu
umum, seperti QS. An-Nashr:2, QS. Al-A’raf:85.
Analisa Strategi Paradigma Spiritualisasi
Ilmu-Ilmu Modern
Strategi ini berusaha memberikan dan berupaya untuk membangun ilmu
pengetahuan baru yang didasarkan pada kesadaran kesatuan ilmu pengetahuan yang
semuanya bersumber dari ayat Allah. Upaya untuk memberi nilai-nilai ketuhanan
agar ilmu-ilmu modern tidak lagi sekuler yang hanya berdasar pada akal yang
serba terbatas, namun juga harus di ikuti dengan dalil atau nash yang ada.
Dalam hadis di atas, menunjukkan pentingnya bahkan di wajibkannya
menuntut ilmu, hal ini sejalan dengan ilmu-ilmu modern saat ini yang
mengedepankan ilmu yang orientasinya adalah akal sebagai media berpikir. Perlu
di ketahui bersama bahwa agama dalam nashnya baik al-Qur’an maupun hadis telah
memberikan tuntunannya agar manusia menggunakan akalnya untuk mencari ilmu
setinggi-tingginya. Agama bahkan tidak melarang manusia menggunakan akalnya
dalam berpikir, berijtihad terhadap agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama
telah mengajarkan manusia untuk berilmu dan memperoleh pengetahuan dari
siapapun dan dari manapun, tak ada batasan untuk memperolehnya. Agama dan ilmu
pengetahuan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Perdebatan tokoh-tokoh filsafat juga telah memperbincangkan bagaimana
posisi agama dan akal, dan memberikan jawaban bahwa keduanya saling mendukung,
tidak ada jurang pemisah antara keduanya. Agama dan akal (filsafat), keduanya
berusaha mencari kebenaran hakiki. Akal atau ilmu pengetahuan bahkan yang
menjadi dalil aqli untuk menguatkan dogma-dogma agama.
Ilmu yang perkembangannya sangat pesat menjadi keberhasilan tersendiri,
namun di balik itu muncul problem bagaimana hubungan antara ilmu-ilmu tersebut.
Dalam halini adanya paradigma unity of sciences setidaknya dapat memberikan
penjelasan yang baik di mata masyarakat luas bahwa ilmu adalah satu tidak ada
jurang pemisah.
Dalam hal ini apa yang saya ambil dalam kuliah yaitu jurusan Tafsir
Hadis juga sudah terlihat nyata adanya integrasi dua keilmuan yaitu tafsir dan
hadis. Dua hal yang berbeda namun ketika di satukan menjadi satu kesatuan yang
saling menguatkan. Kajian tafsir alqur’an dan hadis setidaknya sudah menjadi
bukti adanya unity, walaupun masih dalam ranah ilmu-ilmu agama, namun dengan
adanya akal dan posisi akal yang mempunyai ruang lebih untuk memahami agama
sedalam mungkin dan tidak hanya berkutik pada ranah fisik tapi sampai pada
ranah ontologi sebuah ilmu yang sama-sama berusaha memberi kebenaran hakiki.
Kesimpulan dan Rekomendasi Penulis
Dari pemahaman tersebut, perlu kita pikirkan secara mendalam agar
memperoleh hasil yang baik pula. Spiritualisasi ilmu-ilmu modern adalah
berusaha memadukan ilmu pengetahuan (akal) dengan dogma agama (nash) yang
sebenarnya keduanya saling mendukung satu dengan yang lain saling menguatkan.
Ilmu sekuler yang banyak di era modern ini selayaknya perlu di pahami dan di
analisa dalam perspektif agama dan di lihat bagaimana paradigma yang ada dalam
agama. Maka perlu adanya islamisasi ilmu modern yang sebenarnya agama
telah mengajarkan dan tidak jauh berbeda dengan ajaran agama.
Maka strategi spiritualisasi ilmu-ilmu modern dalam hal ini menurut
penulis adalah hal yang penting sebagai landasan dalam mewujudkan unity of
sciences. Karena agar tidak ada dikotomi/pemisahan ilmu agama dan
umum yang akhirnya terjadi sekularisasi.
Dari penjelasan di atas, penulis merasa perlu adanya spiritualisasi
ilmu-ilmu modern yang berorientasi pada sekularisasi agar di pahami dalam ranah
agama agar seimbang dan adanya unity. Karena bagi penulis, ilmu dan
dogma agama adalah hal yang sangat penting dan sulit di pisahkan, karena
lagi-lagi keduanya dalam kinerjanya adalah saling berpengaruh satu dengan yang
lain.
Tentang bagaimana pentingnya ilmu yang di kembangkan pemikir modern
sebenarnya agama dalam hal ini, penulis contohkan dalam kajian hadis di atas
yang sebenarnya mendukung realitas ilmu modern dan yang seharusnya menjadi
dasar dalam mencari ilmu pengetahuan.
2. Integrasi antara Sains dan Tafsir Hadis
أَوَ لَمۡ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّ
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ كَانَتَا رَتۡقٗا فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ وَجَعَلۡنَا مِنَ
ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ أَفَلَا يُؤۡمِنُونَ ٣٠
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman”
Untuk mengetahui dan melakukan analisa atas ayat
al-Qur’an di atas, penulis berusaha memberikan dan memakai teori unity of
sciences yaitu adanya Dialektika Ilmu-Ilmu Pengetahuan[5],
sebagai prinsip unity of sciences. Dia menjelaskan setidaknya ada lima
paradigma yang di gunakan dalam menganalisa unity of sciences, dalam hal
ini penulis mengambil satu prinsip yaitu dialektika ilmu-ilmu pengetahuan,
dalam hal ini sains dan ilmu Tafsir Hadis. Dialektika ilmu-ilmu pengetahuan
adalah proses dimana adanya interaksi dan benturan antara ilmu-ilmu yang ada,
baik itu ilmu agama maupun ilmu umum yang sebelumnya mengalami dikotomi yang
luar biasa terutama di barat.
Dalam ayat di atas telah menjelaskan bahwa ayat agama
telah di dukung ilmu pengetahuan sebagai argumentasi rasional yang mampu
meyakinkan masyarakat terhadap dogma agama yang ada. Disitu telah menunjukkan
bahwa ilmu sebagai penguat dogma yang ada sejak dulu, sains telah memberikan
penjelasan yang sedetail mungkin terhadap teks.
Beberapa teori alam semesta seperti teori big bang ternyata juga di jelaskan oleh al-Qur’an
dengan sangat indah dan bijaksana. Ternyata al-Qur’an telah menyajikan
informasi yang sangat akurat bahwa pada awalnya langit dan bumi memang berpadu
dalam satu titik singularitas sebagai asal segala yang ada di jagad raya.[6]
Adanya sekularisasi di Barat menunjukkan bahwa ada
pemisahan antara kedua ilmu tersebut. Oleh karena itu, dialektika ilmu-ilmu
pengetahuan akan sangat penting sebagai prinsip dasar dalam mencapai integrasi
ilmu pengetahuan.
Sejarah membuktikan bahwa tokoh Islam seperti Dr. Kamal Yazji, yang
mendorong umat Islam menambah ilmu pengetahuan, karena dirasa ilmudi luar
agamperlu di pelajari seperti ilmu kedokteran untuk mengobati orang sakit, ilmu
hitung untuk mengatur keuangan negara dan ilmu falak untuk menentukan waktu
shalat.[7]
Analisa
Teori
Dalam hadis di atas, setidaknya dapat kita pahami, bahwa ada integrasi
antara ilmu agama dalam hal ini Tafsir dan Hadis sebagai bagian dari Sains atau
ilmu pengetahuan, karena tidak mungkin kita memahami agama tanpa ilmu. Mencari
ilmu dari ayunan sampai liang lahat membuktikan adanya persentuhan atau
dialektika antara pemahaman mencari ilmu sebagai sains dan sampai urusan
kematian yang konsen dalam ilmu agama, baik dalam tafsir maupun hadis.
Dalam kajian keislaman, studi Islam juga telah banyak
di pelajari oleh ilmuan barat yang konsen dalam memberikan porsi akal sebagai
media utama dalam mandalami ilmu. Namun perlu diketahui juga bahwa metode Hermeneutik
sebagai media atau cara penafsiran al-Qur’an juga di adopsi oleh Islam dalam
menafsirkan kitab suci.
Seharusnya hal ini menjadi landasan bahwa stigma atau
persepsi buruk terhadap ilmu-ilmu barat yang sekuler tidak seharusnya mewujud
pada adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sekuler atau ilmu umum. Tapi
dari realitas yang ada ternyata ilmu sekuler sebenarnya sudah terintegrasi
dengan ilmu agama, namun memang perlu disadari dan kelompok-kelompok tertentu
harus membuka terhadap fakta yang ada.
Dari kasus di atas, ternyata Dialektika ilmu sekuler
telah terjadi dan terintegrasi ke dalam ilmu agama, dalam hal ini metode
hermeneutik dalam tafsir yang di kembangkan tokoh-tokoh Islam kontemporer, yang
merasa metode tersebut juga relevan jika di aplikasikan dalam Islam.
Ketika ilmu sudah mengalami persentuhan dan terjadi dialektika,
karena dalam Islam juga mengajarkan dan di ajarkan bagaimana fungsi akal yang
menghasilkan sains yang akan memperkuat agama itu sendiri. Satu hallain yang
perlu di pahami daam sebuah ilmu adalah bagaimana memahami ilmu pada ranah ontologi[8]
atau pada hakikat ilmu itu sendiri, karena jika hanya memandang pada ranah
fisik pasti yang terjadi adalah saling menjustis bahwa miliknyalah yang benar.
Hal inilah yang menjadi penyebab sulitnya ilmu itu terintegrasi. Subyek yang
memahami hanya mendalami dalam hal fisik dan tidak sampai pada ranah ontologi
ilmu.
Ilmu dirasa akan sangat berkembang jika mengalami
dialektika ilmu-ilmu pengetahuan, karena dengan adanya dialektika ilmu-ilmu
pengetahuan menjadi wadah saling mengkritisi ilmu satu dengan yang lain yang
pada akhirnya mampu memberikan jawaban yang sesuai dan membuat ilmu itu sendiri
semakin masuk pada ranah kebijaksanaan ilmu seperti apa yang di cita-citakan
oleh para filosof.
Dalam hal ini keilmuan tafsir al-Qur’an dan Hadis juga telah mengalami
dialektika panjang karena perkembangan tafsir yang sangat lama dengan metode
yang berbeda membuat banyak tafsiran-tafsiran yang berbeda. Namun dari
persentuhan atau dialektika itu setidaknya akhirnya kita dapat menikmati
hasil-hasil penafsiran yang berbeda-beda yang akhirnya dapat kita ambil sesuai dengan
zamannya atau realitas kehidupan. Dalam kajian tafsir hadis juga sudah banyak
ayat al-Qur’an yang di kaitkan dengan sains, sampai munculnya matematika
al-Qur’an, dan tafsiran-tafsiran sains yang memberikan penjelasan secara
ilmiah.
Kesimpulan
dan Rekomendasi penulis
Integrasi ilmu adalah hal yang penting, karena ilmu
pada hakikatnya adalah untuk mencapai pada ranah kebenaran. Begitu juga agama
yang berusaha mencapai pada ranah kebenaran. Hal ini perlu di pahami secara mendalam
bahwa tujuan sebuah ilmu berbanding lurus dengan tujuan agama, dan harapannya
tidak ada sentimen keilmuan yang terjadi pada salah satu ranah keilmuan. Akan
tetapi harus berintegrasi satu dengan yang lain, ilmu itu saling menguatkan dan
tidak saling menjatuhkan dan saling menjustis satu dengan yang lain bahwa
dirinyalah yang paling benar.
Dialektika keilmuan diharapkan akan semakin membuat
ilmu mampu berintegrasi dan saling menguatkan. Yang akhirnya hasanah keilmuan
akan semakin luas pada ranah pemecahan persoalan di lapangan sesuai realitas
yang ada.
Sebenarnya banyak hal yang menunjukkan bahwa ayat
al-Qur’an telah terbukti dengan sains seperti QS. Al-Sajdah:4 yang menjelaskan
proses penciptaan alam semesta yang dalam sains modern dapat di hitung dengan
ilmu matematika. Begitu juga QS. Fushilat: 9 yang menjelaskan penciptaan alam
semesta dalam dua masa.
Dan dalam sains modern mengatakan bahwa umur alam
semesta setelah di hitung sejak peristiwa big bang adalah 13,7 x 10 pangkat 9
tahun. Hal ini jelas menunjukkan bahwa ada dialektika atau persinggungan antara
sains dan kajian tafsir maupun hadis.
3.
Tauhid sebagai Prinsip Utama Integrasi Ilmu
لا اله الا الله
Dalam penafsiran konsep tauhid (La Ilaha Illa Allah), para teolog
dan fuqaha yang memberikan arti secara harfiah yang berarti tidak ada tuhan
yang wajib disembah kecuali Allah, namun para filosof memberikan tafsir mereka
sendiri tentang keesaan Tuhan, keesaan Tuhan bagi mereka berarti bahwa Tuhan
haruslah simple (basith), tidak boleh tersusun dari apa pun kecuali dzat
(esensi)Nya sendiri.[9]
Analisa
Dalam hal ini penulis berusaha memberikan gagasan dari Dr. Mulyadhi
Kartanegara tentang Tauhid sebagai Prinsip utama Integrasi Ilmu.
Dalam hal ini, dengan adanya tauhid dalam beberapa kajian agama diharapkan
mampu memberikan jawaban yang relevan terhadap kondisi masyarakat. Agama
sebenarnya akan lebih kuat jika di dukung dengan argumentasi akal yang sifatnya
rasional. Karena perlu disadari bahwa kehidupan yang serba modern dengan
perkembangan IPTEK yang sangat maju. Sudah saatnya kaum agamawan juga menitik
beratkan pada ranah keilmuan seperti apa yang di ajarkan oleh para pemikir
Islam yang memberikan ruang terhadap akal sebagai media berpikir radikal atau
mendalam sampai menyentuh ranah ontologi.
Dalam buku Mulyadhi Kartanegara menunjukkan beberapa
contoh konsep tauhid seperti wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Mulla
Sandra. Dia menjelaskan bahwa pengertian kata illah sebagai hakikat
(realitas) sehingga bagi para sufi mengartikan kata la ilaha illallah
dengan tidak ada realitas yang wajib di
sembah kecuali Allah.
Dari konsep di atas, dapat kita pahami bahwa ilmu
agama atau dalam hal tafsir telah ada
persinggungan atau dialog dengan ilmu tasawuf yang mengedepankan intuisi
sebagai landasan dan prinsip penghayatan. Konsep tauhid Mulla Sandra dalam
bentuk kesatuan wujud yang menjadi basis integrasi ilmu, terutama bagi
objek-objek ilmu dan juga sebagai implikasinya bagi yang lain. Karena konsep
wahdatul wujud Mulla Sandra sangat berguna untuk mengafirmasi status ontologis
tradisi ilmiah di barat yang hanya di batasi dengan obyek empiris dan fisik,
sedangkan obyek non fisik di ragukan.
Dengan menyatakan bahwa segala yang ada dalam alam
semesta ini adalah satu dan sama, maka status ontologis obyek-obyek ilmu baik
fisik maupun non fisik adalah sama dan tidak ada perbedaan. Jadi, kalau status
ontologis dunia fisik kita di akui, status ontologis dunia non fisik juga
haruskita akui karena pada dasarnya mereka adalah wujud yang sama dan satu.
Dengan demikian bahwa konsep tauhid mampu memberikan
hal yang besar terhadap adanya integritas ulmu pengetahuan yang sebelumnya
mengalami dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.[10]
Akal dan wahyu menurut beberapa filosof muslim dan
beberapa tokoh Islam di indonesia juga menjadi satu kesatuan dalam segala
aspek, termasuk dalam hal tauhid. Al kindi dan filosof setelahnya setidaknya
sebagai tokoh-tokoh peletak utama dasar adanya pemaduan antara ilmu agama
(tauhid) dan filsafat (akal). Karena filsafat sebelumnya yang di anggap sebagai
hal yang sesat, namun sampai akhirnya dapat di terima. Karena dia memberikan
pemaparan dan menjelaskan konsep tauhid dengan sentuhan akal, sehingga
penjelasan yang diberikan mampu di terima oleh akal nmanusia yang lain dan di
anggap sebagai hal yang ilmiah dan rasional.
Dalam kajian Tafsir Hadis, sudah seharusnya juga di
integrasikan dengan ilmu-ilmu umum yang sekuler dalam penjelaskan permasalahan
yang ada. Mengadopsi ilmu sains modern yang dapat dijadikan sarana pendukung
dalam penafsiran al-Qur’an dan Hadis. Karena bukti-bukti Sains yang ada dalam
alam semesta ini juga telah dijelaskan dalam kitab suci, dan jika manusia mau
menggunakan akalnya maka mereka pasti akan berpikir bahwa alam yang begitu luas
ini, tidak mungkin jika tidak ada yang menciptakan, dan pasti ada Sang Pencipta
yang begitu Agung yang telah menciptakan bumi berbeda dengan planet llain
dengan segala unsur yang menakjubkan.
Selain itu juga pengembangan tafsir yang di imbangi
dengan pembuktian sains yang akan membawa manusia pada satu dzat yang Esa
dengan segala keAguangannya yang telah menciptakan bumi seisinya yang
menakjubkan dan begitu indah. Hal ini akan membawa pada tauhid atau keimanan
yang kuat pada tuhan. Karena manusia telah mampu berpikir secara ilmiah dan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan sains modern yang sampai pada
pmbuktian tuhan.
4.
Kesatuan Ilmu Pengetahuan sebagai Paradigma
Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman Hadis Nabi setidaknya telah memberikan gambaran bagaimana nabi telah
mengajarkan Humanisasi dalam kehidupan.
Sabda Nabi, “Wahai Tuhan, Pemelihara hidupku beserta seluruh semesta
alam, aku menegaskan bahwa sekalian manusia adalah saling bersaudara”
(Sunan Abi Daud I, 1369; 211), dari hadis di tersebut jelas bahwa agama telah mengajarkan dan memberikan
paradigma yang nyata terhadap konsep Humanisasi.
Analisa
Salah satu contoh lain adalah suatu ketika Ali bertanya pada Rasulullah,
tentang asas-asas yang mendasari perilaku utama kebajikan-kebajikan beliau,
Nabi menjawab: “Ilmu pengetahuan adalah modalku, akal pikiran adalah dasar
agamaku, ingat kepada Allah adalah sahabatku, cemas adalah kawanku, sabar
adalah bajuku, pengetahuan adalah tanganku....”. dari jawaban Rasulullah
tersebut, nampak jelas bahwa Nabi sendiri telah memberikan konsep nyata
terhadap Humanisasi ilmu-ilmu pengetahuan tidak hanya ilmu agama dan meletakkan
akal sebagai modal beliau dalam memahami segala realitas yang ada.
Dalam pengembangan paradigma kesatuan ilmu pengetahuan dengan melakukan
humanisasi ilmu-ilmu keislaman. Dan humanisasi adalah merekonstruksi ilmu- ilmu
keislaman agar semakin menyentuh dan memberi solusi bagi persoalan nyata
kehidupan manusia. strategi ini mencakup segala upaya untuk memadukan nilai
universal islam dengan ilmu pengetahuan modern guna meningkatkan kualitas hidup
dan peradaban islam.
Islam akan mewarnai perilaku manusia, namun pemahaman
islam dari bangsa ini masih kurang sehingga islam belum bisa mewarnai perilakunya.
Ada yang meganggap bahwa menjadi muslim itu hanya bila ke masjid atau ketika
berumroh atau haji. Padahal bukan demikian,bagaimana mencari uang? Bagaimana
melakukan segala kegiatan? Bagaimana seorang muslim harus bekerja? Hal ini
menjadi perhatian islam, ini pentingnya tajdidu ulumiddin.
Humanisasi tidak lain
membuat ilmu-ilmu agama itu menjadi relevan dengan tantangan zaman sekarang
ini, wahyu dan nabinya sama, namun bagaimana menanamkan wahyu kedalam benak
orang jawa dan malaysia. Inilah yang menjadi berbeda. Sehingga kita sangat
beruntung memiliki organisasi masyarakat besar yang asli indonesia, seperti NU
dan Muhammadiyah. Mereka lebih faham bagaimana menanamkan wahyu bagi orang
indonesia dibanding dengan ormas yang baru lahir pasca reformasi.
Konsep Humanisasi juga
di kembangkan oleh tokoh-tokoh modern seperti sosok Abdurrahman Wahid atau
Gusdur sebagai contoh pengemban konsephumanisme. Karena sosok Gusdur sangat bermasyarakat dan tidak
membeda-bedakan golongan, agama, suku, dan ras.
Dalam kajian tafsir Gus Dur banyak menggunakan
pendekatan Humanisasi dalam segala tafsirannya terhadap al-Qur’an, karena bagi
penulis Gus Dur berusaha memposisikan dirinya sebagai kepala pemerintahan
sebagai sikap politis atas perbedaan yang ada. Dia berusaha memahami ayat sesuai
konteks zaman dan realitas bangsa yang majmuk.
Tafsiran-tafsiran yang digunakan banyak di
kontektualisasikan demi terwujudnya humanisasi dimasyarakat agar tidak ada
perpecahan umat dan tidak ada yang namanya prinsip ketidak adilan golongan minoritas.
Jadi, ilmu dari manapun dan dari siapapun sudah
selayaknya tidak perlu ada sekat atau pemisah karena dari orang yang berbeda.
Akan tetapi dari manapun sumber ilmu yang kita peroleh, selama mengajarkan pada
kebaikan maka disitulah kebaikan yang terjadi. Hal inilah yang akan menjadi
prinsip Humanisasi ilmu-ilmu pengetahuan.
5.
Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan dalam
Tafsir Hadis
Untuk mewujudkan paradigma kesatuan ilmu atau unity of
sciences pasti tidak mudah. Paradigma yang di bangun harus melalui perdebatan
panjang dan tentu saja ilmuwan-ilmuwan muslim akan percaya sepenuhnya bahwa
sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan, yang sering mereka sebut Sang
Kebenaran atau al Haqq. Teks yang menjelaskan paradigma integralistik ilmu,
seperti potongan ayat افلا تعقلون
افلا تنظرون افلا تعلمون,
dari beberapa potongan ayat di atas, maka penulis
berusaha menggunakan konsep paradigma integralistik[11]
sebagai upaya memberikan pandangan kesatuan ilmu.
Paradigma integralistik adalah konsep dimana adanya
kesatuan atau integrasi antara dua obyek yang ada, dalam hal ini antara ilmu
agama yang mistik dan ilmu umum yang empiris.
Tujuan ilmu adalah untuk mengetahui sesuatu
sebagaimana adanya, yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka Tuhan
sebagai kebenaran sejati tentu menjadi sumber bagi segala kebenaran lainnya,
termasuk kebenaran atau realitas ilmu. Al-Qur’an mengatakan bahwa kebenaran
itu berasal dari Allah, maka janganlah engkau pernah meragukannya.
Tentu kita tahu, seperti yang telah dikatakan Ibn
Khaldun, bahwa ilmu-ilmu agama di dasarkan pada otoritas, bukan akal.[12]
Yang dimaksud otoritas disini adalah al-Qur’an dan Hadis yang bertindak sebagai
tafsir atasnya. Jadi sumber utama ilmu-ilmu agama adalah kitab suci., yang di
wahyukan secara langsung oleh tuhan.kepada NabiNya.adapun sumber ilmu-ilmu umum
adalah alam semesta yang terhampar luas di hadapan kita.
Paradigma kesatuan ilmu pengetahuan menurut Dr. Muhyar
Fanani setidaknya harus bertitik tolak pada prinsip integritas, Humanisasi
Ilmu, kolaborasi, revitalisasi. Beliau menginginkan unity of sciences yang ada
di UIN Walisongo harus mampu maju dalam hal pengembangan ilmu islam atau
islamisasi ilmu dan pengembangan saintek yang menjadi dasar ilmu sekuler.
Menurutnya paradigma unity of sciences harus mampu menyentuh keduannya agar apa
yang dinamakan unity dapat terwujud.
Gagasan maupun paradigma penyatuan ilmu agama dan umum
sebenarnya banyak di jelaskan dalam al-Qur’an, ayat-ayat al-Qur’an maupun
pribadi Nabi telah menunjukkan bahwa islam atau agama sendiri tidak ada
dikotomi ilmu umum bahkan mengajarkan untuk menggunakan akal sebagai media
berfikir. Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan dan menegaskan pentingnya akal
dalam kehidupan dan pentingnnya akal untuk sampai pada tuhan.
Jadi Paradigma integralistik dan di tambah adanya humanisasi
ilmu-ilmu agama dan umum menjadi penting demi terwujudnya satu kesatuan ilmu yang
saling menguatkan. Memberikan pemahaman yang komprehensif dalam segala
aspeknya. Termasuk kajian tafsir al-Qur’an maupun Hadis. Sehingga di harapkan
mampu memberikan pemahaman yang tidak merugikan salah satu pihak agar
terwujudnya integralistik antara ilmu itu sendiri dan golongan yang ada di
masyakat.
Referensi:
Buku Ceramah Dr. Fuad Anshori dalam Seminar
Sosialisasi Unity of Sciences
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekontruksi
Holistik, Jakarta: Arasy Mizan dan Jakarta Press, 2005
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia atau UI-Press, 1986
Pemaparan Dr. Muhyar Fanani dalam
paparannya di acara TOT yang diadakan oleh Pokja UIN walisongo pada Jumat, 28
November 2015 di Hotel Bringin kota Salatiga
Sudarmojo, Agus Haryo, Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam
Al-Qur’an, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2009
Zaprulkhan, Filsafat Umum; Sebuah Pendekatan Tematik,
Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam; Filosof dan Fisafatnya,
Jakarta: PT RajGrafindo Persada, 2007
[1]Teori atau paradigma tersebut di ambil dari buku ceramah Dr. Fuad
Anshori dalam seminar Sosialisasi Strategi Pengembangan Akademik berbasis Unity
Of Sciences di Hotel Pandanaran, Jum’at, 6 Desember 2013. Hal. 63-64
[2] Dr. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekontruksi
Holistik, (Jakarta: Arasy Mizan dan Jakarta Press, 2005), hal. 27
[3] Ibid. Hal. 30
[4] Dr. H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Fisafatnya,
(Jakarta: PT RajGrafindo Persada, 2007), cet. I, hal. 115
[5] Hal
ini di ungkapkan oleh Dr. Muhyar Fanani dalam paparannya di acara TOT yang
diadakan oleh Pokja UIN walisongo pada Jumat, 28 November 2015 di Hotel Bringin
kota Salatiga.
[6] Ir. Agus Haryo Sudarmojo, Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam
Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2009), cet. III, hal. 9-10
[7] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia atau UI-Press, 1986), hal. 55
[8] Dr. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekontruksi
Holistik, (Jakarta: Arasy Mizan dan Jakarta Press, 2005), hal. 60
[9] Ibid. Hal. 33
[10] Ibid. Hal. 38
[11] Dr. Zaprulkhan, M.Si, Filsafat Umum; Sebuah Pendekatan Tematik,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal.48
[12] Dr. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekontruksi
Holistik, (Jakarta: Arasy Mizan dan Jakarta Press, 2005), Hal. 47
0 komentar:
Posting Komentar