Metode Penafsiran Aisyah Bintus Syathi'
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Alquran
merupakan sumber utama agama Islam yang di dalamnya memuat nilai-nilai
universal kemanusiaan. Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh
umat manusia hingga akhir zaman. Untuk mendapatkan hal tersebut maka harus
mengkaji, membaca, kemudian mengamalkan apa yang ada dalam alquran. Sejalan
dengan perkembangan zaman, permasalahan terhadap makna yang terkandung di dalam
alquran baik yang tersirat maupun yang tersurat mulai muncul, terdapat
bermacam-macam penafsiran.
Tokoh-tokoh
mufassirun mulai bermunculan untuk menyampaikan argumentasinya terhadap makna
alquran. Maka dari itu di dalammakalah ini akan mengkaji salah satu tokoh
mufassirun perempuan, yaitu Aisyah bintu Syathi’ dengan corak pemikirannya
dalam mengkaji alquran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Aisyah binti
Syathi’?
2.
Apa saja karya – karyanya?
3.
Bagaimana metode penafsiranya?
4.
Bagaimana implementasi atau contoh
– contoh penafsirannya?
II.
PEMBAHASAN
1. Biografi Aisyah bintu Syathi’
Aisyah Bintu Syathi’ atau yang lebih dikenal dengan nama Bintu Syathi’
memiliki nama asli yaitu Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’, lahir di Dumyath
sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913 M[1]. Aisyah Bintu Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh,
Abdurrahman ayahnya adalah seorang guru teologi di daerahnya. Aisyah memulai
pendidikannya pada usia lima tahun yaitu belajar membaca dan menulis tulisan
arab, kemudian ia melanjutkan ke tingkat sekolah dasar untuk mempelajari
gramatika bahasa arab dan dasar-dasar kepercayaan islam. Pada awalnya Aisyah
tidak dibolehkan oleh ayahnya untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan formal,
namun berkat jasa ibu serta kakeknya Aisyah dapat melanjutkan pendidikanya
tanpa sepengetahuan ayahnya. Tahun 1936 M Aisyah mendaftarkan dirinya di
Fakultas Sastra, Universitas Fuad I Kairo Mesir dan lulus tahun 1939 M dengan
meraih gelar Lc. Di Universitas yang sama, Aisyah meraih gelar Master pada
tahun 1941 M, serta menyelesaikan program doktornya tahun 1950 M. Setelah ia
menyelesaikan akademiknya, ia lantas tidak meninggalkan dunia pendidikan , ia menjadi guru besar
bahasa serta sastra arab di Universitas ‘Ain Al-Syams Mesir, serta guru besar
tamu di Universitas Qarawiyyin.
Selain dalam bidang sastra arab, Aisyah juga mempunyai bakat dalam dunia
jurnalistik terlihat dengan karyanya menerbitkan majalah al-Nahdah an-Nisa’iyyah pada 1933, di
mana ia bertindak sebagai redakturnya.
Kecintaan Aisyah Bint Syathi’ dalam kajian tafsir Al-Qur’an diawali sejak
pertemuannya dengan Prof.Amin Al-Khully di sebuah Unversitas di Kairo Mesir.
Aisyah bintu Syathi’ sangat terpengaruh oleh gaya dari sang guru yang juga menjadi
suaminya.
2. Karya – Karya Aisyah Bintu
Syathi’
Diantara buku-buku yang telah dipublikasikan adalah:
1. Al-Hayâh Al-Insâniyah ‘inda Abî
Al-‘Alâ
2. Rîsâlâh Al-Ghufrân lî Abî Al-A’lâ
3. Al-Ghufrân lî Abî Al-A’lâ
Al-Mâ’ârrî
4. Ardh Al-Mu’jîzât
5. Nîsâ Al-Nâbîy
6. Umm An-Nâbîy
7. Bânât An-Nâbîy
8. Sukâynâh bînt Al-Husâyn
9. Bâthâlât Al-Kârbâlâ
10. Al-Khânsâ
11. Al-Mâfhum Al-Islâm lî Tâhrîr Al-Mâr’âh
12. A’dhâ Al-Bâsyâr
Adapun karya-karyanya yang berkaitan dengan
kajian-kajian al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Al-Tâfsîr Al-Bâyânîy lî Al-Qur’ân
Al-Kârîm,Vol. 1
2. Al-Tâfsîr Al-Bâyânîy lî Al-Qur’ân
Al-Kârîm,Vol. II
3. Kîtâbunâ Al-Akbâr
4. Mâqâl fî Al-Insân
5. Al-Qur’ân wâ Al-Tâfsîr Al-Asyrî
6. Al-I’jâz Al-Bâyânî lî Al-Qur’ân
7. Al-Syâkhshîyyâh Al-Islâmîyâh
3. Metode
Penafsiran Aisyah Bintu Syathi’
Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang
Bintu Syathi’ dengan mufasir lain adalah bahwa dia lebih menonjolkan dari segi
sastra. Pendekatan yang baliau pakai adalah dengan metode semantik.
Metode penafsiran yang digunakan Bintusy Syathi’
dalam menafsirkan ayat al Quran yaitu: metode yang biasa disebut sebagai metode
munasabah[2], yaitu metode mengkaitkan kata atau ayat dengan
kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan.
Pada
kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani
li al-Quran, Bint Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya
tersebut mengikuti standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen
sekaligus Suami tercintanya, Amin al-Kulli. Perlu diketahui, gagasan Amin
al-Kulli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an, yaitu
menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Diakui oleh Bintu al-Syati’ sendiri bahwa Amin al-Khuli telah banyak
menginspirasinya, baik dalam kehidupan maupun keilmuan. Ia juga
mengungkapkan bahwa metode dalam tafsirnya adalah apa yang ia sarikan
dari metode penafsiran Amin al-Khuli. Adapun metode yang ditawarkan
oleh Amin al-Khuli sbb :
Ø Studi Eksternal Teks (dirasat ma haul
al-Qur’an), kajian tersebut meliputi kajian
khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan
kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan
Arab.
Ø Studi Internal Teks (dirasat ma fi al-Qur’an), kajian ini bermaksud untuk mencari makna etimologis,
terminologis. Semantik yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic
dalam satu ayat yang ditafsirkan. Berangkat dari metode yang ditawarkan oleh
Amin al-Kulli tersebut, Bint Syathi kemudian menetapkan metode penafsirannya
sebagai berikut
Selaras dengan
pendapat tersebut, Bint al-Syati’ dalam tafsirnya adalah pengambilan
objektivitas yang disatukan dalam kajian tematik tertentu, yakni dengan
mengumpulkan apa yang ada dalam al-Qur’an dan mengambil petunjuk melalui
penggunaan umum dari kata-kata dan gaya bahasanya.
Bintu al-Syati’
telah membawa metode sastra Amin al-Khuli kearah neo tradisionalisme. Hal ini
dilakukan bisa jadi, karena jalur tradisionali ini dipilih agar terhindar dari
nasib yang dialami oleh beberapa murid al-Khuli lainnya. Meskipun berhaluan
pada metode klasik, seperti “menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an”, tidak
bisa dipungkiri bahwa metode tersebut memang terdapat pada suatu metode tafsir
modern, yang nyatanya metode tersebut belum diberlakukan secara efektif oleh
mufassir klasik. Dan tidak jarang dengan metode ini ia menemukan beberapa
penafsiran baru yang menyegarkan.
Bintu
Syathi sangat terpengaruh gaya sang guru yang juga pendamping hidupnya, Amin
al-Khulli. Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang Bint al-Shati’
dengan mufasir lainnya adalah bahwa dia lebih menonjolkan segi sastra. Pendekatan
yang beliau pakai yaitu dengan menggunakan metode semantik, metode yang
berbasis pada analisa teks.
Metode penafsiran yang digunakan Bint al-Shati’dalam
menafsirkan ayat al-Quran yaitu metode yang biasa disebut sebagai metode
munasabah, yaitu metode yang mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat
yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan. Langkah pertamanya
yaitu dengan mengumpulkan kata dan penggunaannya dalam beberapa ayat al-Qur’an
untuk mengetahui penjelasan apa saja yang terkait dengan sebuah kata yang
ditafsirkan atau diberi penjelasan.
Sebagaimana
yang telah dipaparkan sebelumnya Bintusy Syathi Dalam menulis karya tafsirnya
banyak dipengaharui oleh gurunya yang sekaligus belakangan menjadi suaminya,
yakni Amin Al-Khulli. Yang menafsirkan Al-quran dengan
memposisikanya sebagai teks kebahasaan dan sastra (al-Arabiyyah al-Akbar). Hal demikian juga
ditegaskan Syati’ dalam pengantar bukunya :
“ Yang utama didalam
metode tafsir bernuansa sastra ini-sebagaimana saya terima dari guru
saya- adalah penguasaan tema untuk mengkaji satu tema didalamnya, lalu
menghimpun semua tema didalam Al-Qur’an, mengikuti kelaziman penerapan
lafal-lafal dan ungkapam-ungkapan sesudah membatasi makna bahasa.”
Berlandaskan
posisi Al-Qur’an sebagai kitab sastra Bintusy Syati’ menggunakan formulasi
prinsip dan metode yang dibangun oleh suaminya, Amin Al-Khulli. Adapun metode
dan prinsip tersebut adalah:
Pertama, prinsip yang
digunakan Bintusy Syati’ adalah bahwa sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan
sebagian ayat yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan salah satu metode
yang dipegangi ulama klasik, yakni menafsirkan dengan metode bir
riwayat. Dalam menerapkan prinsip ini Bintu
Syati’ memulai dengan mengumpulkan semua ayat dan surah mengenai tpik yang
ingin dikaji.
Kedua, metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode munasabah,
yaitu mengaitkan antara kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada
didekatnya, dan bahkan bisa tidak ada didekatnya.
Ketiga, prinsip bahwa ‘ibrah atau ketentuan suatu bahasa masalah berdasar
atas bunyi umumnya lafaz atau teks bukan karena adanya sebab khusus.
Keempat, keyakinan
bahwa kata-kata didalam bahasa arab Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata
hanya mempunyai satu makna. Sehingga apabila ada yang mencoba untuk
menggantikan kata dari Al-Qur’an. maka al-qur’an bisa kehilangan
efektifitasnya, ketepatan, keindahan dan esensinya.
Sastra
tematik yang dikembangkan Aisyah Bintus Syathi’ yang
dimaksud di sini adalah corak tafsir kontekstual yang menganut madzhab dan
aliran tematik umum (maudhu’i ‘am). Pengkajiannya dikhususkan pada
pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Beliau tidak mengambil seluruh
surat dalam al-Qur’an. Namun, beberapa surat pendek saja di juz amma pada buku
pertama: Adh- Dluha, Asy-Syarh, Az- Zalzalah, Al-Adiyat, An-Nazi’at, Al-Balad, dan
At-Takatsur. Dan tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua: Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al-
Fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un.
4. Contoh Penafsiran Bintu
Syathi’
Berikut
adalah contoh penafsiran dari at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm
Bintu asy-Syaţi’, surat al-Zalzalah:
إِذَا زُلْزِلَتِ الأرْضُ زِلْزَالَهَا. وَأَخْرَجَتِ
الأرْضُ أَثْقَالَهَا. وَقَالَ الإنْسَانُ مَا لَهَا. يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا.
بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى
لَهَا. يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ. فَمَنْ يَعْمَلْ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ.
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Apabila
bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). dan bumi telah mengeluarkan
beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi
(menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena
sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada
hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya
diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. 99:1-8)
Surat
ini menggambarkan proses awal kejadian hari akhir, yang kemudian diikuti dengan
pembangkitan kembali. Melalui ayat ini, dan ayat-ayat senada lainnya, Allah
menjelaskan bahwa seluruh manusia akan dibangkitkan kembali. Sebab itu, hari
tersebut dinamai dengan yaum al-ba’ś atau yaum al-qiyāmah.
Dalam
al-Zalzalah terdapat kecenderungan pengulangan ayat. Padahal pengulangan
biasanya hanya dalam surah yang panjang. Jika pengulangan terdapat pada
keadaan-keadaan singkat, maka itu bermaksud untuk perhatian dan menimbulkan
pengaruh secara psikis. Menurut Bintu asy-Syaţi, pengulangan-pengulangan
tersebut merupakan fenomena uslub (gaya bahasa) di dalam al-Qur’an untuk
pemantapan, penetapan dan penegasan.
Lafaz-lafaz
yang dipilih untuk keadaan hari kiamat sangat berpengaruh dan kuat
kesannya; baik karena kekerasannya seperti al-zalzalah (guncangannya,
benturannya, getarannya, kedahsyatannya, kebesaran peristiwanya,
cerai-berainya, dan berserakannya); maupun karena kehalusannya seperti sebutir zarrah,
debu yang berterbangan, bulu yang berhamburan, fatamorgana, asap, dll.
Al-Zalzalah menurut
bahasa berarti “gerakan yang keras dan guncangan yang dahsyat”. Kata ini
digunakan pada hal-hal yang dapat dindera. Seperti kata-kata zalzala
al-ibila (jika dia menuntun unta dengan keras, maka guncanglah jalannya), tazalzalat
al- ardhu (jika bumi berguncang dan bergetar). Kemudian ia digunakan dalam
hal-hal yang keras dan menakutkan.
Menurut
Bintu asy-Syaţi, kata al-zilzal (keguncangan) digabungkan dengan kata al-ardh
(bumi) sejalan dengan spontanitas yang tampak pada ayat sesudahnya, yaitu
pengeluaran bumi akan beban-beban dan pembicaraan-pembicaraan tentangnya. Selanjutnya, dengan diaktifkannya kalimat zulzilat
al-ardhu (bumi diguncangkan) dan kuatnya efektivitas yang diperoleh secara
langsung dari ikhraj (pengeluaran), tahaddus (skenario kejadian)
dan al-zalzalah (guncangan) kepada bumi, maka tidak ada alasan bagi
perkiraan perantaraan para malaikat untuk menyampaikan “wahyu” kepada bumi yang
berguncang dengan guncangannya yang hebat; mengeluarkan kandungannya dan
menceritakan berita-beritanya.
Kata
yaumaidzin (pada hari itu) diulang-ulang untuk menghubungkan
urutan-urutan keadaan, serta mengembalikan perhatian pendengar kepada ayat-ayat
sebelumnya, serta mengulangi peringatan-peringatan yang telah mantap di
benaknya.
Mayoritas
mufasir berpendapat bahwa yashduru al-nas (manusia keluar dari kuburnya)
di sini bermakna mereka keluar dari kuburan atau mereka berpaling dari keadaan
hisab. Menurut Bintu asy-Syaţi, penafsiran yashduru (mengeluarkan)
dengan “keluar” atau “berpaling” kehilangan inspirasi kata di dalam rasa bahasa
Arab, yang menggunakan kata al-shadr (keluar) lawan dari al-wird
(kembali). Kata yashduru di sini lebih ekspresif, dan orang Arab juga
sudah biasa menggunakan kata tersebut dan berlakulah kebiasaan mereka, bahwa al-warid
(orang yang kembali) harus mengetahui bagaimana dia yashdur (keluar).
Jika tidak, dia pasti akan tersesat.
Lafaz
Asytat (bercerai-berai) adalah jamak dari syatt. Asytat dan
syatt tersebut di dalam bahasa adalah cerai-berai dan perselisihan.
Materi tersebut terdapat pada lima tempat dalam al-Qur’an, tiga di antaranya
dengan bentuk syatta: (Q.S Thaha :20: 53). (Q.S. Al-Lail 92: 4), dan (Q.S.
Al-Hasyr 59:14) dua kali dalam bentuk asytat (Q.S. al-Nur 24: 61 ).
Adapun
mitsqal adalah sesuatu yang ditimbang. Ia termuat di dalam al-Qur’an
delapan kali; dua kali di antaranya digandengkan dengan habbah min khaldal
(biji sawi). (Q.S. al-Anbiya’ 21: 47). Dan (Q.S. Luqman 31: 16). Konteks dan
struktur dua ayat itu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan mitsqal di
sini bukanlah ringannya timbangan, tetapi kecilnya ukuran. Sedangkan enam kali
lainnya mitsqal_disambung dengan dzarrah (Q.S yunus 10: 61, Q.S.
Al-Saba. 34: 3; 22. Q.S. al-Nisa’ 4: 40), dan dua ayat dalam al-zalzalah.
Jelaslah
bahwa yang dimaksud dengan dzarrah di dalam kedua ayat tersebut adalah
ringannya timbangan. Meskipun banyak mufassir yang berusaha menentukan
bahwa kadar dzarrah adalah seperseratus berat biji gandum atau ia adalah
atom yang rahasianya baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan pada abad kedua puluh
ini, namun Bintu asy-Syaţi membantahnya dengan berpendapat bahwa Bahasa Arab
memberi makna “dzarr” pada segala sesuatu yang menerangkan kelemahan,
kekecilan dan keringanan timbangan.
Selanjutnya,
Bintu asy-Syaţi melihat bahwa dengan keadaan dan susunan konteks dari
guncangan, ledakan, pecahan dan benturan. Maka mereka mengeluarkan beban-beban
dan pergi secara terpisah-pisah dan tercerai-berai menampakkan amal yang baik
ataupun yang buruk meskipun sebesar biji sawi.
Demikianlah,
semua amal baik kecil maupun besar akan diperlihatkan kepada pelakunya dengan
adanya perhitungan dan pembalasan, dengan keadilan, kemuliaan, dan
kemurahan-Nya. Allah swt memberi ampun kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan
menyiksa siapa saja yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah swt mampu
melakukan apa saja yang Dia kehendaki.
III.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Prinsip dan metodelogi penafsiraan yang
digunakan Asiyah Bintu Syati’ banyak dipengaruhi oleh Amin Al-Khully. Adapun
metodologinya adalah
1.
Mengumpulkan secara tematik surat dan ayat
yang mempunyai pembahsan atau masalah yang sama
2.
Mengurutkan dari segi aspek kronologis tartin
al-nuzul
3.
Analisis semantik / kebahasaan
4.
Jika menemukan lafaz yang sulit, maka
dikembalikan kepada makna asli dari al-qur’an itu sendiri.
b.
Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shaabuuniy,
Muhammad Ali. 1998. Studi Ilmu Al-Qur’an,terj. Drs.H.Aminuddin. Bandung
: CV PUSTAKA SETIA
Arkoun,
Mohammed. 1998. Kajian Kontemporer Al-Qur’an,terj.Hidayatullah. Bandung
: PUSTAKA
Bintu Sythi’,
Aisyah Abdurrahman. tt. at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm, Juz I,
terj. Mudzakir Abdussalam. Bandung : Mizan
Ash-Shiddieqy,
Tengku Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an:Ilmu-ilmu Pokok dalam
menafsirkan Al-Qur’an. PT PUSTAKA RIZKI PUTRA : Semarang
selengkapnya tentang binti syati' https://www.youtube.com/watch?v=hqazal6iXL8
BalasHapus