Jumat, 27 Februari 2015

Metode Penafsiran Aisyah Bintus Syathi'

Metode Penafsiran Aisyah Bintus Syathi'


I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Alquran merupakan sumber utama agama Islam yang di dalamnya memuat nilai-nilai universal kemanusiaan. Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Untuk mendapatkan hal tersebut maka harus mengkaji, membaca, kemudian mengamalkan apa yang ada dalam alquran. Sejalan dengan perkembangan zaman, permasalahan terhadap makna yang terkandung di dalam alquran baik yang tersirat maupun yang tersurat mulai muncul, terdapat bermacam-macam penafsiran.
Tokoh-tokoh mufassirun mulai bermunculan untuk menyampaikan argumentasinya terhadap makna alquran. Maka dari itu di dalammakalah ini akan mengkaji salah satu tokoh mufassirun perempuan, yaitu Aisyah bintu Syathi’ dengan corak pemikirannya dalam mengkaji alquran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Aisyah binti Syathi’?
2.      Apa saja karya – karyanya?
3.      Bagaimana metode penafsiranya?
4.      Bagaimana implementasi atau contoh – contoh penafsirannya?

II.                PEMBAHASAN
1.      Biografi Aisyah bintu Syathi’
Aisyah Bintu Syathi’ atau yang lebih dikenal dengan nama Bintu Syathi’ memiliki nama asli yaitu Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’, lahir di Dumyath sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913 M[1]. Aisyah Bintu Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh, Abdurrahman ayahnya adalah seorang guru teologi di daerahnya. Aisyah memulai pendidikannya pada usia lima tahun yaitu belajar membaca dan menulis tulisan arab, kemudian ia melanjutkan ke tingkat sekolah dasar untuk mempelajari gramatika bahasa arab dan dasar-dasar kepercayaan islam. Pada awalnya Aisyah tidak dibolehkan oleh ayahnya untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan formal, namun berkat jasa ibu serta kakeknya Aisyah dapat melanjutkan pendidikanya tanpa sepengetahuan ayahnya. Tahun 1936 M Aisyah mendaftarkan dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad I Kairo Mesir dan lulus tahun 1939 M dengan meraih gelar Lc. Di Universitas yang sama, Aisyah meraih gelar Master pada tahun 1941 M, serta menyelesaikan program doktornya tahun 1950 M. Setelah ia menyelesaikan akademiknya, ia lantas tidak meninggalkan dunia pendidikan , ia menjadi guru besar bahasa serta sastra arab di Universitas ‘Ain Al-Syams Mesir, serta guru besar tamu di Universitas Qarawiyyin.
Selain dalam bidang sastra arab, Aisyah juga mempunyai bakat dalam dunia jurnalistik terlihat dengan karyanya menerbitkan majalah al-Nahdah an-Nisa’iyyah pada 1933, di mana ia bertindak sebagai redakturnya.
Kecintaan Aisyah Bint Syathi’ dalam kajian tafsir Al-Qur’an diawali sejak pertemuannya dengan Prof.Amin Al-Khully di sebuah Unversitas di Kairo Mesir. Aisyah bintu Syathi’ sangat terpengaruh oleh gaya dari sang guru yang juga menjadi suaminya.
2.      Karya – Karya Aisyah Bintu Syathi’
Diantara buku-buku  yang telah dipublikasikan adalah:
1.      Al-Hayâh Al-Insâniyah ‘inda Abî Al-‘Alâ
2.      Rîsâlâh Al-Ghufrân lî Abî Al-A’lâ
3.      Al-Ghufrân lî Abî Al-A’lâ Al-Mâ’ârrî
4.      Ardh Al-Mu’jîzât
5.      Nîsâ Al-Nâbîy
6.      Umm An-Nâbîy
7.      Bânât An-Nâbîy
8.      Sukâynâh bînt Al-Husâyn
9.      Bâthâlât Al-Kârbâlâ
10.  Al-Khânsâ
11.  Al-Mâfhum Al-Islâm lî Tâhrîr Al-Mâr’âh
12.  A’dhâ Al-Bâsyâr
Adapun karya-karyanya yang berkaitan dengan kajian-kajian al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Al-Tâfsîr Al-Bâyânîy lî Al-Qur’ân Al-Kârîm,Vol. 1
2.      Al-Tâfsîr Al-Bâyânîy lî Al-Qur’ân Al-Kârîm,Vol. II
3.      Kîtâbunâ Al-Akbâr
4.      Mâqâl fî Al-Insân
5.      Al-Qur’ân wâ Al-Tâfsîr Al-Asyrî
6.      Al-I’jâz Al-Bâyânî lî Al-Qur’ân
7.      Al-Syâkhshîyyâh Al-Islâmîyâh

3.      Metode Penafsiran Aisyah Bintu Syathi’
Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang Bintu Syathi’ dengan mufasir lain adalah bahwa dia lebih menonjolkan dari segi sastra. Pendekatan yang baliau pakai adalah dengan metode semantik.
Metode penafsiran yang digunakan Bintusy Syathi’ dalam menafsirkan ayat al Quran yaitu: metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah[2], yaitu metode mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan.
Pada kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bint Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami tercintanya, Amin al-Kulli. Perlu diketahui, gagasan Amin al-Kulli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an, yaitu menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Diakui oleh Bintu al-Syati’ sendiri bahwa Amin al-Khuli telah banyak menginspirasinya, baik dalam kehidupan maupun keilmuan. Ia juga mengungkapkan bahwa metode dalam tafsirnya adalah apa yang ia sarikan dari metode penafsiran Amin al-Khuli. Adapun metode yang ditawarkan oleh Amin al-Khuli sbb :
Ø  Studi Eksternal Teks (dirasat ma haul al-Qur’an), kajian tersebut meliputi kajian khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan Arab.
Ø  Studi Internal Teks (dirasat ma fi al-Qur’an), kajian ini bermaksud untuk mencari makna etimologis, terminologis. Semantik yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic dalam satu ayat yang ditafsirkan. Berangkat dari metode yang ditawarkan oleh Amin al-Kulli tersebut, Bint Syathi kemudian menetapkan metode penafsirannya sebagai berikut
Selaras dengan pendapat tersebut, Bint al-Syati’ dalam tafsirnya adalah pengambilan objektivitas yang disatukan dalam kajian tematik tertentu, yakni dengan mengumpulkan apa yang ada dalam al-Qur’an dan mengambil petunjuk melalui penggunaan umum dari kata-kata dan gaya bahasanya.
Bintu al-Syati’ telah membawa metode sastra Amin al-Khuli kearah neo tradisionalisme. Hal ini dilakukan bisa jadi, karena jalur tradisionali ini dipilih agar terhindar dari nasib yang dialami oleh beberapa murid al-Khuli lainnya. Meskipun berhaluan pada metode klasik, seperti “menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an”, tidak bisa dipungkiri bahwa metode tersebut memang terdapat pada suatu metode tafsir modern, yang nyatanya metode tersebut belum diberlakukan secara efektif oleh mufassir klasik. Dan tidak jarang dengan metode ini ia menemukan beberapa penafsiran baru yang menyegarkan.
Bintu Syathi sangat terpengaruh gaya sang guru yang juga pendamping hidupnya, Amin al-Khulli. Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang Bint al-Shati’ dengan mufasir lainnya adalah bahwa dia lebih menonjolkan segi sastra. Pendekatan yang beliau pakai yaitu dengan menggunakan metode semantik, metode yang berbasis pada analisa teks.
Metode penafsiran yang digunakan Bint al-Shati’dalam menafsirkan ayat al-Quran yaitu metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode yang mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan. Langkah pertamanya yaitu dengan mengumpulkan kata dan penggunaannya dalam beberapa ayat al-Qur’an untuk mengetahui penjelasan apa saja yang terkait dengan sebuah kata yang ditafsirkan atau diberi penjelasan.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya Bintusy Syathi Dalam menulis karya tafsirnya banyak dipengaharui oleh gurunya yang sekaligus belakangan menjadi suaminya, yakni Amin Al-Khulli. Yang menafsirkan Al-quran dengan memposisikanya sebagai teks kebahasaan dan sastra (al-Arabiyyah al-Akbar). Hal demikian juga ditegaskan Syati’ dalam pengantar bukunya :
“ Yang utama didalam metode tafsir bernuansa sastra  ini-sebagaimana saya terima dari guru saya- adalah penguasaan tema untuk mengkaji satu tema didalamnya, lalu menghimpun semua tema didalam Al-Qur’an,  mengikuti kelaziman penerapan lafal-lafal dan ungkapam-ungkapan sesudah membatasi makna bahasa.”
Berlandaskan posisi Al-Qur’an sebagai kitab sastra Bintusy Syati’ menggunakan formulasi prinsip dan metode yang dibangun oleh suaminya, Amin Al-Khulli. Adapun metode dan prinsip tersebut adalah:
Pertama, prinsip yang digunakan Bintusy Syati’ adalah bahwa sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan salah satu metode yang dipegangi ulama klasik, yakni  menafsirkan dengan metode bir riwayat. Dalam menerapkan prinsip ini Bintu Syati’ memulai dengan mengumpulkan semua ayat dan surah mengenai tpik yang ingin dikaji.
Kedua, metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode munasabah, yaitu mengaitkan antara kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada didekatnya, dan bahkan bisa tidak ada didekatnya.
Ketiga, prinsip bahwa ‘ibrah atau ketentuan suatu bahasa masalah berdasar atas bunyi umumnya lafaz atau teks bukan karena adanya sebab khusus.
Keempat, keyakinan bahwa kata-kata didalam bahasa arab Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya mempunyai satu makna. Sehingga apabila ada yang mencoba untuk menggantikan kata dari Al-Qur’an. maka al-qur’an bisa kehilangan efektifitasnya, ketepatan, keindahan dan esensinya.
Sastra tematik yang dikembangkan Aisyah Bintus Syathi’ yang dimaksud di sini adalah corak tafsir kontekstual yang menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhu’i ‘am). Pengkajiannya dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Beliau tidak mengambil seluruh surat dalam al-Qur’an. Namun, beberapa surat pendek saja di juz amma pada buku pertama: Adh- Dluha, Asy-Syarh, Az- Zalzalah, Al-Adiyat, An-Nazi’at, Al-Balad, dan At-Takatsur. Dan tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua: Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al- Fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un.

4.      Contoh Penafsiran Bintu Syathi’
                 Berikut adalah contoh penafsiran dari at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm Bintu asy-Syaţi’, surat al-Zalzalah:
إِذَا زُلْزِلَتِ الأرْضُ زِلْزَالَهَا. وَأَخْرَجَتِ الأرْضُ أَثْقَالَهَا. وَقَالَ الإنْسَانُ مَا لَهَا. يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا.
 بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا. يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ.
 وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
            “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. 99:1-8)
            Surat ini menggambarkan proses awal kejadian hari akhir, yang kemudian diikuti dengan pembangkitan kembali. Melalui ayat ini, dan ayat-ayat senada lainnya, Allah menjelaskan bahwa seluruh manusia akan dibangkitkan kembali. Sebab itu, hari tersebut dinamai dengan yaum al-ba’ś atau yaum al-qiyāmah.
            Dalam al-Zalzalah terdapat kecenderungan pengulangan ayat. Padahal pengulangan biasanya hanya dalam surah yang panjang. Jika pengulangan terdapat pada keadaan-keadaan singkat, maka itu bermaksud untuk perhatian dan menimbulkan pengaruh secara psikis. Menurut Bintu asy-Syaţi, pengulangan-pengulangan tersebut merupakan fenomena uslub (gaya bahasa) di dalam al-Qur’an untuk pemantapan, penetapan dan penegasan.
                  Lafaz-lafaz yang dipilih untuk keadaan  hari kiamat sangat berpengaruh dan kuat kesannya; baik karena kekerasannya seperti al-zalzalah (guncangannya, benturannya, getarannya, kedahsyatannya, kebesaran peristiwanya, cerai-berainya, dan berserakannya); maupun karena kehalusannya seperti sebutir zarrah, debu yang berterbangan, bulu yang berhamburan, fatamorgana, asap, dll.
                  Al-Zalzalah menurut bahasa berarti “gerakan yang keras dan guncangan yang dahsyat”. Kata ini digunakan pada hal-hal yang dapat dindera. Seperti kata-kata zalzala al-ibila (jika dia menuntun unta dengan keras, maka guncanglah jalannya), tazalzalat al- ardhu (jika bumi berguncang dan bergetar). Kemudian ia digunakan dalam hal-hal yang keras dan menakutkan.
                  Menurut Bintu asy-Syaţi, kata al-zilzal (keguncangan) digabungkan dengan kata al-ardh (bumi) sejalan dengan spontanitas yang tampak pada ayat sesudahnya, yaitu pengeluaran bumi akan beban-beban dan pembicaraan-pembicaraan tentangnya.  Selanjutnya, dengan diaktifkannya kalimat zulzilat al-ardhu (bumi diguncangkan) dan kuatnya efektivitas yang diperoleh secara langsung dari ikhraj (pengeluaran), tahaddus (skenario kejadian) dan al-zalzalah (guncangan) kepada bumi, maka tidak ada alasan bagi perkiraan perantaraan para malaikat untuk menyampaikan “wahyu” kepada bumi yang berguncang dengan guncangannya yang hebat; mengeluarkan kandungannya dan menceritakan berita-beritanya.
            Kata yaumaidzin (pada hari itu) diulang-ulang untuk menghubungkan urutan-urutan keadaan, serta mengembalikan perhatian pendengar kepada ayat-ayat sebelumnya, serta mengulangi peringatan-peringatan yang telah mantap di benaknya.
                  Mayoritas mufasir berpendapat bahwa yashduru al-nas (manusia keluar dari kuburnya) di sini bermakna mereka keluar dari kuburan atau mereka berpaling dari keadaan hisab. Menurut Bintu asy-Syaţi, penafsiran yashduru (mengeluarkan) dengan “keluar” atau “berpaling” kehilangan inspirasi kata di dalam rasa bahasa Arab, yang menggunakan kata al-shadr (keluar) lawan dari al-wird (kembali). Kata yashduru di sini lebih ekspresif, dan orang Arab juga sudah biasa menggunakan kata tersebut dan berlakulah kebiasaan mereka, bahwa al-warid (orang yang kembali) harus mengetahui bagaimana dia yashdur (keluar). Jika tidak, dia pasti akan tersesat.
                  Lafaz Asytat (bercerai-berai) adalah jamak dari syatt. Asytat dan syatt tersebut di dalam bahasa adalah cerai-berai dan perselisihan. Materi tersebut terdapat pada lima tempat dalam al-Qur’an, tiga di antaranya dengan bentuk syatta: (Q.S Thaha :20: 53). (Q.S. Al-Lail 92: 4), dan (Q.S. Al-Hasyr 59:14) dua kali dalam bentuk asytat (Q.S. al-Nur 24: 61 ).
                  Adapun mitsqal adalah sesuatu yang ditimbang. Ia termuat di dalam al-Qur’an delapan kali; dua kali di antaranya digandengkan dengan habbah min khaldal (biji sawi). (Q.S. al-Anbiya’ 21: 47). Dan (Q.S. Luqman 31: 16). Konteks dan struktur dua ayat itu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan mitsqal di sini bukanlah ringannya timbangan, tetapi kecilnya ukuran. Sedangkan enam kali lainnya mitsqal_disambung dengan dzarrah (Q.S yunus 10: 61, Q.S. Al-Saba. 34: 3; 22. Q.S. al-Nisa’ 4: 40), dan dua ayat dalam al-zalzalah.
                  Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan dzarrah di dalam kedua ayat tersebut adalah ringannya timbangan. Meskipun banyak mufassir yang berusaha menentukan bahwa kadar dzarrah adalah seperseratus berat biji gandum atau ia adalah atom yang rahasianya baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan pada abad kedua puluh ini, namun Bintu asy-Syaţi membantahnya dengan berpendapat bahwa Bahasa Arab memberi makna “dzarr” pada segala sesuatu yang menerangkan kelemahan, kekecilan dan keringanan timbangan.
                  Selanjutnya, Bintu asy-Syaţi melihat bahwa dengan keadaan dan susunan konteks dari guncangan, ledakan, pecahan dan benturan. Maka mereka mengeluarkan beban-beban dan pergi secara terpisah-pisah dan tercerai-berai menampakkan amal yang baik ataupun yang buruk meskipun sebesar biji sawi.
                  Demikianlah, semua amal baik kecil maupun besar akan diperlihatkan kepada pelakunya dengan adanya perhitungan dan pembalasan, dengan keadilan, kemuliaan, dan kemurahan-Nya. Allah swt memberi ampun kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa saja yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah swt mampu melakukan apa saja yang Dia kehendaki.

III.             PENUTUP
a.       Kesimpulan
Prinsip dan metodelogi penafsiraan yang digunakan Asiyah Bintu Syati’ banyak dipengaruhi oleh Amin Al-Khully. Adapun metodologinya adalah
1.      Mengumpulkan secara tematik surat dan ayat yang mempunyai pembahsan atau masalah yang sama
2.      Mengurutkan dari segi aspek kronologis tartin al-nuzul
3.      Analisis semantik / kebahasaan
4.      Jika menemukan lafaz yang sulit, maka dikembalikan kepada makna asli dari al-qur’an itu sendiri.
b.      Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shaabuuniy, Muhammad Ali. 1998. Studi Ilmu Al-Qur’an,terj. Drs.H.Aminuddin. Bandung : CV PUSTAKA SETIA
Arkoun, Mohammed. 1998. Kajian Kontemporer Al-Qur’an,terj.Hidayatullah. Bandung : PUSTAKA
Bintu Sythi’, Aisyah Abdurrahman. tt. at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm, Juz I, terj. Mudzakir Abdussalam. Bandung : Mizan
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an:Ilmu-ilmu Pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an. PT PUSTAKA RIZKI PUTRA : Semarang




[1] Aisyah bintu Syathi’, at-Tafsir al-Bayanli al-Quran al-Karim, Juz I, terj. Mudzakir Abdussalam, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009)
[2] [2] Aisyah Abdurrahman bintu Syathi’, at-Tafsir al-Bayanli al-Quran al-Karim, Juz I, (Darul Ma’arif, 1962).

1 komentar:

  1. selengkapnya tentang binti syati' https://www.youtube.com/watch?v=hqazal6iXL8

    BalasHapus

Menurutmu Bagaimana Blog Ini?

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.