Selasa, 12 Januari 2016

falsafah kesatuan ilmu


FALSAFAH KESATUAN ILMU

1.      Strategi Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan dalam Keilmuan Tafsir Hadis
Salah satu contoh  kajian tentang kesatuan ilmu dalam tafsir hadis adalah hadis tentang kewajiban menuntut ilmu, طالب العلم فرظة علي كل مسلم و المسلمة
Untuk mengkaji hadis di atas maka penulis akan menggunakan strategi Spiritualisasi ilmu-ilmu modern[1], mengapa demikian? Karena untuk menyatukan prinsip-prinsip keilmuan antara ilmu agama atau dalam hal ini penulis spesifikan dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir dan hadis.
Penyatuan ilmu agama dan ilmu modern dirasa perlu untuk pemahaman terhadap realitas yang ada. Ilmu-ilmu modern yang mengandalkan akal sebagai tumpuan dan adanya sekularisasi atau pemisahan dengan agama, maka dari itu prinsip atau strategi spiritualisasi ilmu-ilmu sekuler akan sangat penting demi adanya unity of science. Strategi spiritualisasi ini di ungkapkan oleh Dr. Fuad Nashori, dia menjelaskan bahwa spiritualisasi berusaha memberikan kebijakan nilai-nilai ketuhanan dan etika terhadap ilmu-ilmu sekuler untuk memastikan bahwa pada dasarnya semua ilmu berorientasi pada peningkatan kualitas atau keberlangsungan hidup manusia dan alam semesta serta bukan penistaan atau perusakan keduanya.
Timbulnya pihak-pihak yang hanya menekankan ilmu-ilmu agama yang di berikan oleh para pemuka agama (ulama), seperti halnya al ghozali, misalnya yang memandang sebagai fardhu ain ntuk menuntut ilmu agama dan fardhu kifayah untuk menuntut ilmu-ilmu non agama[2]. Hal ini menimbulkan ketimpangan yang nyata antara kedua klasifikasi ilmu tersebut. Dari problem yang ada menjadikan sulitnya mengintegrasikan berbagai sumber ilmu yang bersumber dari pengalaman manusia, baik ilmu yang bersumber dari panca indera, intelektual, dan intuisi sebagai pengalaman riil manusia maupun pengalaman ruhaniyah atau mistik dan religius yaitu agama[3]. Maka dari itu penting menyusun strategi sebagai paradigma kesatuan ilmu agama dan ilmu umum, agar ilmu menjadi lebih bijaksana.
Satu teori lagi yaitu dari Al-Kindi, salah satu Filosof muslim yang mengusahakan adanya pemaduan antara Filsafat (Ilmu/akal) dengan Agama. Untuk mengajukan konsep tersebut, dia menjelaskan beberapa langkah dan strategi dalam usaha pemaduannya. Menurutnya keduanya tidaklah bertentangan antara akal yang akan melahirkan ilmu umum dan agama, karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sdangkan kebenaran itu adalah satu.[4] Ilmu filsafat yang memberikan ruang pada akal akan banyak melahirkan ilmu sekuler seperti apa yang dikembangkan Barat. Namun dalam hal ini al-Kindi memberikan dalil Nash yang menunjukkan adanya integrasi ilmu agama dan ilmu umum, seperti QS. An-Nashr:2, QS. Al-A’raf:85.
Analisa Strategi Paradigma Spiritualisasi Ilmu-Ilmu Modern
Strategi ini berusaha memberikan dan berupaya untuk membangun ilmu pengetahuan baru yang didasarkan pada kesadaran kesatuan ilmu pengetahuan yang semuanya bersumber dari ayat Allah. Upaya untuk memberi nilai-nilai ketuhanan agar ilmu-ilmu modern tidak lagi sekuler yang hanya berdasar pada akal yang serba terbatas, namun juga harus di ikuti dengan dalil atau nash yang ada.
Dalam hadis di atas, menunjukkan pentingnya bahkan di wajibkannya menuntut ilmu, hal ini sejalan dengan ilmu-ilmu modern saat ini yang mengedepankan ilmu yang orientasinya adalah akal sebagai media berpikir. Perlu di ketahui bersama bahwa agama dalam nashnya baik al-Qur’an maupun hadis telah memberikan tuntunannya agar manusia menggunakan akalnya untuk mencari ilmu setinggi-tingginya. Agama bahkan tidak melarang manusia menggunakan akalnya dalam berpikir, berijtihad terhadap agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama telah mengajarkan manusia untuk berilmu dan memperoleh pengetahuan dari siapapun dan dari manapun, tak ada batasan untuk memperolehnya. Agama dan ilmu pengetahuan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Perdebatan tokoh-tokoh filsafat juga telah memperbincangkan bagaimana posisi agama dan akal, dan memberikan jawaban bahwa keduanya saling mendukung, tidak ada jurang pemisah antara keduanya. Agama dan akal (filsafat), keduanya berusaha mencari kebenaran hakiki. Akal atau ilmu pengetahuan bahkan yang menjadi dalil aqli untuk menguatkan dogma-dogma agama.
Ilmu yang perkembangannya sangat pesat menjadi keberhasilan tersendiri, namun di balik itu muncul problem bagaimana hubungan antara ilmu-ilmu tersebut. Dalam halini adanya paradigma unity of sciences setidaknya dapat memberikan penjelasan yang baik di mata masyarakat luas bahwa ilmu adalah satu tidak ada jurang pemisah.
Dalam hal ini apa yang saya ambil dalam kuliah yaitu jurusan Tafsir Hadis juga sudah terlihat nyata adanya integrasi dua keilmuan yaitu tafsir dan hadis. Dua hal yang berbeda namun ketika di satukan menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan. Kajian tafsir alqur’an dan hadis setidaknya sudah menjadi bukti adanya unity, walaupun masih dalam ranah ilmu-ilmu agama, namun dengan adanya akal dan posisi akal yang mempunyai ruang lebih untuk memahami agama sedalam mungkin dan tidak hanya berkutik pada ranah fisik tapi sampai pada ranah ontologi sebuah ilmu yang sama-sama berusaha memberi kebenaran hakiki.
Kesimpulan dan Rekomendasi Penulis
Dari pemahaman tersebut, perlu kita pikirkan secara mendalam agar memperoleh hasil yang baik pula. Spiritualisasi ilmu-ilmu modern adalah berusaha memadukan ilmu pengetahuan (akal) dengan dogma agama (nash) yang sebenarnya keduanya saling mendukung satu dengan yang lain saling menguatkan. Ilmu sekuler yang banyak di era modern ini selayaknya perlu di pahami dan di analisa dalam perspektif agama dan di lihat bagaimana paradigma yang ada dalam agama. Maka perlu adanya islamisasi ilmu modern yang sebenarnya agama telah mengajarkan dan tidak jauh berbeda dengan ajaran agama.
Maka strategi spiritualisasi ilmu-ilmu modern dalam hal ini menurut penulis adalah hal yang penting sebagai landasan dalam mewujudkan unity of sciences. Karena agar tidak ada dikotomi/pemisahan ilmu agama dan umum yang akhirnya terjadi sekularisasi.
Dari penjelasan di atas, penulis merasa perlu adanya spiritualisasi ilmu-ilmu modern yang berorientasi pada sekularisasi agar di pahami dalam ranah agama agar seimbang dan adanya unity. Karena bagi penulis, ilmu dan dogma agama adalah hal yang sangat penting dan sulit di pisahkan, karena lagi-lagi keduanya dalam kinerjanya adalah saling berpengaruh satu dengan yang lain.
Tentang bagaimana pentingnya ilmu yang di kembangkan pemikir modern sebenarnya agama dalam hal ini, penulis contohkan dalam kajian hadis di atas yang sebenarnya mendukung realitas ilmu modern dan yang seharusnya menjadi dasar dalam mencari ilmu pengetahuan.
2.      Integrasi antara Sains dan Tafsir Hadis

 أَوَ لَمۡ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ كَانَتَا رَتۡقٗا فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ أَفَلَا يُؤۡمِنُونَ ٣٠

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman”
Untuk mengetahui dan melakukan analisa atas ayat al-Qur’an di atas, penulis berusaha memberikan dan memakai teori unity of sciences yaitu adanya Dialektika Ilmu-Ilmu Pengetahuan[5], sebagai prinsip unity of sciences. Dia menjelaskan setidaknya ada lima paradigma yang di gunakan dalam menganalisa unity of sciences, dalam hal ini penulis mengambil satu prinsip yaitu dialektika ilmu-ilmu pengetahuan, dalam hal ini sains dan ilmu Tafsir Hadis. Dialektika ilmu-ilmu pengetahuan adalah proses dimana adanya interaksi dan benturan antara ilmu-ilmu yang ada, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum yang sebelumnya mengalami dikotomi yang luar biasa terutama di barat.
Dalam ayat di atas telah menjelaskan bahwa ayat agama telah di dukung ilmu pengetahuan sebagai argumentasi rasional yang mampu meyakinkan masyarakat terhadap dogma agama yang ada. Disitu telah menunjukkan bahwa ilmu sebagai penguat dogma yang ada sejak dulu, sains telah memberikan penjelasan yang sedetail mungkin terhadap teks.
Beberapa teori alam semesta seperti teori big bang  ternyata juga di jelaskan oleh al-Qur’an dengan sangat indah dan bijaksana. Ternyata al-Qur’an telah menyajikan informasi yang sangat akurat bahwa pada awalnya langit dan bumi memang berpadu dalam satu titik singularitas sebagai asal segala yang ada di jagad raya.[6]
Adanya sekularisasi di Barat menunjukkan bahwa ada pemisahan antara kedua ilmu tersebut. Oleh karena itu, dialektika ilmu-ilmu pengetahuan akan sangat penting sebagai prinsip dasar dalam mencapai integrasi ilmu pengetahuan.
Sejarah membuktikan bahwa tokoh Islam seperti Dr. Kamal Yazji, yang mendorong umat Islam menambah ilmu pengetahuan, karena dirasa ilmudi luar agamperlu di pelajari seperti ilmu kedokteran untuk mengobati orang sakit, ilmu hitung untuk mengatur keuangan negara dan ilmu falak untuk menentukan waktu shalat.[7]
Analisa Teori
Dalam hadis di atas, setidaknya dapat kita pahami, bahwa ada integrasi antara ilmu agama dalam hal ini Tafsir dan Hadis sebagai bagian dari Sains atau ilmu pengetahuan, karena tidak mungkin kita memahami agama tanpa ilmu. Mencari ilmu dari ayunan sampai liang lahat membuktikan adanya persentuhan atau dialektika antara pemahaman mencari ilmu sebagai sains dan sampai urusan kematian yang konsen dalam ilmu agama, baik dalam tafsir maupun hadis.
Dalam kajian keislaman, studi Islam juga telah banyak di pelajari oleh ilmuan barat yang konsen dalam memberikan porsi akal sebagai media utama dalam mandalami ilmu. Namun perlu diketahui juga bahwa metode Hermeneutik sebagai media atau cara penafsiran al-Qur’an juga di adopsi oleh Islam dalam menafsirkan kitab suci.
Seharusnya hal ini menjadi landasan bahwa stigma atau persepsi buruk terhadap ilmu-ilmu barat yang sekuler tidak seharusnya mewujud pada adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sekuler atau ilmu umum. Tapi dari realitas yang ada ternyata ilmu sekuler sebenarnya sudah terintegrasi dengan ilmu agama, namun memang perlu disadari dan kelompok-kelompok tertentu harus membuka terhadap fakta yang ada.
Dari kasus di atas, ternyata Dialektika ilmu sekuler telah terjadi dan terintegrasi ke dalam ilmu agama, dalam hal ini metode hermeneutik dalam tafsir yang di kembangkan tokoh-tokoh Islam kontemporer, yang merasa metode tersebut juga relevan jika di aplikasikan dalam Islam.
Ketika ilmu sudah mengalami persentuhan dan terjadi dialektika, karena dalam Islam juga mengajarkan dan di ajarkan bagaimana fungsi akal yang menghasilkan sains yang akan memperkuat agama itu sendiri. Satu hallain yang perlu di pahami daam sebuah ilmu adalah bagaimana memahami ilmu pada ranah ontologi[8] atau pada hakikat ilmu itu sendiri, karena jika hanya memandang pada ranah fisik pasti yang terjadi adalah saling menjustis bahwa miliknyalah yang benar. Hal inilah yang menjadi penyebab sulitnya ilmu itu terintegrasi. Subyek yang memahami hanya mendalami dalam hal fisik dan tidak sampai pada ranah ontologi ilmu. 
Ilmu dirasa akan sangat berkembang jika mengalami dialektika ilmu-ilmu pengetahuan, karena dengan adanya dialektika ilmu-ilmu pengetahuan menjadi wadah saling mengkritisi ilmu satu dengan yang lain yang pada akhirnya mampu memberikan jawaban yang sesuai dan membuat ilmu itu sendiri semakin masuk pada ranah kebijaksanaan ilmu seperti apa yang di cita-citakan oleh para filosof.
Dalam hal ini keilmuan tafsir al-Qur’an dan Hadis juga telah mengalami dialektika panjang karena perkembangan tafsir yang sangat lama dengan metode yang berbeda membuat banyak tafsiran-tafsiran yang berbeda. Namun dari persentuhan atau dialektika itu setidaknya akhirnya kita dapat menikmati hasil-hasil penafsiran yang berbeda-beda yang akhirnya dapat kita ambil sesuai dengan zamannya atau realitas kehidupan. Dalam kajian tafsir hadis juga sudah banyak ayat al-Qur’an yang di kaitkan dengan sains, sampai munculnya matematika al-Qur’an, dan tafsiran-tafsiran sains yang memberikan penjelasan secara ilmiah.
Kesimpulan dan Rekomendasi penulis
Integrasi ilmu adalah hal yang penting, karena ilmu pada hakikatnya adalah untuk mencapai pada ranah kebenaran. Begitu juga agama yang berusaha mencapai pada ranah kebenaran. Hal ini perlu di pahami secara mendalam bahwa tujuan sebuah ilmu berbanding lurus dengan tujuan agama, dan harapannya tidak ada sentimen keilmuan yang terjadi pada salah satu ranah keilmuan. Akan tetapi harus berintegrasi satu dengan yang lain, ilmu itu saling menguatkan dan tidak saling menjatuhkan dan saling menjustis satu dengan yang lain bahwa dirinyalah yang paling benar.
Dialektika keilmuan diharapkan akan semakin membuat ilmu mampu berintegrasi dan saling menguatkan. Yang akhirnya hasanah keilmuan akan semakin luas pada ranah pemecahan persoalan di lapangan sesuai realitas yang ada.
Sebenarnya banyak hal yang menunjukkan bahwa ayat al-Qur’an telah terbukti dengan sains seperti QS. Al-Sajdah:4 yang menjelaskan proses penciptaan alam semesta yang dalam sains modern dapat di hitung dengan ilmu matematika. Begitu juga QS. Fushilat: 9 yang menjelaskan penciptaan alam semesta dalam dua masa.
Dan dalam sains modern mengatakan bahwa umur alam semesta setelah di hitung sejak peristiwa big bang adalah 13,7 x 10 pangkat 9 tahun. Hal ini jelas menunjukkan bahwa ada dialektika atau persinggungan antara sains dan kajian tafsir maupun hadis.

3.      Tauhid sebagai Prinsip Utama Integrasi Ilmu
لا اله الا الله
Dalam penafsiran konsep tauhid (La Ilaha Illa Allah), para teolog dan fuqaha yang memberikan arti secara harfiah yang berarti tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, namun para filosof memberikan tafsir mereka sendiri tentang keesaan Tuhan, keesaan Tuhan bagi mereka berarti bahwa Tuhan haruslah simple (basith), tidak boleh tersusun dari apa pun kecuali dzat (esensi)Nya sendiri.[9]
Analisa
Dalam hal ini penulis berusaha memberikan gagasan dari Dr. Mulyadhi Kartanegara tentang Tauhid sebagai Prinsip utama Integrasi Ilmu. Dalam hal ini, dengan adanya tauhid dalam beberapa kajian agama diharapkan mampu memberikan jawaban yang relevan terhadap kondisi masyarakat. Agama sebenarnya akan lebih kuat jika di dukung dengan argumentasi akal yang sifatnya rasional. Karena perlu disadari bahwa kehidupan yang serba modern dengan perkembangan IPTEK yang sangat maju. Sudah saatnya kaum agamawan juga menitik beratkan pada ranah keilmuan seperti apa yang di ajarkan oleh para pemikir Islam yang memberikan ruang terhadap akal sebagai media berpikir radikal atau mendalam sampai menyentuh ranah ontologi.
Dalam buku Mulyadhi Kartanegara menunjukkan beberapa contoh konsep tauhid seperti wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Mulla Sandra. Dia menjelaskan bahwa pengertian kata illah sebagai hakikat (realitas) sehingga bagi para sufi mengartikan kata la ilaha illallah dengan  tidak ada realitas yang wajib di sembah kecuali Allah.
Dari konsep di atas, dapat kita pahami bahwa ilmu agama atau dalam hal tafsir  telah ada persinggungan atau dialog dengan ilmu tasawuf yang mengedepankan intuisi sebagai landasan dan prinsip penghayatan. Konsep tauhid Mulla Sandra dalam bentuk kesatuan wujud  yang menjadi  basis integrasi ilmu, terutama bagi objek-objek ilmu dan juga sebagai implikasinya bagi yang lain. Karena konsep wahdatul wujud Mulla Sandra sangat berguna untuk mengafirmasi status ontologis tradisi ilmiah di barat yang hanya di batasi dengan obyek empiris dan fisik, sedangkan obyek non fisik di ragukan.
Dengan menyatakan bahwa segala yang ada dalam alam semesta ini adalah satu dan sama, maka status ontologis obyek-obyek ilmu baik fisik maupun non fisik adalah sama dan tidak ada perbedaan. Jadi, kalau status ontologis dunia fisik kita di akui, status ontologis dunia non fisik juga haruskita akui karena pada dasarnya mereka adalah wujud yang sama dan satu.
Dengan demikian bahwa konsep tauhid mampu memberikan hal yang besar terhadap adanya integritas ulmu pengetahuan yang sebelumnya mengalami dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.[10]
Akal dan wahyu menurut beberapa filosof muslim dan beberapa tokoh Islam di indonesia juga menjadi satu kesatuan dalam segala aspek, termasuk dalam hal tauhid. Al kindi dan filosof setelahnya setidaknya sebagai tokoh-tokoh peletak utama dasar adanya pemaduan antara ilmu agama (tauhid) dan filsafat (akal). Karena filsafat sebelumnya yang di anggap sebagai hal yang sesat, namun sampai akhirnya dapat di terima. Karena dia memberikan pemaparan dan menjelaskan konsep tauhid dengan sentuhan akal, sehingga penjelasan yang diberikan mampu di terima oleh akal nmanusia yang lain dan di anggap sebagai hal yang ilmiah dan rasional.
Dalam kajian Tafsir Hadis, sudah seharusnya juga di integrasikan dengan ilmu-ilmu umum yang sekuler dalam penjelaskan permasalahan yang ada. Mengadopsi ilmu sains modern yang dapat dijadikan sarana pendukung dalam penafsiran al-Qur’an dan Hadis. Karena bukti-bukti Sains yang ada dalam alam semesta ini juga telah dijelaskan dalam kitab suci, dan jika manusia mau menggunakan akalnya maka mereka pasti akan berpikir bahwa alam yang begitu luas ini, tidak mungkin jika tidak ada yang menciptakan, dan pasti ada Sang Pencipta yang begitu Agung yang telah menciptakan bumi berbeda dengan planet llain dengan segala unsur yang menakjubkan.
Selain itu juga pengembangan tafsir yang di imbangi dengan pembuktian sains yang akan membawa manusia pada satu dzat yang Esa dengan segala keAguangannya yang telah menciptakan bumi seisinya yang menakjubkan dan begitu indah. Hal ini akan membawa pada tauhid atau keimanan yang kuat pada tuhan. Karena manusia telah mampu berpikir secara ilmiah dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan sains modern yang sampai pada pmbuktian tuhan.
4.      Kesatuan Ilmu Pengetahuan sebagai Paradigma Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman    Hadis Nabi setidaknya telah memberikan gambaran bagaimana nabi telah mengajarkan Humanisasi dalam kehidupan.
Sabda Nabi, “Wahai Tuhan, Pemelihara hidupku beserta seluruh semesta alam, aku menegaskan bahwa sekalian manusia adalah saling bersaudara” (Sunan Abi Daud I, 1369; 211), dari hadis di tersebut jelas bahwa  agama telah mengajarkan dan memberikan paradigma yang nyata terhadap konsep Humanisasi.
            Analisa
Salah satu contoh lain adalah suatu ketika Ali bertanya pada Rasulullah, tentang asas-asas yang mendasari perilaku utama kebajikan-kebajikan beliau, Nabi menjawab: “Ilmu pengetahuan adalah modalku, akal pikiran adalah dasar agamaku, ingat kepada Allah adalah sahabatku, cemas adalah kawanku, sabar adalah bajuku, pengetahuan adalah tanganku....”. dari jawaban Rasulullah tersebut, nampak jelas bahwa Nabi sendiri telah memberikan konsep nyata terhadap Humanisasi ilmu-ilmu pengetahuan tidak hanya ilmu agama dan meletakkan akal sebagai modal beliau dalam memahami segala realitas yang ada.
Dalam pengembangan paradigma kesatuan ilmu pengetahuan dengan melakukan humanisasi ilmu-ilmu keislaman. Dan humanisasi adalah merekonstruksi ilmu- ilmu keislaman agar semakin menyentuh dan memberi solusi bagi persoalan nyata kehidupan manusia. strategi ini mencakup segala upaya untuk memadukan nilai universal islam dengan ilmu pengetahuan modern guna meningkatkan kualitas hidup dan peradaban islam.
Islam akan mewarnai perilaku manusia, namun pemahaman islam dari bangsa ini masih kurang sehingga islam belum bisa mewarnai perilakunya. Ada yang meganggap bahwa menjadi muslim itu hanya bila ke masjid atau ketika berumroh atau haji. Padahal bukan demikian,bagaimana mencari uang? Bagaimana melakukan segala kegiatan? Bagaimana seorang muslim harus bekerja? Hal ini menjadi perhatian islam, ini pentingnya tajdidu ulumiddin.
            Humanisasi tidak lain membuat ilmu-ilmu agama itu menjadi relevan dengan tantangan zaman sekarang ini, wahyu dan nabinya sama, namun bagaimana menanamkan wahyu kedalam benak orang jawa dan malaysia. Inilah yang menjadi berbeda. Sehingga kita sangat beruntung memiliki organisasi masyarakat besar yang asli indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah. Mereka lebih faham bagaimana menanamkan wahyu bagi orang indonesia dibanding dengan ormas yang baru lahir pasca reformasi.
            Konsep Humanisasi juga di kembangkan oleh tokoh-tokoh modern seperti sosok Abdurrahman Wahid atau Gusdur sebagai contoh pengemban konsephumanisme. Karena sosok Gusdur  sangat bermasyarakat dan tidak membeda-bedakan golongan, agama, suku, dan ras.
Dalam kajian tafsir Gus Dur banyak menggunakan pendekatan Humanisasi dalam segala tafsirannya terhadap al-Qur’an, karena bagi penulis Gus Dur berusaha memposisikan dirinya sebagai kepala pemerintahan sebagai sikap politis atas perbedaan yang ada. Dia berusaha memahami ayat sesuai konteks zaman dan realitas bangsa yang majmuk.
Tafsiran-tafsiran yang digunakan banyak di kontektualisasikan demi terwujudnya humanisasi dimasyarakat agar tidak ada perpecahan umat dan tidak ada yang namanya prinsip ketidak adilan golongan minoritas.
Jadi, ilmu dari manapun dan dari siapapun sudah selayaknya tidak perlu ada sekat atau pemisah karena dari orang yang berbeda. Akan tetapi dari manapun sumber ilmu yang kita peroleh, selama mengajarkan pada kebaikan maka disitulah kebaikan yang terjadi. Hal inilah yang akan menjadi prinsip Humanisasi ilmu-ilmu pengetahuan.
5.      Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan dalam Tafsir Hadis
Untuk mewujudkan paradigma kesatuan ilmu atau unity of sciences pasti tidak mudah. Paradigma yang di bangun harus melalui perdebatan panjang dan tentu saja ilmuwan-ilmuwan muslim akan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan, yang sering mereka sebut Sang Kebenaran atau al Haqq. Teks yang menjelaskan paradigma integralistik ilmu, seperti potongan ayat افلا تعقلون  افلا تنظرون  افلا تعلمون, dari beberapa potongan ayat di atas, maka penulis berusaha menggunakan konsep paradigma integralistik[11] sebagai upaya memberikan pandangan kesatuan ilmu.
Paradigma integralistik adalah konsep dimana adanya kesatuan atau integrasi antara dua obyek yang ada, dalam hal ini antara ilmu agama yang mistik dan ilmu umum yang empiris.
Tujuan ilmu adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka Tuhan sebagai kebenaran sejati tentu menjadi sumber bagi segala kebenaran lainnya, termasuk kebenaran atau realitas ilmu. Al-Qur’an mengatakan bahwa kebenaran itu berasal dari Allah, maka janganlah engkau pernah meragukannya.
Tentu kita tahu, seperti yang telah dikatakan Ibn Khaldun, bahwa ilmu-ilmu agama di dasarkan pada otoritas, bukan akal.[12] Yang dimaksud otoritas disini adalah al-Qur’an dan Hadis yang bertindak sebagai tafsir atasnya. Jadi sumber utama ilmu-ilmu agama adalah kitab suci., yang di wahyukan secara langsung oleh tuhan.kepada NabiNya.adapun sumber ilmu-ilmu umum adalah alam semesta yang terhampar luas di hadapan kita.
Paradigma kesatuan ilmu pengetahuan menurut Dr. Muhyar Fanani setidaknya harus bertitik tolak pada prinsip integritas, Humanisasi Ilmu, kolaborasi, revitalisasi. Beliau menginginkan unity of sciences yang ada di UIN Walisongo harus mampu maju dalam hal pengembangan ilmu islam atau islamisasi ilmu dan pengembangan saintek yang menjadi dasar ilmu sekuler. Menurutnya paradigma unity of sciences harus mampu menyentuh keduannya agar apa yang dinamakan unity dapat terwujud.
Gagasan maupun paradigma penyatuan ilmu agama dan umum sebenarnya banyak di jelaskan dalam al-Qur’an, ayat-ayat al-Qur’an maupun pribadi Nabi telah menunjukkan bahwa islam atau agama sendiri tidak ada dikotomi ilmu umum bahkan mengajarkan untuk menggunakan akal sebagai media berfikir. Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan dan menegaskan pentingnya akal dalam kehidupan dan pentingnnya akal untuk sampai pada tuhan.
Jadi Paradigma integralistik dan di tambah adanya humanisasi ilmu-ilmu agama dan umum menjadi penting demi terwujudnya satu kesatuan ilmu yang saling menguatkan. Memberikan pemahaman yang komprehensif dalam segala aspeknya. Termasuk kajian tafsir al-Qur’an maupun Hadis. Sehingga di harapkan mampu memberikan pemahaman yang tidak merugikan salah satu pihak agar terwujudnya integralistik antara ilmu itu sendiri dan golongan yang ada di masyakat.

Referensi:
Buku Ceramah Dr. Fuad Anshori dalam Seminar Sosialisasi Unity of Sciences
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekontruksi Holistik, Jakarta: Arasy Mizan dan Jakarta Press, 2005
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia atau UI-Press, 1986
Pemaparan Dr. Muhyar Fanani dalam paparannya di acara TOT yang diadakan oleh Pokja UIN walisongo pada Jumat, 28 November 2015 di Hotel Bringin kota Salatiga
Sudarmojo, Agus Haryo, Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam Al-Qur’an, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2009
Zaprulkhan, Filsafat Umum; Sebuah Pendekatan Tematik, Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam; Filosof dan Fisafatnya, Jakarta: PT RajGrafindo Persada, 2007



[1]Teori atau paradigma tersebut di ambil dari buku ceramah Dr. Fuad Anshori dalam seminar Sosialisasi Strategi Pengembangan Akademik berbasis Unity Of Sciences di Hotel Pandanaran, Jum’at, 6 Desember 2013. Hal. 63-64
[2] Dr. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekontruksi Holistik, (Jakarta: Arasy Mizan dan Jakarta Press, 2005), hal. 27
[3] Ibid. Hal. 30
[4] Dr. H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Fisafatnya, (Jakarta: PT RajGrafindo Persada, 2007), cet. I, hal. 115
[5] Hal ini di ungkapkan oleh Dr. Muhyar Fanani dalam paparannya di acara TOT yang diadakan oleh Pokja UIN walisongo pada Jumat, 28 November 2015 di Hotel Bringin kota Salatiga.
[6] Ir. Agus Haryo Sudarmojo, Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2009), cet. III, hal. 9-10
[7] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia atau UI-Press, 1986), hal. 55
[8] Dr. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekontruksi Holistik, (Jakarta: Arasy Mizan dan Jakarta Press, 2005), hal. 60
[9] Ibid. Hal. 33
[10] Ibid. Hal. 38
[11] Dr. Zaprulkhan, M.Si, Filsafat Umum; Sebuah Pendekatan Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal.48
[12] Dr. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekontruksi Holistik, (Jakarta: Arasy Mizan dan Jakarta Press, 2005), Hal. 47

0 komentar:

Posting Komentar

Menurutmu Bagaimana Blog Ini?

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.