KONTRUKSI DAN KONTEKSTUALISASI
DALAM MASYARAKAT
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Akhir
Mata Kuliah: Teologi Syi’ah
Dosen
Pengampu: Dr. H. Mukhsin Jamil, M.Ag
Disusun
Oleh:
Imam
Muslim (134111028)
JURUSAN
AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
Al-Qur’an Syi’ah mempunyai arti golongan atau pengikut.[1]
Golongan Syi’ah adalah golongan yang mempunyai pendirian bahwa Sayyidina Ali
bin Abi Thalib dan keturunannya lebih berhak untuk menjadi khalifah daripada
orang lain. Sebab menurut mereka, Nabi Muhammad Saw, telah menjanjikan
demikian.
Konsep yang
digagas syi’ah adalah Al-Imamah (kepemimpinan) yang mempunyai bentuk
satu arti dengan amirul mukminin dan khalifah yaitu suatu jabatan tertinggi
dalam suatu negara. Mendirikan sebuah negara adalah suatu hal yang wajib
dilakukan menurut logika akal manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia
adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain(simbiosis
mutualisme). Oleh karena itu dalam membentuk sebuah komunitas masyarakat
haruslah ada seorang pemimpin yang mengatur kehidupan mereka.
Kaum syi’ah dalam
hal ini, memandang persoalan imamah sebagai sesuatu yang sangat penting.
Hal ini tercermin dalam prinsip-prinsip pokok agama, yaitu : tauhid,
kenabian, kenabian ilahi, imamah dan akhirat.Al-Imamah dalam
pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang
bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya,guna membimbing manusia serta
membangun masyarakat diatas pondasi yang benar dan kuat, yang mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan
kemandirian dalam mengambil keputusan.
Imamah adalah sebuah term yang sangat lekat dengan kelompok
Syiah. Imamah sejatinya bukanlah sekadar wacana yang bersifat adhoc atau bagian dari agenda proyek kelompok Syi’ah. Sebaliknya, wacana imamah merupakan benih yang melatarbelakangi tumbuhkembangnya Syi’ah.
Syiah. Imamah sejatinya bukanlah sekadar wacana yang bersifat adhoc atau bagian dari agenda proyek kelompok Syi’ah. Sebaliknya, wacana imamah merupakan benih yang melatarbelakangi tumbuhkembangnya Syi’ah.
Setelah
wafatnya nabi Muhammad saw, arus besar umat Islam pada waktu itu adalah siapa
yang akan menjadi pengganti Nabi dalam memimpin umat. Secara aklamatif,
menghendaki sistem khilāfah sebagai model kepemimpinan pasca Nabi dengan
Abu Bakar sebagai khalifah pertamanya sampai khalifah yang ke empat yaitu Ali
bin Abi Thalib. Namun kelomok lain seperti halnya syi’ah ingin mengembangkan
konsepimamah sebagai sumber inspirasi dan ideologi gerakan Syi’ah, yang
percaya bahwa Ali dan ahl bayt lah yang seharusnya menjadi pengganti nabi. Maka
dari itu, sehingga mulai dari visi hingga strategi gerakan Syi’ah semuanya
berangkat dan bermuara pada wacana imamah.
Hal yang
menarik dianalisis lebih jauh tentang bagaimana wacana imamah bertahan dalam
rentang sejarah kehidupan sosial masyarakat Syi’ah. Sebab sudah menjadi
keniscayaan sejarah, jika nilai kontekstualitas suatu wacana sangat terkait
dengan waktu.Apakah wacana imamah juga akan dianggap usang oleh sejarah dan
kemudian ditinggalkan begitu saja sebagai bagian dari masa lalu?
Seandainya wacana
imamah sudah dianggap usang oleh sejarah dan ditinggalkan lalu mengapa
Syi’ah masih tetap bertahan, sementara imamah sebagai struktur pembentuk
dan wacana sentralnya sudah usang dan ditinggalkan? Namun, andaikata imamah tetap
dianggap kontekstual hingga saat ini, lalu bagaimana wacana tersebut dijaga dan
dipertahankan nilai kontekstualitasnya? untuk menjawab permasalahan yang ada
maka dalam tulisan ini akan di bahas bagaimana konsep imamah syi’ahmulai
kontruksi dan kontekstualisasinya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kontruksiimamahyang di bangun syi’ah?
2.
Bagaimana
kontekstualisasi dan relevansi konsep imamah syi’ahdengan demokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kontruksi Konsep Imamah Syi’ah
1.
Argumentasi
Penetapan Imamah syi’ah
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
berkeyakinan bahwa Nabi saw telah menunjuk pengganti sepeninggal beliau.
Melalui beberapa nash –secara eksplisit maupun implisit- Nabi[2]
telah menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mu’minin, penerima amanat
wahyu serta imam bagi manusia. Mereka berpendapat tentang keimanan Sayyidina
Ali r.a sesudah Nabi berdasar nash yang
dhohir, penetapan yang benar, dengan tanpa ada yang menentang dengan sifat,
bahkan isyarat dengan terang. Beliau telah mengangkat dan membai’atnya sebagai
Amirul Mu’minin pada hari Ghadir Khum. Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa
para imam setelah Nabi adalah 12 orang imam yang nama-nama dan urutannya telah
ditentukan.
Banyak ulama Syi’ah
menyatakan bahwa peristiwa di Ghadir Khum merupakan bukti nyata pengangkatan
Imam Ali sebagai penerus tampuk kepemimpinan pasca wafatnya Nabi. Salah satunya
ialah Athabthabai, seorang tokoh Syi’ah Ja’fariyah abad kedua puluh ini
mengatakan bahwa alasan utama yang mendukung pengangkatan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah pertama ialah beberapa hadist peristiwa Haji Wada’ yang
bersejarah di Ghadir Khum.
Matan hadist yang
diambil sesuai yang tertera dalam kitab aslinya, dengan menggunakan al-Mu’jam
al-Hadist. Berdasarkan keterangan dari mu’jam hanya didapatkan dua riwayat
hadist, yang satu di kitab hadist Sunan al-Tirmidzi, dan Musnad Ahmad ibn
Hanbal dan beberapa hadis yang digunakan oleh syi’ah dalam mendukung
gagasannya.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ الضُّبَعِىُّ عَنْ يَزِيدَ الرِّشْكِ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم جَيْشًا وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَمَضَى فِى
السَّرِيَّةِ فَأَصَابَ جَارِيَةً فَأَنْكَرُوا عَلَيْهِ وَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ
مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا إِذَا لَقِينَا
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَخْبَرْنَاهُ بِمَا صَنَعَ عَلِىٌّ وَكَانَ
الْمُسْلِمُونَ إِذَا رَجَعُوا مِنَ السَّفَرِ بَدَءُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفُوا إِلَى رِحَالِهِمْ
فَلَمَّا قَدِمَتِ السَّرِيَّةُ سَلَّمُوا عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
فَقَامَ أَحَدُ الأَرْبَعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى
عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قَامَ الثَّانِى فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ
فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ الثَّالِثُ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ
فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالُوا فَأَقْبَلَ
إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْغَضَبُ يُعْرَفُ فِى وَجْهِهِ
فَقَالَ « مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا
تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ
كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى – )رواه الترمذي(
“Menceritakan kepada
kami dari Qutaibah, diceritakan dari Ja’far bin Sulaiman adh-Dhuba’i, dari
Yazid Ar-Risyk, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari Imran bin Husain berkata
bahwa Rasulullah SAW. Mengutus (mengirimkan) bala tentara dan menjadikan Ali
sebagai pimpinan perang. Ali melewati kawanan perang. Kemudian Ali berjima’
dengan salah satu tawanan wanita (budak). Kemudian para tentara mengingkari apa
yang diperbuat oleh Ali. Ada empat orang sahabat yang saling bersepakat bahwa
apabila kita berjumpa dengan Rasul maka kita akan mengadukan apa yang diperbuat
oleh Ali. Kaum muslimin setelah mereka kembali dari perjalanan mereka menemui
Rasul dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian melanjutkan perjalanan. Ketika
rombongan perang itu sampai dan juga mengucapkan salam kepada Rasulullah, salah
satu dari empat sahabat mengadu kepada Rasulullah SAW. “Apa pendapatmu wahai
Rasulullah atas apa yang dilakukan Ali, dia berbuat demikian, demikian? Maka Rasulullah
SAW berpaling dari sahabat tersebut. Kemudian sahabat yang kedua juga
mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul berpaling. Kemudian sahabat yang ketiga juga mengadukan
hal serupa kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul berpaling. Kemudian sahabat
yang keempat juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul
merespon, dan wajahnya menunjukkan kemarahan.” Apa yang engkau harapkan dari
Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali?
Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan dia adalah pemimpin seluruh
mu’min setelahnya” (HR. Tirmidzi)
Kontruksi atau bangunan
pemikiran yang dikembangkan oleh syi’ah setidaknya sangat variatif, karena
syi’ah terbagi kedalam bermacam-macam sekte. Namun dalam hal ini untuk memahami
kontruksi pemikiran imamah, penulis memberikan garis besar yang fundamental dalam memahami konsep imamah syi’ah,
tentang kriteria dan paradigma imamah dalam syi’ah, karena syi’ah juga
mengambil dalil naqli sebagai landasan mereka, seperti salah satu contoh hadis
di atas.
Kriteria-kriteria atau
bangunan konsep imam menurut syi’ah adalah bahwa imam ituma’shum dalam
segala tindak lakunya, tidak pernah bertindak dosa besar maupun kecil, tidak
ada tanda-tanda berlaku maksiat, tidak boleh berlaku salah dan lupa.[3]
Prinsip dasar dalam menyampaikan argumentasi secara umum mereka adalah;
1.
Imam jika berbuat salah,
maka di butuhkan imam lain untukmemberikan petunjuk agar imam selalu benar.
2.
Imam itu adalah
pemelihara syariat, oleh karena itu, harus ma’shum,[4]
kalau tidak demikian niscaya akan membutuhkan pemelihara yang lain
3.
Araj’ah keyakinan akan datangnya imam mereka setelah
gaib, untuk menegakkan keadilan, menghancurkan kedzaliman, dan membangun
kembali kekuasaan mereka.[5].
4.
Taqiyah
atau menyembunyikan, menurut syiah taqiyah merupakan program rahasia apabila imam akan
keluar dari khalifah untuk memberontak terhadapnya. Mereka menganggap perbuatan
imamnya yang di anggap taqiyah adalah seperti, diamnya Ali atas
kekhalifahan Abu bakar, umar, utsman.
5.
Syiah percaya kembalinya
imam setelah meninggal.
6.
Imam memiliki ilmu
melebihi ilmu manusia lainnya, baginya mengetahui ilmu syariat melebihi apa yg
di ketahui orang lain.
Konsep Imam adalah
jabatan ilahi, Allah yang memilih berdasar pengetahuan-Nya yang azali
menyangkut hamba-Nya, sebagaimana Dia memilih nabi. Dia menunjuk nabi-Nya atau
Muhammad untuk menunjuk dengan tegas Ali dan menjadikannya pemimpin bagi
manusia sesudah beliau.[6]
Menurut Ja’far Shaddiq
dalam berargumentasi tentang konsep imamah, pertama, adalah nash,
yakni imamah adalah suatu prerogatif yang dilimpahkan Allah kepada orang
pilihan dari keluarga Rasul, yang sebelum kematiannya dan dengan tuntutan
Allah, mengalihkan imamah kepada yang lain melalui pengangkatan yang
eksplisit (nash). Berdasar otoritas nash,imamah dibatasi dengan
keadaan politis, hanya individu tertentu di keturunan Ali dan Fathimah. Jadi nash
yang di prakarsai oleh rasul, turun dari Ali kepada Hasan, dari Husein melalui nash
, berturut-turut sampai pada yang terakhir.[7]
Yang kedua adalah‘ilm.
Ini berarti bahwa seorang imam harus memilikipengetahuan agama yang diterima
secara ilahiyah, dan hanya dapat dipindahkan kepada imam berikutnya sebelum
kematiannya. ‘Ilm akan dapat menuntun keputusannya, memperoleh kesucian
khusus. Dari konsep imamah yang diungkapkan Ja’far yang berdasar pada
nash dan ‘ilm memudahkan kita untukmemahami mengapa dia tetap acuh
dalam seluruh perjuangan demi kekuasaan yang terjadi dimasa hidupnya. Dalam
doktrin imamahnya, tidak perlu sama sekali imam yang diangkat secara
ilahiyah untuk bangkit memberontak dan berusaha menjadi penguasa.[8]
Imam Ja’far mengulang-ulang deklarasinya bahwa
imamah adalah perjanjian antara tuhan dan manusia, dan mengakui imam
adalah kewajiban mutlak bagi tiap mukmin. Para imam adalah bukti hujjah tuhan
di bumi, kata-kata mereka adalah kata-kata tuhan, maka harus patuh pada imam,
oleh karena itu, “Allah mentahbiskan kepatuhan bagi mereka”. (QS. 4: 59).Imam
adalah saksi bagi masyarakat, dia adalah gerbang menuju Allah, jalan, tuntunan,
gudang ilmu-Nya, wahyu-wahyu-Nya. Imam adalah pilar keesaan Tuhan, sang imam
bersih dari dosa dan kesalahan, para imam adalah mereka yang “Allah telah
menghilangkan seluruh kotoran dan membersihkan mereka sebersih-bersihnya”. (QS.
33: 33).[9]Menurut
al-Qur’an, para imam adalah “hamba-hamba Allah yang dimuliakan, mereka itu
tidak mendahului Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah
–perintahNya” (QS. 21: 26-27)
Kita percaya bahwa para
imam itu adalah manusia-manusia sebagaimana kita... dan hanyalah mereka itu
hamba-hamba Allah yang di karuniai Allah
martabat serta wewenang yang besar, karena mereka mempunyai kesempurnaan yang
paling tinggi, yakni pengetahuan, kebaikan, keberanian, kemurahan hati,
kesucian dan setiap kebajikan serta sifat-sifat yang baik, tidakada seorang pun
yang dapat menyamai mereka dalam
halakhlak. Maka dari itu kita perlu patuh dan taat padanya.[10]Kedudukan
imam dalam syi’ah imamiyah, imam
memiliki kekuasaan penuh dalam membentuk undang-undang, segala ucapannya
adalah syariat dan tidak mungkin yang berasal dari imam bertentangan dengan
syariat.[11]Imam
adalah pemimpin umat Islam dan dengan demikian otoritas absah satu-satunya yang
dapat dan akan menegakkan pemerintahan Islam yang adil di muka bumi ini. Namun
mengingat ketidakmampuan imam untuk mengemban kepemimpinan politis, maka
segenap masalah pemerintahan Islam yang ideal oleh mereka menjadi
tertangguhkan.[12]
Imamah dalam pandangan Syi’ah tidak hanya merupakan suatu sistem
pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar
syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Oleh
karena itu, Imamah merupakan bagian dari ushuluddin, yang mana tidak
akan sempurna keimanan kecuali dengan keyakinan terhadap Imamah. Mereka
juga berkeyakinan bahwasanya imamah sama seperti kenabian, petunjuk dari
Allah SWT dan sudah menjadi keharusan di dalam setiap zaman ada seorang Imam
sebagai penerus tugas kenabian dalam memberi petunjuk kepada umatnya. Para Imam
juga memiliki hak-hak Nabi dalam memimpin manusia untuk mengurus berbagai
permasalahan mereka, menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman dan
permusuhan di antara mereka.
2.
Konsep Imam Dua Belas
Menurut
Mahmud Salabi, yang dijadikan sebagai pemimpin oleh kaum Syi’ah antara lain
adalah Ali, Hasan, Husein, Ali Bin Husein, Muhammad al-Baqir, Ja’far as-Sidiq,
Musa bani Abbas, Putra Musa Ali Arridha, Muhammad Taqi, Ali Naghi, Hasan al
Askari, Muhammad Almahdi atau Imam sepanjang zaman. menurut para pengikut
Syi’ah, Imam dua belas lahir pada tahun 255 H /869 M. Mereka masih hidup tetapi
tidak tampak dalam pandangan dzahir. Demikian kepercayaan mereka yang mereka
sandarkan pada ramalan Rasulullah saw.
Dalam sistem
imamah syi’ah, ketidakhadiran imam kedua belas, membuat mereka menunjuk seseorang
sebagai perantara imam, agar dapat melangsungkan kepemimpinan Syiah dikalangan
penganutnya. Para perantara atau faqih-faqih ini harus mengatasi duaproblem
besar dengan tidak hadirnya imam. Pertama,mengorganisasikan
sumber-sumber rawian mazhab imamiyah agar dapat mensistematisasikan
doktrin-doktrin sentral imamah. Kedua, mengorganisasikan umat
sehingga dapat menjamin kelangsungan.[13]
Pada masa
ketersembunyian Imam Mahdi ini, wilayahimamah terdelegasikan kepada
ulama yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk secara formal memimpin,
membimbing dan menjelaskan syariat islam kepada kaum muslimin. Kepemimpinan
ulama ini berlaku hingga hadirnya imam ke dua belas, yaitu imam Muhammad
al-mahdi[14].
Konsep imamahyang
di bawa syi’ah memunculkan dua teori imamiyah, yakni: salthanah ‘Adil dan
Salthanah Ja’ir atau Tirani, salthanah – adalah pengembanan
otoritas hukum dan moral dengan menuntut ketaatan, dalam halini langsung
berkaitan dengan masalah asasiah wilayat.Pemimpin yang di pandu Allah
adalah yang memiliki wilayat.
3.
Para Faqih Imamiyah, Para Pemimpin Umat
Pembahasan
mengenai imamah dengan dalil-dalil rasional banyak
dibahas dalam kitab-kitab kaum Syi’ah. Begitu pula dengan dalil-dalil naqliyah yang
bersumber dari Al Qur’an maupun hadits dan dikomparasikan dengan berbagai
argumen madzhab Sunni. Fakhr al-Razi, berkomentar : “ayat ini menjelaskanbahwa setiap orang yang jaiz al-khatha, yang dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan wajib mengikuti orang yang dijamin kebenarannya atau ma’shum”.
dibahas dalam kitab-kitab kaum Syi’ah. Begitu pula dengan dalil-dalil naqliyah yang
bersumber dari Al Qur’an maupun hadits dan dikomparasikan dengan berbagai
argumen madzhab Sunni. Fakhr al-Razi, berkomentar : “ayat ini menjelaskanbahwa setiap orang yang jaiz al-khatha, yang dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan wajib mengikuti orang yang dijamin kebenarannya atau ma’shum”.
Mereka
adalah orang yang dimaksud oleh Allah sebagai orang-orang yang benar di
atas (as-shodiqun). Menurut Syi’ah, ada dua faktor yang menentukan kepemimpinan dikalangan umat imamiyah selama ghaibnya imam, yaitu : pertama,imam shahih – yaitu menopang imamah dua belas, kedua, ilmu shalih– yaitu ilmu yang diperoleh dari ahl al-Bayt (para imam).[15].
atas (as-shodiqun). Menurut Syi’ah, ada dua faktor yang menentukan kepemimpinan dikalangan umat imamiyah selama ghaibnya imam, yaitu : pertama,imam shahih – yaitu menopang imamah dua belas, kedua, ilmu shalih– yaitu ilmu yang diperoleh dari ahl al-Bayt (para imam).[15].
Sedangkan legitimasi yang diberikan kepada imamah
dalam mengemban kepemimpinan umat ditentukan oleh nash yang berlaku di
kalangan Syi’ah. Karena nash- lah yang memberikan jaminan bahwa imam
terlepas dari kesalahan dan dosa. Sehingga nash memiliki hubungan yang
erat satu sama lain dalam menjamin penggantian imam yang lurus. Sebab garis
kedua belas imam itu,terhubungkan melalui prinsip nash untuk mengemban
kepemimpinan terhadap umat, dan ini menjamin kelestarian dan keterlindungan
risalah Islamiyah yang diturunkan kepada Nabi[16].
Para faqih dalam dunia syi’ah mempunyai peranan yang sentral di dalam menjadi
pengganti imam yang ghaib. Para faqihlah yang mempunyai wewenang dalam
kebijakan politis, yuridis,maupun agamis, dalam membantu menyelesaikan
permasalahan umat sebelum imam kedua belas mereka kembali.
Sampai sekarang,
ajaran Syi’ah tumbuh subur dan berkembang terutama di wilayah negara Iran. Para
ulama Syiah di Iran, berjuang dan berkarya sesuai dengan sistem falsafi yang
mereka sebut dengan wilayah ql-faqih. Hal ini seringkali mewarnai
karakter mereka dalam tulisan-tulisan, pidato dan perilaku mereka sehari-hari. Wilayah
al-faqih ( pemerintahan faqih ) merupakan masalah yang telah diketahui dan
disepakati serta tidak diragukan lagi kebenaran akan hal itu menurut golongan
Syi’ah. Karena mereka yang benar-benar mengerti dan memahami akidah dan
syari’ah Islam secara umum, tanpa ragu-ragu lagi akan menerima dengan ikhlas
–prinsip pemerintahan faqih, dan pada saat imam ghaib, kepemimpinan nabawiyah
dilanjutkan oleh para fuqaha.
Fuqaha adalah pengganti para imam. Pada mereka dipercayakan kepemimpinan
(wilayat) atas umat. Wilayat faqih ini ditegakkan atas empat
dasar pokok, pertama, Allah adalah hakim mutlak pada alam semesta dan
segala isinya, termasuk manusia yang ditempatkannya di bumi. Allah adalah penguasa
tunggal bagi umat Islam. Dia-lah pemilik kedaulatan yang sah. Dunia boleh
memilih dua hal : kepemimpinan Allah dan kepemimpinan selain Allah yang disebut
Taghut. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah basyariyah)
yang mewujudkan kepemimpinan Allah dimuka bumi adalah para nabi dan rasul.
Mereka melaksanakan hukum Allah sejak dari nabi Adam as sampai Nabi Muhammad
saw.
Ketiga, garis imamah melanjutkan garis kenabian dalam memimpin
umat.untuk menjalankan kepemimpinan ilahiyah dalam hal ini diperlukan manusia-manusia
suci yang faqih tentang syari’at Islam dan mewarisi tentang perjuangan
Rasulullah saw. Seperti para ahli bait (keturunan Ali). Kemudian
dilanjutkan dua belas imam yang ma’sum yang meninggal dunia setelah wafatnya
Rasulullah saw, dimana mereka sekarang dalam keadaan ghaib-ghaib yang besar (alghaibat
al-kubra) dan satu saat nanti mereka akan kembali lagi sebagai imam mahdi al-muntadhar.
Karena itu
secara singkat wilayah al- faqihdapat dipahami sebagai berikut :
bahwa Allah adalah pencipta, Hakim Mutlak yang mengatur alam semesta dan segala
isinya. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi, untuk keselamatan dan
kesejahteraan manusia dimuka bumi. Allah memilih diantara manusia orang-orang
yang memiliki unsur-unsur kepribadian yang luhur. Merekalah yang berhak
memimpin umat; seperti para nabi, para imam dan para fuqaha. Oleh karena
para anbiya’ dan Auliya’ sudah berlalu,maka sekarang umat berada
pada periode kepemimpinanfuqaha sebagai pewaris kepemimpinan para anbiya’
dan Auliya’.
Sebagai pemimpin umat, fuqaha harus memiliki
tiga syarat yaitu : faqanah (mujtahid mutlak yang mampu
menetapkan kesimpulan tentang hukum-hukum syara’ dari sumber-sumbernya)[17],
kedua, adalah(tetap teguh menjalankan syariat Islam dan memiliki
kepribadian yang bersih, soleh, dan taqwa) ketiga, kifa’ah (memiliki
kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil mengurus kehidupan
umat).[18]
Inilah beberapa hal esensial yang mutlak harus dimiliki oleh para ulama dan
hilang satu saja dari ketiga sifat diatas, maka otoritas keulamaannya menurut
Syiah, akan turut hilang dengan sendirinya.
B.
Kontekstualisasi dan Relevansi Kontruksi Imamah Syi’ah
dengan Demokrasi
Sistem
politik syiah adalah imamah,yang menegaskan bahwa kepemimpinan adalah
urusan Tuhan.[19] Banyak hadis nabi yang mereka gunakan dalam
mendukung konsep imamahyang mereka kembangkan. Sedangkan konsep
demokrasi lebih menekankan pada suara rakyat mayoritas juga tidak terbebas dari
kekurangan. Dalam demokrasi, legitimasi politik sering kali dipahami hanya
dalam koridor kehendak mayoritas, bukan pada pengetahuan tentang kebenaran
sehingga kesalahandalam mengambil keputusan seringkali tidak terlalu
dipersoalkan. Oleh karena itu, ada dua implikasi terkait dengan hal ini, pertama,
kekuatan rakyat seharusnya di batasi oleh kebenaran tentang keputusan yang
mereka ambil. Kedua, perlu adanya pengawasan dan kekuasaan evaluatif
terhadap keputusan rakyat.[20]
Menurut
Khomeini adanya konsep wilayah al-Faqih sesungguhnya menjadi titik temu antara
konsep teokrasi (imamah) yang
dikembangkan syi’ah dengan demokrasi. Pada satu sisi, rakyat memiliki kebebasan
untuk menetukan pemimpinnya. Namun, disisi yang lain, Khomeini menekankan agar
dalam penentuan kepemimpinan, rakyat memegang teguh ajaran-ajaran Islam. Ketika
memilih pemimpin, rakyat harus bermusyawaroh dan berlaku adil sebagaimana yang
ditetapkan dalam hukum-hukum Islam. Hak pilih harus ditegakkan dalam
pemerintahan Islam. Setiap rakyat berhak mengeluarkan pendapatnya. Dari sini
ada gagasan Khomeini yang hendak mewujudkan sebuah sistem pemerintahan yang
mengarah pada “Pemerintahan Tuhan-Manusia”.[21]
Penerapan
Demokrasi di Iran
penerapan demokrasi di Iran
sudah diperjuangkan sejak abad ke-19, yang kemudian menghasilkan revolusi
Konstitusi 1906 hingga revolusi Islam 1979 yang menghasilkan model negara
modern Iran. Revolusi Iran telah berhasil mengubah lanskap dunia muslim.
Peristiwa ini telah menyegarkan kembali perdebatan intelektual seputar
kemungkinan negara Islam. Apa yang baru dari republik Islam Iran adalah
metodenya yang melakukan kombinasi bukan hanya agama dan negara, melainkan teokrasi
dan demokrasi. Setidaknya ada dua asumsi disini, pertama, pilihan bebas
yang diberikan kepada rakyat yang pada akhirnya memilih negara islam. Kedua,
para penyusun konstitusinya yang meliputi berbagai kalangan, baik demokrat
maupun Islamis. Untuk itu, perlu dianalisis praktik demokrasi di Iran, meliputi
pemilu, kelembagaan negara (eksekutif dan Legislatif), dan sistem pengawasan (
yudikatif) [22]sebagai representasi
praktik demokrasi di Iran.
Hak Kaum Minoritas
Halini ditujukan agar ada
perlindungan terhadap minoritas agama di Iran, tidak ada paksaan dalam hal
beragama. Dalam hal ini, terbukti bahwa di Iran telah terjadi kontekstualisasi,
kekuatan republik Islam Iran justru terletak pada kesatuan nasional. Dengan
demikian masalah dzimmi dan pembebanan jizyah, menjadi tidak lagi
diperlukan. Undang-Undang terkait non-Muslim yang berlaku saat ini disana,
sudah tidak mencamtumkan hal tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana Iran
menjamin pluralisme kewargaan dan di legitimasi dalamkonstitusi Iran yang
menjamin kelompok minoritas agama diperkenankan membentuk organisasi sendiri.[23]
Di dalam parlemen juga diikutkan perwakilan kaum minoritas sebagai jalan
menyampaikan aspirasi komunitasnya.
Analisa Lanjut,Kontekstualisasi dan Relevansi Konsep Imamah
Syiah
Dari beberapa penjelasn di atas, dapat dikatakan bahwa
sistem yang di anut syi’ah dengan konsep imamahnya, dewasa ini telah
mengalami kontekstualisasi paradigma, seperti apa yang terjadi di Iran. Konsep
imamah yang dikembangkan syia’ah awalnya menurut hemat penulis memang terlihat
teokratis yang cenderung hanya fokus agama. Namun, muncul problem saat imam
kedua belas ghaib makadibutuhkanlah perwakilan dari imam tersebut. Maka di
pilihlah para faqih, dan dikembangkan sebagai wilayah al-faqih.
Dari wilayah al-faqihinilah, yang
setidaknya menjadi pondasi utama adanya demokrasi agama. Dalam hal ini telah
dikembangkan perpaduan teokrasi dan demokrasi atau “Pemerintahan
Tuhan-Manusia”. Demokrasi sebagai kebebasan warga negara memilih
pemimpinnya sendiri, namun di dalam proses memilih juga mengambil
prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.
Demokrasi
yang dikembangkan syi’ah di Iran menurut hemat penulis juga relevan
seperti domokrasi yang di anut oleh Sunni atau yang ada di Indonesia. Indonesia
sendiri kebebasan memilih juga ada dalam UUD’45, dan juga memiliki para faqih
seperti MUI, walaupun tidak bisa dibenarkan secara mutlak fatwa-fatwanya.
Jadi, konsep imamah syi’ah yang teokratis juga diimbangi
konsep wilayah faqih yang demokratis yang pada akhirnya memadukan antara
agama dan demokrasi atau rakyat sebagai pemegang kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa argumentasi tentang Imamah
tidak terlepas dari bantahan yang menjadikannya sangat rapuh. Adapun mengenai
kedudukan Imamah dari perspektif Syi’ah, amat kental dengan nuansa al-ghuluw
(ekstrim) terhadap para imam mereka. Segala sesuatu jika dibangun di atas
kerapuhan tanpa adanya dasar yang kuat, pastilah rapuh.
Meskipun konsep Imamah yang telah mengimplikasi hampir seluruh
aqidah dan ajaran Syi’ah (seperti pandangan terhadap Al-Qur’an dan
penafsirannya, Sunnah dan pemahamannya, sikap mereka terhadap Sahabat, serta
munculnya konsep-konsep lain seperti taqiyah, raj’ah dan al-bada), namun
argumentasi mereka sebenarnya tidaklah begitu kuat. Oleh karena itu, Imam
Khomeini mengubah konsep Imamah dengan konsep tentang wilayah al-faqih pascarevolusi Iran pada tahun 1979, yang
sebenarnya hal tersebut merupakan bukti bahwa tidak ampuh atau lemahnya
konsep Imamah yang selalu mereka propagandakan untuk dijadikan sebuah
konsep negara.
Segala konsep yang dibuat oleh manusia pasti tidak
akan bisa menyamai konsep yang dibuat oleh Allah. Seperti halnya kaum Syi’ah
yang mencoba menganalogikan konsep nubuwah Allah dengan konsep imamah
meraka yang berusaha memakai dalil naqli sebagai rujukan utama dalam melakukan
sistem pemerintahan yang politis.
Konsep
imamah dan wilayah al-faqih juga telah dikontekstualisasikan dan
sudah ada relevansi dengan konsep demokrasi yang dikembangkan beberapa negara
yang menjadikan rakyat sebagai sentralpemerintahan.
b.
Saran
Semoga tulisan ini dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca, dan dapat mengambil hasanah
keilmuan, dan dapat memahami syi’ah secara komprehensif agar mendapat pemahaman
yang mendalam terkait konsep yang dikembangkan oleh syi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Muzhaffar, Syekh Muhammad Ridha, Akidah
Syi’ah Imamiah, Jakarta: Abu Dzarr Press, t.th
Anis, Muhammad, Islam dan Demokrasi;
Perspektif Wilayah Al-Faqih, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2013
Jefri, S. Husein M, Islam Syiah dari Saqifah
sampai Imamah, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1979
Nasir, Sahilun A, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam); Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2012
Sakhedina, Abdul Aziz A, Kepemimpinan
dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung: Mizan
Shihab, Quraish, Sunnah-Syi’ah Bergandengan
Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, Jakarta:
Lentera Hati, 2007
Zahrah, Imam Muhammad Abu,Aliran Politik dan
Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996
[1] Prof. Dr. Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam);
Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2012), cet. II, hal.72
[2] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah,
Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996),
cet. I, hal. 50
[3] Prof. Dr. Sahilun A. Nasir, Ibid, hal. 86
[4] Syekh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Akida Syi’ah Imamiah,
(Jakarta: Abu Dzarr Press, t.th), hal. 46
[6] M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?;
Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007),
cet. I, hal. 98
[8] S. Husein M. Jefri, Islam Syiah dari Saqifah sampai Imamah,
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1979), cet. I, hal. 384
[10] Syekh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Akida Syi’ah Imamiah, Ibid,
hal. 52-53
[11] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah,
Ibid. hal. 52
[12]Abdulaziz A
Sachedina, Kepemimpinan dalam Islam
Perspektif Syi’ah, (Bandung Mizan,
1994), hal. 76
[16]Abdul Aziz
A. Sakhedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung:
Mizan,), hal.64
[17] Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi; Perspektif Wilayah Al-Faqih,
(Jakarta: PT. Mizan Publika,2013), cet. I, hal. 150
[19] Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi; Perspektif Wilayah Al-Faqih,
Ibid. hal. 27
0 komentar:
Posting Komentar