Rabu, 13 Januari 2016

Konsep Imamah Syi'ah


MENYELAMI KONSEP IMAMAH SYIAH;
KONTRUKSI DAN KONTEKSTUALISASI DALAM MASYARAKAT

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Akhir Mata Kuliah: Teologi Syi’ah
Dosen Pengampu: Dr. H. Mukhsin Jamil, M.Ag



Disusun Oleh:
Imam Muslim                (134111028)

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015






BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Dalam Al-Qur’an Syi’ah mempunyai arti golongan atau pengikut.[1] Golongan Syi’ah adalah golongan yang mempunyai pendirian bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan keturunannya lebih berhak untuk menjadi khalifah daripada orang lain. Sebab menurut mereka, Nabi Muhammad Saw, telah menjanjikan demikian.
Konsep yang digagas syi’ah adalah Al-Imamah (kepemimpinan) yang mempunyai bentuk satu arti dengan amirul mukminin dan khalifah yaitu suatu jabatan tertinggi dalam suatu negara. Mendirikan sebuah negara adalah suatu hal yang wajib dilakukan menurut logika akal manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain(simbiosis mutualisme). Oleh karena itu dalam membentuk sebuah komunitas masyarakat haruslah ada seorang pemimpin yang mengatur kehidupan mereka.
Kaum syi’ah dalam hal ini, memandang persoalan imamah sebagai sesuatu yang sangat penting. Hal ini tercermin dalam prinsip-prinsip pokok agama, yaitu : tauhid, kenabian, kenabian ilahi, imamah dan akhirat.Al-Imamah dalam pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya,guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas pondasi yang benar dan kuat, yang  mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.
Imamah adalah sebuah term yang sangat lekat dengan kelompok
Syiah. Imamah sejatinya bukanlah sekadar wacana yang bersifat adhoc atau bagian dari agenda proyek kelompok Syi’ah. Sebaliknya, wacana imamah merupakan benih yang melatarbelakangi tumbuhkembangnya Syi’ah.
Setelah wafatnya nabi Muhammad saw, arus besar umat Islam pada waktu itu adalah siapa yang akan menjadi pengganti Nabi dalam memimpin umat. Secara aklamatif, menghendaki sistem khilāfah sebagai model kepemimpinan pasca Nabi dengan Abu Bakar sebagai khalifah pertamanya sampai khalifah yang ke empat yaitu Ali bin Abi Thalib. Namun kelomok lain seperti halnya syi’ah ingin mengembangkan konsepimamah sebagai sumber inspirasi dan ideologi gerakan Syi’ah, yang percaya bahwa Ali dan ahl bayt lah yang seharusnya menjadi pengganti nabi. Maka dari itu, sehingga mulai dari visi hingga strategi gerakan Syi’ah semuanya berangkat dan bermuara pada wacana imamah.
Hal yang menarik dianalisis lebih jauh tentang bagaimana wacana imamah bertahan dalam rentang sejarah kehidupan sosial masyarakat Syi’ah. Sebab sudah menjadi keniscayaan sejarah, jika nilai kontekstualitas suatu wacana sangat terkait dengan waktu.Apakah wacana imamah juga akan dianggap usang oleh sejarah dan kemudian ditinggalkan begitu saja sebagai bagian dari masa lalu?
Seandainya wacana imamah sudah dianggap usang oleh sejarah dan ditinggalkan lalu mengapa Syi’ah masih tetap bertahan, sementara imamah sebagai struktur pembentuk dan wacana sentralnya sudah usang dan ditinggalkan? Namun, andaikata imamah tetap dianggap kontekstual hingga saat ini, lalu bagaimana wacana tersebut dijaga dan dipertahankan nilai kontekstualitasnya? untuk menjawab permasalahan yang ada maka dalam tulisan ini akan di bahas bagaimana konsep imamah syi’ahmulai kontruksi dan kontekstualisasinya.

B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana kontruksiimamahyang di bangun syi’ah?
2.        Bagaimana kontekstualisasi dan relevansi konsep imamah syi’ahdengan demokrasi?















BAB II
PEMBAHASAN

A.       Kontruksi Konsep Imamah Syi’ah
1.      Argumentasi Penetapan Imamah syi’ah
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Nabi saw telah menunjuk pengganti sepeninggal beliau. Melalui beberapa nash –secara eksplisit maupun implisit- Nabi[2] telah menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mu’minin, penerima amanat wahyu serta imam bagi manusia. Mereka berpendapat tentang keimanan Sayyidina Ali r.a sesudah Nabi  berdasar nash yang dhohir, penetapan yang benar, dengan tanpa ada yang menentang dengan sifat, bahkan isyarat dengan terang. Beliau telah mengangkat dan membai’atnya sebagai Amirul Mu’minin pada hari Ghadir Khum. Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa para imam setelah Nabi adalah 12 orang imam yang nama-nama dan urutannya telah ditentukan.
Banyak ulama Syi’ah menyatakan bahwa peristiwa di Ghadir Khum merupakan bukti nyata pengangkatan Imam Ali sebagai penerus tampuk kepemimpinan pasca wafatnya Nabi. Salah satunya ialah Athabthabai, seorang tokoh Syi’ah Ja’fariyah abad kedua puluh ini mengatakan bahwa alasan utama yang mendukung pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama ialah beberapa hadist peristiwa Haji Wada’ yang bersejarah di Ghadir Khum. 
Matan hadist yang diambil sesuai yang tertera dalam kitab aslinya, dengan menggunakan al-Mu’jam al-Hadist. Berdasarkan keterangan dari mu’jam hanya didapatkan dua riwayat hadist, yang satu di kitab hadist Sunan al-Tirmidzi, dan Musnad Ahmad ibn Hanbal dan beberapa hadis yang digunakan oleh syi’ah dalam mendukung gagasannya.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِىُّ عَنْ يَزِيدَ الرِّشْكِ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَيْشًا وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَمَضَى فِى السَّرِيَّةِ فَأَصَابَ جَارِيَةً فَأَنْكَرُوا عَلَيْهِ وَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا إِذَا لَقِينَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَخْبَرْنَاهُ بِمَا صَنَعَ عَلِىٌّ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا رَجَعُوا مِنَ السَّفَرِ بَدَءُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفُوا إِلَى رِحَالِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَتِ السَّرِيَّةُ سَلَّمُوا عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ أَحَدُ الأَرْبَعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قَامَ الثَّانِى فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ الثَّالِثُ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالُوا فَأَقْبَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْغَضَبُ يُعْرَفُ فِى وَجْهِهِ فَقَالَ « مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى – )رواه الترمذي(
“Menceritakan kepada kami dari Qutaibah, diceritakan dari Ja’far bin Sulaiman adh-Dhuba’i, dari Yazid Ar-Risyk, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari Imran bin Husain berkata bahwa Rasulullah SAW. Mengutus (mengirimkan) bala tentara dan menjadikan Ali sebagai pimpinan perang. Ali melewati kawanan perang. Kemudian Ali berjima’ dengan salah satu tawanan wanita (budak). Kemudian para tentara mengingkari apa yang diperbuat oleh Ali. Ada empat orang sahabat yang saling bersepakat bahwa apabila kita berjumpa dengan Rasul maka kita akan mengadukan apa yang diperbuat oleh Ali. Kaum muslimin setelah mereka kembali dari perjalanan mereka menemui Rasul dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian melanjutkan perjalanan. Ketika rombongan perang itu sampai dan juga mengucapkan salam kepada Rasulullah, salah satu dari empat sahabat mengadu kepada Rasulullah SAW. “Apa pendapatmu wahai Rasulullah atas apa yang dilakukan Ali, dia berbuat demikian, demikian? Maka Rasulullah SAW berpaling dari sahabat tersebut. Kemudian sahabat yang kedua juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul berpaling.  Kemudian sahabat yang ketiga juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul berpaling. Kemudian sahabat yang keempat juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul merespon, dan wajahnya menunjukkan kemarahan.” Apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali? Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan dia adalah pemimpin seluruh mu’min setelahnya” (HR. Tirmidzi)
Kontruksi atau bangunan pemikiran yang dikembangkan oleh syi’ah setidaknya sangat variatif, karena syi’ah terbagi kedalam bermacam-macam sekte. Namun dalam hal ini untuk memahami kontruksi pemikiran imamah, penulis memberikan garis besar yang  fundamental dalam memahami konsep imamah syi’ah, tentang kriteria dan paradigma imamah dalam syi’ah, karena syi’ah juga mengambil dalil naqli sebagai landasan mereka, seperti salah satu contoh hadis di atas.
Kriteria-kriteria atau bangunan konsep imam menurut syi’ah adalah bahwa imam ituma’shum dalam segala tindak lakunya, tidak pernah bertindak dosa besar maupun kecil, tidak ada tanda-tanda berlaku maksiat, tidak boleh berlaku salah dan lupa.[3] Prinsip dasar dalam menyampaikan argumentasi secara umum mereka adalah;
1.      Imam jika berbuat salah, maka di butuhkan imam lain untukmemberikan petunjuk agar imam selalu benar.
2.      Imam itu adalah pemelihara syariat, oleh karena itu, harus ma’shum,[4] kalau tidak demikian niscaya akan membutuhkan pemelihara yang lain
3.      Araj’ah  keyakinan akan datangnya imam mereka setelah gaib, untuk menegakkan keadilan, menghancurkan kedzaliman, dan membangun kembali kekuasaan mereka.[5].
4.      Taqiyah atau menyembunyikan, menurut syiah taqiyah  merupakan program rahasia apabila imam akan keluar dari khalifah untuk memberontak terhadapnya. Mereka menganggap perbuatan imamnya yang di anggap taqiyah adalah seperti, diamnya Ali atas kekhalifahan Abu bakar, umar, utsman.
5.      Syiah percaya kembalinya imam setelah meninggal.
6.      Imam memiliki ilmu melebihi ilmu manusia lainnya, baginya mengetahui ilmu syariat melebihi apa yg di ketahui orang lain.
Konsep Imam adalah jabatan ilahi, Allah yang memilih berdasar pengetahuan-Nya yang azali menyangkut hamba-Nya, sebagaimana Dia memilih nabi. Dia menunjuk nabi-Nya atau Muhammad untuk menunjuk dengan tegas Ali dan menjadikannya pemimpin bagi manusia sesudah beliau.[6]
Menurut Ja’far Shaddiq dalam berargumentasi tentang konsep imamah, pertama, adalah nash, yakni imamah adalah suatu prerogatif yang dilimpahkan Allah kepada orang pilihan dari keluarga Rasul, yang sebelum kematiannya dan dengan tuntutan Allah, mengalihkan imamah kepada yang lain melalui pengangkatan yang eksplisit (nash). Berdasar otoritas nash,imamah dibatasi dengan keadaan politis, hanya individu tertentu di keturunan Ali dan Fathimah. Jadi nash yang di prakarsai oleh rasul, turun dari Ali kepada Hasan, dari Husein melalui nash , berturut-turut sampai pada yang terakhir.[7]
Yang kedua adalah‘ilm. Ini berarti bahwa seorang imam harus memilikipengetahuan agama yang diterima secara ilahiyah, dan hanya dapat dipindahkan kepada imam berikutnya sebelum kematiannya. ‘Ilm akan dapat menuntun keputusannya, memperoleh kesucian khusus. Dari konsep imamah yang diungkapkan Ja’far yang berdasar pada nash dan ‘ilm memudahkan kita untukmemahami mengapa dia tetap acuh dalam seluruh perjuangan demi kekuasaan yang terjadi dimasa hidupnya. Dalam doktrin imamahnya, tidak perlu sama sekali imam yang diangkat secara ilahiyah untuk bangkit memberontak dan berusaha menjadi penguasa.[8]
 Imam Ja’far mengulang-ulang deklarasinya bahwa imamah adalah perjanjian antara tuhan dan manusia, dan mengakui imam adalah kewajiban mutlak bagi tiap mukmin. Para imam adalah bukti hujjah tuhan di bumi, kata-kata mereka adalah kata-kata tuhan, maka harus patuh pada imam, oleh karena itu, “Allah mentahbiskan kepatuhan bagi mereka”. (QS. 4: 59).Imam adalah saksi bagi masyarakat, dia adalah gerbang menuju Allah, jalan, tuntunan, gudang ilmu-Nya, wahyu-wahyu-Nya. Imam adalah pilar keesaan Tuhan, sang imam bersih dari dosa dan kesalahan, para imam adalah mereka yang “Allah telah menghilangkan seluruh kotoran dan membersihkan mereka sebersih-bersihnya”. (QS. 33: 33).[9]Menurut al-Qur’an, para imam adalah “hamba-hamba Allah yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah –perintahNya” (QS. 21: 26-27)
Kita percaya bahwa para imam itu adalah manusia-manusia sebagaimana kita... dan hanyalah mereka itu hamba-hamba Allah yang di karuniai  Allah martabat serta wewenang yang besar, karena mereka mempunyai kesempurnaan yang paling tinggi, yakni pengetahuan, kebaikan, keberanian, kemurahan hati, kesucian dan setiap kebajikan serta sifat-sifat yang baik, tidakada seorang pun yang dapat menyamai mereka  dalam halakhlak. Maka dari itu kita perlu patuh dan taat padanya.[10]Kedudukan imam dalam syi’ah imamiyah, imam  memiliki kekuasaan penuh dalam membentuk undang-undang, segala ucapannya adalah syariat dan tidak mungkin yang berasal dari imam bertentangan dengan syariat.[11]Imam adalah pemimpin umat Islam dan dengan demikian otoritas absah satu-satunya yang dapat dan akan menegakkan pemerintahan Islam yang adil di muka bumi ini. Namun mengingat ketidakmampuan imam untuk mengemban kepemimpinan politis, maka segenap masalah pemerintahan Islam yang ideal oleh mereka menjadi tertangguhkan.[12]
Imamah dalam pandangan Syi’ah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Oleh karena itu, Imamah merupakan bagian dari ushuluddin, yang mana tidak akan sempurna keimanan kecuali dengan keyakinan terhadap Imamah. Mereka juga berkeyakinan bahwasanya imamah sama seperti kenabian, petunjuk dari Allah SWT dan sudah menjadi keharusan di dalam setiap zaman ada seorang Imam sebagai penerus tugas kenabian dalam memberi petunjuk kepada umatnya. Para Imam juga memiliki hak-hak Nabi dalam memimpin manusia untuk mengurus berbagai permasalahan mereka, menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman dan permusuhan di antara mereka.
2.      Konsep Imam Dua Belas
Menurut Mahmud Salabi, yang dijadikan sebagai pemimpin oleh kaum Syi’ah antara lain adalah Ali, Hasan, Husein, Ali Bin Husein, Muhammad al-Baqir, Ja’far as-Sidiq, Musa bani Abbas, Putra Musa Ali Arridha, Muhammad Taqi, Ali Naghi, Hasan al Askari, Muhammad Almahdi atau Imam sepanjang zaman. menurut para pengikut Syi’ah, Imam dua belas lahir pada tahun 255 H /869 M. Mereka masih hidup tetapi tidak tampak dalam pandangan dzahir. Demikian kepercayaan mereka yang mereka sandarkan pada ramalan Rasulullah saw.
Dalam sistem imamah syi’ah, ketidakhadiran imam kedua belas, membuat mereka menunjuk seseorang sebagai perantara imam, agar dapat melangsungkan kepemimpinan Syiah dikalangan penganutnya. Para perantara atau faqih-faqih ini harus mengatasi duaproblem besar dengan tidak hadirnya imam. Pertama,mengorganisasikan sumber-sumber rawian mazhab imamiyah agar dapat mensistematisasikan doktrin-doktrin sentral imamah. Kedua, mengorganisasikan umat sehingga dapat menjamin kelangsungan.[13]
Pada masa ketersembunyian Imam Mahdi ini, wilayahimamah terdelegasikan kepada ulama yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk secara formal memimpin, membimbing dan menjelaskan syariat islam kepada kaum muslimin. Kepemimpinan ulama ini berlaku hingga hadirnya imam ke dua belas, yaitu imam Muhammad al-mahdi[14].
Konsep imamahyang di bawa syi’ah memunculkan dua teori imamiyah, yakni: salthanah ‘Adil dan Salthanah Ja’ir atau Tirani, salthanah – adalah pengembanan otoritas hukum dan moral dengan menuntut ketaatan, dalam halini langsung berkaitan dengan masalah asasiah wilayat.Pemimpin yang di pandu Allah adalah yang memiliki wilayat.
3.      Para Faqih Imamiyah, Para Pemimpin Umat
Pembahasan mengenai imamah dengan dalil-dalil rasional banyak
dibahas dalam kitab-kitab kaum Syi’ah. Begitu pula dengan dalil-dalil naqliyah yang
bersumber dari Al Qur’an maupun hadits dan dikomparasikan dengan berbagai
argumen madzhab Sunni. Fakhr al-Razi, berkomentar : “ayat ini menjelaskanbahwa setiap orang yang jaiz al-khatha, yang dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan wajib mengikuti orang yang dijamin kebenarannya atau ma’shum”.
Mereka adalah orang yang dimaksud oleh Allah sebagai orang-orang yang benar di
atas (as-shodiqun). Menurut Syi’ah, ada dua faktor yang menentukan kepemimpinan dikalangan umat imamiyah selama ghaibnya imam, yaitu : pertama,imam shahih – yaitu menopang imamah dua belas, kedua, ilmu shalih– yaitu ilmu yang diperoleh dari ahl al-Bayt (para imam).[15].
 Sedangkan legitimasi yang diberikan kepada imamah dalam mengemban kepemimpinan umat ditentukan oleh nash yang berlaku di kalangan Syi’ah. Karena nash- lah yang memberikan jaminan bahwa imam terlepas dari kesalahan dan dosa. Sehingga nash memiliki hubungan yang erat satu sama lain dalam menjamin penggantian imam yang lurus. Sebab garis kedua belas imam itu,terhubungkan melalui prinsip nash untuk mengemban kepemimpinan terhadap umat, dan ini menjamin kelestarian dan keterlindungan risalah Islamiyah yang diturunkan kepada Nabi[16]. Para faqih dalam dunia syi’ah mempunyai peranan yang sentral di dalam menjadi pengganti imam yang ghaib. Para faqihlah yang mempunyai wewenang dalam kebijakan politis, yuridis,maupun agamis, dalam membantu menyelesaikan permasalahan umat sebelum imam kedua belas mereka kembali.
Sampai sekarang, ajaran Syi’ah tumbuh subur dan berkembang terutama di wilayah negara Iran. Para ulama Syiah di Iran, berjuang dan berkarya sesuai dengan sistem falsafi yang mereka sebut dengan wilayah ql-faqih. Hal ini seringkali mewarnai karakter mereka dalam tulisan-tulisan, pidato dan perilaku mereka sehari-hari. Wilayah al-faqih ( pemerintahan faqih ) merupakan masalah yang telah diketahui dan disepakati serta tidak diragukan lagi kebenaran akan hal itu menurut golongan Syi’ah. Karena mereka yang benar-benar mengerti dan memahami akidah dan syari’ah Islam secara umum, tanpa ragu-ragu lagi akan menerima dengan ikhlas –prinsip pemerintahan faqih, dan pada saat imam ghaib, kepemimpinan nabawiyah dilanjutkan oleh para fuqaha.
Fuqaha adalah pengganti para imam. Pada mereka dipercayakan kepemimpinan (wilayat) atas umat. Wilayat faqih ini ditegakkan atas empat dasar pokok, pertama, Allah adalah hakim mutlak pada alam semesta dan segala isinya, termasuk manusia yang ditempatkannya di bumi. Allah adalah penguasa tunggal bagi umat Islam. Dia-lah pemilik kedaulatan yang sah. Dunia boleh memilih dua hal : kepemimpinan Allah dan kepemimpinan selain Allah yang disebut Taghut. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah basyariyah) yang mewujudkan kepemimpinan Allah dimuka bumi adalah para nabi dan rasul. Mereka melaksanakan hukum Allah sejak dari nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw.
Ketiga, garis imamah melanjutkan garis kenabian dalam memimpin umat.untuk menjalankan kepemimpinan ilahiyah dalam hal ini diperlukan manusia-manusia suci yang faqih tentang syari’at Islam dan mewarisi tentang perjuangan Rasulullah saw. Seperti para ahli bait (keturunan Ali). Kemudian dilanjutkan dua belas imam yang ma’sum yang meninggal dunia setelah wafatnya Rasulullah saw, dimana mereka sekarang dalam keadaan ghaib-ghaib yang besar (alghaibat al-kubra) dan satu saat nanti mereka akan kembali lagi sebagai imam mahdi al-muntadhar.
Karena itu secara singkat wilayah al- faqihdapat dipahami sebagai berikut : bahwa Allah adalah pencipta, Hakim Mutlak yang mengatur alam semesta dan segala isinya. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi, untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia dimuka bumi. Allah memilih diantara manusia orang-orang yang memiliki unsur-unsur kepribadian yang luhur. Merekalah yang berhak memimpin umat; seperti para nabi, para imam dan para fuqaha. Oleh karena para anbiya’ dan Auliya’ sudah berlalu,maka sekarang umat berada pada periode kepemimpinanfuqaha sebagai pewaris kepemimpinan para anbiya’ dan Auliya’.
 Sebagai pemimpin umat, fuqaha harus memiliki tiga syarat yaitu : faqanah (mujtahid mutlak yang mampu menetapkan kesimpulan tentang hukum-hukum syara’ dari sumber-sumbernya)[17], kedua, adalah(tetap teguh menjalankan syariat Islam dan memiliki kepribadian yang bersih, soleh, dan taqwa) ketiga, kifa’ah (memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil mengurus kehidupan umat).[18] Inilah beberapa hal esensial yang mutlak harus dimiliki oleh para ulama dan hilang satu saja dari ketiga sifat diatas, maka otoritas keulamaannya menurut Syiah, akan turut hilang dengan sendirinya.
B.       Kontekstualisasi dan Relevansi Kontruksi Imamah Syi’ah dengan Demokrasi
Sistem politik syiah adalah imamah,yang menegaskan bahwa kepemimpinan adalah urusan Tuhan.[19]  Banyak hadis nabi yang mereka gunakan dalam mendukung konsep imamahyang mereka kembangkan. Sedangkan konsep demokrasi lebih menekankan pada suara rakyat mayoritas juga tidak terbebas dari kekurangan. Dalam demokrasi, legitimasi politik sering kali dipahami hanya dalam koridor kehendak mayoritas, bukan pada pengetahuan tentang kebenaran sehingga kesalahandalam mengambil keputusan seringkali tidak terlalu dipersoalkan. Oleh karena itu, ada dua implikasi terkait dengan hal ini, pertama, kekuatan rakyat seharusnya di batasi oleh kebenaran tentang keputusan yang mereka ambil. Kedua, perlu adanya pengawasan dan kekuasaan evaluatif terhadap keputusan rakyat.[20]
Menurut Khomeini adanya konsep wilayah al-Faqih sesungguhnya menjadi titik temu antara konsep teokrasi (imamah)  yang dikembangkan syi’ah dengan demokrasi. Pada satu sisi, rakyat memiliki kebebasan untuk menetukan pemimpinnya. Namun, disisi yang lain, Khomeini menekankan agar dalam penentuan kepemimpinan, rakyat memegang teguh ajaran-ajaran Islam. Ketika memilih pemimpin, rakyat harus bermusyawaroh dan berlaku adil sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum-hukum Islam. Hak pilih harus ditegakkan dalam pemerintahan Islam. Setiap rakyat berhak mengeluarkan pendapatnya. Dari sini ada gagasan Khomeini yang hendak mewujudkan sebuah sistem pemerintahan yang mengarah pada “Pemerintahan Tuhan-Manusia”.[21]
Penerapan Demokrasi di Iran
penerapan demokrasi di Iran sudah diperjuangkan sejak abad ke-19, yang kemudian menghasilkan revolusi Konstitusi 1906 hingga revolusi Islam 1979 yang menghasilkan model negara modern Iran. Revolusi Iran telah berhasil mengubah lanskap dunia muslim. Peristiwa ini telah menyegarkan kembali perdebatan intelektual seputar kemungkinan negara Islam. Apa yang baru dari republik Islam Iran adalah metodenya yang melakukan kombinasi bukan hanya agama dan negara, melainkan teokrasi dan demokrasi. Setidaknya ada dua asumsi disini, pertama, pilihan bebas yang diberikan kepada rakyat yang pada akhirnya memilih negara islam. Kedua, para penyusun konstitusinya yang meliputi berbagai kalangan, baik demokrat maupun Islamis. Untuk itu, perlu dianalisis praktik demokrasi di Iran, meliputi pemilu, kelembagaan negara (eksekutif dan Legislatif), dan sistem pengawasan ( yudikatif) [22]sebagai representasi praktik demokrasi di Iran.
            Hak Kaum Minoritas
Halini ditujukan agar ada perlindungan terhadap minoritas agama di Iran, tidak ada paksaan dalam hal beragama. Dalam hal ini, terbukti bahwa di Iran telah terjadi kontekstualisasi, kekuatan republik Islam Iran justru terletak pada kesatuan nasional. Dengan demikian masalah dzimmi dan pembebanan jizyah, menjadi tidak lagi diperlukan. Undang-Undang terkait non-Muslim yang berlaku saat ini disana, sudah tidak mencamtumkan hal tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana Iran menjamin pluralisme kewargaan dan di legitimasi dalamkonstitusi Iran yang menjamin kelompok minoritas agama diperkenankan membentuk organisasi sendiri.[23] Di dalam parlemen juga diikutkan perwakilan kaum minoritas sebagai jalan menyampaikan aspirasi komunitasnya.
            Analisa Lanjut,Kontekstualisasi dan Relevansi Konsep Imamah Syiah
            Dari beberapa penjelasn di atas, dapat dikatakan bahwa sistem yang di anut syi’ah dengan konsep imamahnya, dewasa ini telah mengalami kontekstualisasi paradigma, seperti apa yang terjadi di Iran. Konsep imamah yang dikembangkan syia’ah awalnya menurut hemat penulis memang terlihat teokratis yang cenderung hanya fokus agama. Namun, muncul problem saat imam kedua belas ghaib makadibutuhkanlah perwakilan dari imam tersebut. Maka di pilihlah para faqih, dan dikembangkan sebagai wilayah al-faqih.
            Dari wilayah al-faqihinilah, yang setidaknya menjadi pondasi utama adanya demokrasi agama. Dalam hal ini telah dikembangkan perpaduan teokrasi dan demokrasi atau “Pemerintahan Tuhan-Manusia”. Demokrasi sebagai kebebasan warga negara memilih pemimpinnya sendiri, namun di dalam proses memilih juga mengambil prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.
Demokrasi yang dikembangkan syi’ah di Iran menurut hemat penulis juga relevan seperti domokrasi yang di anut oleh Sunni atau yang ada di Indonesia. Indonesia sendiri kebebasan memilih juga ada dalam UUD’45, dan juga memiliki para faqih seperti MUI, walaupun tidak bisa dibenarkan secara mutlak fatwa-fatwanya.
            Jadi, konsep imamah syi’ah yang teokratis juga diimbangi konsep wilayah faqih yang demokratis yang pada akhirnya memadukan antara agama dan demokrasi atau rakyat sebagai pemegang kekuasaan.






BAB III
PENUTUP

a.        Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa argumentasi tentang Imamah tidak terlepas dari bantahan yang menjadikannya sangat rapuh. Adapun mengenai kedudukan Imamah dari perspektif Syi’ah, amat kental dengan nuansa al-ghuluw (ekstrim) terhadap para imam mereka. Segala sesuatu jika dibangun di atas kerapuhan tanpa adanya dasar yang kuat, pastilah rapuh.
Meskipun konsep Imamah yang telah mengimplikasi hampir seluruh aqidah dan ajaran Syi’ah (seperti pandangan terhadap Al-Qur’an dan penafsirannya, Sunnah dan pemahamannya, sikap mereka terhadap Sahabat, serta munculnya konsep-konsep lain seperti taqiyah, raj’ah dan al-bada), namun argumentasi mereka sebenarnya tidaklah begitu kuat. Oleh karena itu, Imam Khomeini mengubah konsep Imamah dengan konsep tentang wilayah al-faqih pascarevolusi Iran pada tahun 1979, yang sebenarnya hal tersebut merupakan bukti bahwa tidak ampuh atau lemahnya konsep Imamah yang selalu mereka propagandakan untuk dijadikan sebuah konsep negara.
Segala  konsep yang dibuat oleh manusia pasti tidak akan bisa menyamai konsep yang dibuat oleh Allah. Seperti halnya kaum Syi’ah yang mencoba menganalogikan konsep nubuwah Allah dengan konsep imamah meraka yang berusaha memakai dalil naqli sebagai rujukan utama dalam melakukan sistem pemerintahan yang politis.
Konsep imamah dan wilayah al-faqih juga telah dikontekstualisasikan dan sudah ada relevansi dengan konsep demokrasi yang dikembangkan beberapa negara yang menjadikan rakyat sebagai sentralpemerintahan.
b.      Saran
Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca, dan dapat mengambil hasanah keilmuan, dan dapat memahami syi’ah secara komprehensif agar mendapat pemahaman yang mendalam terkait konsep yang dikembangkan oleh syi’ah.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Muzhaffar, Syekh Muhammad Ridha, Akidah Syi’ah Imamiah, Jakarta: Abu Dzarr Press, t.th
Anis, Muhammad, Islam dan Demokrasi; Perspektif Wilayah Al-Faqih, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2013
Jefri, S. Husein M, Islam Syiah dari Saqifah sampai Imamah, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1979
Nasir, Sahilun A, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012
Sakhedina, Abdul Aziz A, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung: Mizan
Shihab, Quraish, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, Jakarta: Lentera Hati, 2007
Zahrah, Imam Muhammad Abu,Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996


[1] Prof. Dr. Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), cet. II, hal.72
[2] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah,  Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cet. I, hal. 50
[3] Prof. Dr. Sahilun A. Nasir, Ibid, hal. 86
[4] Syekh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Akida Syi’ah Imamiah, (Jakarta: Abu Dzarr Press, t.th), hal. 46
[5]Ibid. Hal. 97
[6] M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. I, hal. 98

[8] S. Husein M. Jefri, Islam Syiah dari Saqifah sampai Imamah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1979), cet. I, hal. 384
[9]Ibid. Hal. 390
[10] Syekh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Akida Syi’ah Imamiah, Ibid, hal. 52-53
[11] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah,  Ibid. hal. 52
[12]Abdulaziz A Sachedina, Kepemimpinan dalam  Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung Mizan,  1994), hal. 76
[13]Ibid, hal. 108
[14]Ibid, hal.165
[15]Ibid. Hal. 105
[16]Abdul Aziz A. Sakhedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung: Mizan,), hal.64
[17] Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi; Perspektif Wilayah Al-Faqih, (Jakarta: PT. Mizan Publika,2013), cet. I, hal. 150

[19] Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi; Perspektif Wilayah Al-Faqih, Ibid. hal. 27
[20]Ibid. Hal. 171
[21]Ibid. Hal. 154
[22]Ibid. Hal. 190    
[23]Ibid. Hal. 195

0 komentar:

Posting Komentar

Menurutmu Bagaimana Blog Ini?

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.