Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pengantar Studi Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Suparman, M.Ag
Disusun Oleh :
1. Imam Muslim (134111028)
2. Nur Indah Sari (134111041)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH
I. PENDAHULUAN
Sejarah fiqh (hukum) islam tumbuh secara berangsur-angsur, setapak demi setapak, hingga sampai ke puncak perkembangannya menuju kesempurnaan. Kata fiqih bukanlah sebuah kata yang tabu bagi umat muslim pada. Namun perbedaan tentang pemahaman fiqih selalu ada dan tak pernah pupus. Hal tersebut menunjukkan fiqih adalah sebuah disiplin ilmu yang berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi zaman.
Dalam pembahasan ini, kami berusaha menjelaskan masa-masa perkembangan fiqih untuk melihat bagaimana sejarahnya. Agar kita dapat memahami perkembangan sejarah fiqh. Karena fiqh sangat penting pengaruhnya terhadap kekuatan sumber hukum islam.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Fiqh?
2. Bagaimanakah sejarah perkembangan Fiqh dari masa kemasa?
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Fiqh
Kata “fiqh”, secara etimologi berarti jalan atau paham yang mendalam. Jika paham itu dapat digunakan untuk hal – hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu lahiriah kepada ilmu batiniah.
Secara definitive, fiqh berarti “ilmu tentang hukum – hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dan dalil – dalil tafsili”
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas adalah bahwa fiqh hanya menyangkut tindak tanduk atau perbuatan manusia yang bersifat lahiriah.
Sedangkan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisaan, dan penentuan ketetapan tentang hukum.
Dan kata “tafsil” dalam definisi diatas, menjelaskan tentang dalil – dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuan tentang sebuah hukum.
Al – Amidi, seorang ulama Syafi’iyah terkemuka mendefinisikan pengertian fiqh dalam bukunya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam yaitu “ ilmu tentang seperangkat hukum – hukum syara’ amaliyah yang dihasilkan melalui penalaran”.
Tajuddin al-Subki juga mendefinisikan bahwa fiqh adalah “ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci”.
Sementara menurut fuqaha Malikiyah, fiqh adalah “ilmu tentang perintah-perintah syar’iyyah dalam masalah khusus yang diperolah dari aplikasi teori istidlal (dalil) atau pencarian hukum dengan dalil”
Dan pada intinya Fiqh adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum – hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil – dalilnya melalui penalaran.
2. Sejarah Fiqh dari masa kemasa
a. Periode Risalah
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad saw, sampai wafatnya Nabi SAW. (11 H/632 M)
Karena Fiqh adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum – hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil – dalilnya penalaran. Oleh karena itu, apabila penjelasan Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat – ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh atau lebih tepat disebut “fiqh sunnah”.
Dengan diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad saw, maka mulailah tarikh tasyri’ islami (sejarah hukum islam). Sumber tasyri’ islami pada waktu itu adalah wahyu (kitabullah) dan Sunnah Rasul. Pada periode ini, kekuasaan untuk menentukan hukum sepenuhnya berada ditangan Rasulullah saw yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena turunnya ayat – ayat al Qur’an yang mengandung hukum, tidak semuanya memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai kehendak Alllah.
Inilah selanjutnya peran Rasulullah saw untuk memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, agar menjadi jelas dalam praktiknya.
Periode risalah ini, juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu periode Mekah dan Madinah.
1. Pada periode Mekah, selama kurang lebih 13 tahun masa kanabian Muhammad saw, di Mekkah sedikit turun ayat yang berhubungan dengan hukum. Periode ini lebih terfokus untuk proses penanaman (ghars) masalah aqidah (kepercayaan), seperti iman kepada Allah, Rasul-Nya, hari Kiamat dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan.
Ayat - ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi (perubahan secara cepat) aqidah masyarakat pada waktu itu untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju jalan yang benar yaitu agar menyembah Allah SWT.
Dalam al-Qur’an surat al-An’am, salah satu surat yang turun dimekkah, terdapat beberapa contoh dari hukum-hukum syari’at seperti haram memakan binatang yang disembelih tidak dengan nama Allah dan keterangan hewan-hewan yang haram dimakan.
Yang sebenarnya juga berkaitan dengan akidah, seperti menjadi tradisi orang-orang jahiliyah yang menyembelih binatang atas nama tuhan mereka, mengharamkan dan menghalalkan binatang-binatang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Demikian pula perintah shalat dan zakat. Zakat pada priode Mekkah masih bersifat umum dalam arti sedekah atau infak fi sabilillah,sementara cara pelaksanaannya dan kadar yang harus dikeluarkan dan ketentuan lainnya disyari’atkan pada periode madinah.
Dengan demikian bahwa periode mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata.
2. Pada periode Madinah, pada periode Madinah inilah turun ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum syar’iyyah dari persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadah seperti shalat, zakat, puasa dan haji atau muamalat seperti aturan jual beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan ketatanegaraan.
Sebagai contoh fiqh pada masa risalah adalah masalah shalat. Perintah melakukan shalat banyak sekali terdapat dalam al Qur’an. Akan tetapi tidak ada satupun yang menjelaskan tentang bagaimana praktik shalat itu. Karena Nabi mengetahui maksud perintah Allah tersebut, maka beliau menjelaskan kepada umatnya tentang tata cara melakukan shalat.
Nabi mengarahkan kata “shalat” itu kepada perbuatan tertentu dengan tindakan yang berisi beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam. Kemudian beliau berkata “inilah yang dimaksud dengan shalat”.
Dengan kata lain pada periode Madinah dapat disebut dengan periode revolusi social dan politik. Rekonstruksi social ini ditandai dengan penataan kehidupan masyarakat Madinah yang layak dan dilanjutkan dengan praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi SAW, hingga menampilkan islam sebagai sesuatu kekuatan politik.
Pada periode ini, Nabi juga menggunakan ijtihad dalam memecahkan masalah syar’iyyah diantaranya adalah ijtihad Nabi ketika perang tabuk. Beberapa prajurit islam datang menyatakan ketidaksiapannya untuk jihad dengan mengemukakan beberapa alasan. Nabi saw, berpendapat dengan ijtihadnya bahwa alasan mereka cukup jujur dan dapat diterima. Tetapi Allah memperingatkan beliau karena ada dari mereka yang munafik. “ Kiranya Allah memaafkan kamu! Mengapa kamu ijinkan mereka sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan kamu tahu pula orang-orang yang dusta.
b. Periode al –Khulafaur Rasyidin
Periode khulafaur rasyidin atau biasa di sebut dengan priode sahabat, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, sampai Mu’awiyah bin Abu Sofwan memegang tampuk pemerintahan islam pada tahun 41 H/661 M. Sumber hukum fiqh yang digunakan pada periode ini adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Periode ini juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan-persoalan hukum yang muncul ditengah masyarakat yang tidak dijumpai secara jelas hukumnya dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Persoalan hukum yang muncul, dikarenakan semakin kompleks dan semakin banyaknya pemeluk agama islam dari berbagai etnis dan budaya.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi, dan kondisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada al Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam al Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam Sunnah. Namun, jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, maka mereka melakukan ijtihad dengan cara mereka berkumpul dan bermusyawaroh untuk membicarakan hal itu. Dan bila telah terjadi kesepakatan barulah diputuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi dan kemudian dikenal dengan ijma’.
Cara seperti ini banyak digunakan oleh Khulafaur-Rasyidin dalam menetukan hukum. Suatu ketika khalifah Umar Bin Khattab mengirim surat kepada seorang hakim bernama Syuraih: “Jika kamu temukan dalam al-Qur’an, putuskanlah dengannya, jangan menoleh pada yang lain. Jika kamu berhadapan dengan apa yang tidak ada dalam al-Qur’an, putuskanlah dengan apa yang menjadi Sunnah Nabi. Dan jika dari keduanya tidak kamu temukan , putuskanlah dengan apa yang telah menjadi keputusan orang (ijma’). Tetapi jika tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah dan tidak ada seorangpun yang memutuskan sebelum kamu, kamu boleh memilih antara berijtihad dengan pendapatmu sendiri atau mengakhirkan putusanmu.”
Bentuk ijtihad pada periode ini adalah tentang pengumpulan mushaf al-Qur’an. Yang pada waktu itu diusulkan oleh Umar terhadap khalifah Abu Bakar, karena banyaknya para penghafal al-Qur’an yang gugur dimedan perang. Akan tetapi Abu Bakar tidak langsung menerima pendapat tersebut, karena masa Nabi tidak dilakukan. Setelah mempertimbangkan beberapa factor, akhirnya Abu Bakar bersedia melakukan hal tersebut. Dan memrintah Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan mushaf al-Qur’an, tapi mulanya Zaid juga tidak setuju. Karena dibukakan pintu hatinya oleh Allah, akhirnya menyetujui hal tersebut.
Dan pada masa Utsman muncul perdebatan tentang bacaan al-Qur’an. Oleh karena itu Utsman memerintahkan Hafsah, untuk menyerahkan mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar dan menyuruh beberapa penulis wahyu seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdur Rahman bin Haris untuk menertibkan bacaan al-Qur’an. Dan setelah penertiban atau menyamakan bacaan al-Qur’an selesai, Utsman mengembalikan mushaf yang asli kepada Hafsah dan mengirimkan mushaf yang sudah ditertibkan bacaannya kesegala tempat, seperti Mekkah, Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, Dan Madinah. Dan mushaf Utsmani seperti yang kita lihat sekarang ini berakhir pada tahun 25 H.
C. Periode Tabi’in
Periode ini dimulai dari akhir masa hulafau rasyidin sampai runtuhnya daulah Umayyah atau pada tahun 41H (661M) sampai 132H (750M). Metode yang dijalankan pada periode ini mengikuti periode yang dijalankan oleh para sahabat, karena para tabi’in menerima fiqih dari mereka dan mengikuti manhaj (metode, sistem atau kaidah istidlal) para sahabat dalam menisbahtkan sebuah hukum.
Para fuqoha pada masa ini mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadist, dan jika tidak mendapatkan dari keduanya. Mereka merujuk pada ijtihad para sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri melakukan ijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Ada beberapa perkembangan baru yang membedakan perkembangan fiqh antara periode ini dengan sebelumnya akan menjadi modal dasar yang turut mengantarkan fiqh menuju era keemasan.
1. Penggunaan rasio, ada kecenderungan baru dari fuqaha. Khusunya yang berada di Irak untuk memandang hukum sebagai timbangan rasionalitas. Mereka tidak saja banyak menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi peristiwa dan persoalan yang muncul, akan tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberi hukumnya.
Contoh penggunaan rasionalitas adalah perbincangan antara Abu Hanifah dengan Ja’far bin Muhammad.
Ja’far bertanya pada Abu Hanifah “mana yang lebih besar dosanya antara membunuh dengan zina?”.
“membunuh.” Jawab Abu Hanifah.
“tapi bukankah dalam kasuspembunuhan cukup dua saksi, sedangkan dalam kasus zina harus empat saksi. Dimana letak analogi dan pemikiran manusia?. Baik mana yang lebih utama di sisi Allah: puasa atau shalat?”
“shalat.”
“tapi kenapa wanita haid harus mengganti puasanya dan tidak diperintahkan mengganti shalatnya? Dimana letak pemikiran manusia itu?”
Hal diatas menunjukkan adanya penggunaan rasionalitas yang tinggi terhadap sebuah persoalan dan kemudian pada perkembangan berikutnya terjadilah pembaharuan pemikiran baik di Irak ataupun Hijaz (ulama-ulama Madinah) untuk membantu memperkaya pemahaman fiqhiyah.
2. Meluasnya ruang ikhtilaf. Konsekunsi lain dari munculnya kontroversialisme pemahaman fiqih tadi adalah meluasnya ruang iktilaf pada priode ini, pada priode ini ikhtilaf juga diperluas dengan menyebarnya sahabat dan tabi’in ke beberapa daerah dan perpecahan kesatuan agama dan negara akibat pergolakan-pergolakan politik selama pemerintahan bani umayah dan khalifah usman bin afan. Penyebaran sahabat keberbagai tempat itu punya pengaruh tersendiri terhadap perkembangan fiqih, karena masing-masing daerah punya perbedaan situasi, kebiasaan dan kebudayaan, disamping perbedaan kapitalis pemahaman para fuqoha dalam mengantisipasi masalah-masalah yang muncul, karena masalah yg muncul tersebut mengakibatkan munculnya aliran syi’ah, khawarij, jahmi’an dan muhtazilah dan sebagainya yang memecah belahkan kesatuan keislaman. Sekalipun aliran-aliran ini lebih merupakan sekte teologi tetapi juga berpengaruh dalam sejarah perkembangan fiqih. Misalnya antara Khaawarij dan Syiah, mereka tidak mau menerima hadist kecuali yang diriwayatkan oleh ulama-ulama mereka sendiri.
Pada periode ini, perkembangan ilmu fiqih dalam setiap pengambilan jawaban atas masalah yang ada para fuqaha yang kebanyakan berdomisili di Irak lebih mengutamakan menggunakan rasio
D. Era Keemasan
Runtuhnya pemerintahan Daulah Umayah sekitar abad ke-2 H, menghembuskan angin baru pada dunia fiqih, karena pada masa itu Khulafah Bani Ummayah itu membatasi gerak para fuqaha yang berani menentang kebijaksanaan pemerintah, berbeda para era ini yang di pimpin oleh Khulafah Bani Abbas yang berpengaruh besar terhadap fiqih dan fuqaha, pada masa ini para fuqaha mendapatkan posisi yang terhormat, ini yang menyebabkan dan mendorong para fuqaha untuk melakukan kajian yang lebih dalam dan sungguh-sungguh sehingga mengantarkan fiqih ke puncak keemasannya dalam sejarah perkembangannya.
Salah satu contoh perhatian terhadap fuqaha mengenai ilmu fiqih adalah ketika khalifah Harun Ar-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur tentang administrasi, keuanagn dan masalah-masalah ketatanegaraan sesuai dengan ajaran islam.
Itulah perhatian Khulafa Bani Abbas terhadap fiqih dan fuqaha telah dicatat sejarah sebagai salah satu yang membantu mengantarakan fiqih menuju puncah kecemerlangan. Dan era keemasan ini berlangsung sampai 250 tahun.
Lahirnya ahlul hadist dan ahlul ra’yi
Sahabat-sahabat besar berpegang kepada al-qur’an dan as-sunah kemudian pada qiyas, apabila dianggap sangat perlu. Sesudah masaalah sahabat berlalu, para ulama yang datang kemudian ada yang berpegang pada Qur’an dan Sunnahsaja, tidak mau menetapkan hukum dasar yang lain. Dan merekalah yang mula-mula diberi julukan dengan ahlul hadist. Sedang disamping itu ada para ulama yang berpendapat, bahwa syariat allah dapat di pahami isinya, karena syariat itu mempunyai maksud-maksud yang wajib diperhatikan. Karena itu haruslah kita mempergunakan fikiran atau ra;yu, untuk berijtihat. Dan hal ini pernah pula dilakukan oleh para sahabat. Mereka berpendapat bahwa apabila berijtihat tidak dilakukan akan bekulah syariat. Karena inilah yang dinamai Ahlul Ra’yi atau Ahlul Qiyas.
Kebanyakan Ahlul Hadist berdiam di Hijaz dan dipelopori oleh Sa’id ibn Musaiyab (wafat 93H) salah seorang fuqoha di Madinah. Sedangkan Ahlul Hadist berdiam di Irak dan di pelopori oleh Ibrahim ibn Yasid ibn Qais An Nakha’i (wafat 96H).
DAFTAR PUSTAKA
Rahiem, Husni, Perkembangan Ilmu Fiqh didunia Islam, BUMI AKSARA, Jakarta, 1991
Anwar, Syahrul Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010
Ash Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Prenada Media Group, Jakarta, 2009
Ranchman, Buddy Munawar, Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, PT Temrint, Jakarta, 1994
Anwar, Syahrul, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010
Umar, Muin, Asmuni Rahman dkk, Ushul Fiqh I, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 1985
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta, 2003
Huda, Shofiyul, USHUL FIQH: Pengertian, Sejarah dan Pemikiran, STAIN Kediri Press, Kediri, 2009
Yafie, Ali, Sejarah Fiqh Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1995
0 komentar:
Posting Komentar