KORUPSI DI INDONESIA “MEMBUDAYA”
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption dari kata kerja corrumpere
yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, menyogok. Maksudnya adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik baik politisi
maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan yang tidak
wajar dan tidak legal dengan menyalahgunakan kepercayaan publik.Dalam arti yang
lebih luas bahwa korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi. Titik ujung dari korupsi adalah kleptokrasi,
secara harafiahnya yaitu pemerintahan
oleh para pencuri, dimana kejujuran
tidak ada sama sekali.
Korupsi diIndonesia sudah ‘membudaya’
sejakdulu, sebelumdansesudahkemerdekaan, di era Orde Lama, OrdeBaru, berlanjuthingga
era Reformasi saat ini.
Berbagaiupayatelahdilakukanoleh
pemerintah untukmemberantaskorupsi, namunhasilnyamasihjauhdiluar harapan. Karena hasil yang masih diluar harapan, sejarawanmerasatertarikpadapengkajiansejarahpolitikdansosial,
khususnyadalam “budayakorupsi” yang sudahmendarahdaging.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya atau tradisi korupsi”
yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan atau jabatan dan kekayaan.
Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi
korupsi berjalan dengan perebutan kekusaanseperti di Kerajaan Singosari
(sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: antara
Anusari, Tohjoyo, Ranggawuni, Mahesa, Wongateleng dan seterusnya), Majapahit
(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara
telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia yang membudaya.Gelaja
korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan
bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau
belum memahaminya.
Era Pasca Kemerdekaan
Sejarah
tentang “budaya korupsi” di Indonesia seperti sudah mendarah daging sejak awal
sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan diatas, kembali terulang di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia,
baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik
tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan kasus
tersebut belum bisa ditemukan.
Pada
era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan KorupsiParan (Panitia
Retoolling Aparatur Negara)dan Operasi
Budhi. Namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati
menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara
dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan
Abdulgani.
Salah
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat
negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir
tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda). Dan pada Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963,
upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi
ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian di dikenal dengan istilah “Operasi
Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara yang dianggap rawan praktik
korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya,
untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada
Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain
menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.Dalam kurun
waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
“prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar
(Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno
menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah
kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami
stagnasi.
Era Orde Baru
Pada
pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke
akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang
diketuai Jaksa Agung. Ketika Tahun 1970, terjadi ketidak seriusan TPK dalam
memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan
unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Dan perusahaan-perusahaan negara seperti
Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh
tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr
Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara
lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina.
Namun kornite ini hanya “macan ompong”
karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina namun tak direspon
pemerintah.
Jika
pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi”
lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru rnenjadi Orde Lama juga dan
Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara
“konkesuen” alias “kelamaan”.
Di masa
pemerintahan Megawati pula kita
rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol
adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah
bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3
untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King,
lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian
fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa
elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat
menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar
yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional.
Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus
korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
Pelajaran
apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi
tidak semudah membalikkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses
pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan
serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang
kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor
penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum
tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan
keadilan datang dari hati sanubari rakyat.









0 komentar:
Posting Komentar