Jumat, 27 September 2013

KORUPSI DI INDONESIA “MEMBUDAYA”


KORUPSI DI INDONESIA “MEMBUDAYA”
Oleh : Imam Muslim


Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, menyogok. Maksudnya adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan yang tidak wajar dan tidak legal dengan menyalahgunakan kepercayaan publik.Dalam arti yang lebih luas bahwa korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Titik ujung dari korupsi adalah kleptokrasi, secara harafiahnya yaitu pemerintahan oleh para pencuri, dimana kejujuran  tidak ada sama sekali.
Korupsi diIndonesia sudah ‘membudaya’ sejakdulu, sebelumdansesudahkemerdekaan, di era Orde Lama, OrdeBaru, berlanjuthingga era Reformasi saat ini. Berbagaiupayatelahdilakukanoleh pemerintah untukmemberantaskorupsi, namunhasilnyamasihjauhdiluar harapan. Karena hasil yang masih diluar harapan, sejarawanmerasatertarikpadapengkajiansejarahpolitikdansosial, khususnyadalam “budayakorupsi” yang sudahmendarahdaging.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya atau tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan atau jabatan dan kekayaan. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalan dengan perebutan kekusaanseperti di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: antara Anusari, Tohjoyo, Ranggawuni, Mahesa, Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia yang membudaya.Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.

Era Pasca Kemerdekaan
Sejarah tentang “budaya korupsi” di Indonesia seperti sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan diatas, kembali  terulang di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan kasus tersebut belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan KorupsiParan (Panitia Retoolling Aparatur Negara)dan Operasi Budhi. Namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda). Dan pada Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian di dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara  yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Ketika Tahun 1970, terjadi ketidak seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Dan perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina namun tak direspon pemerintah.
Era Reformasi



Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah membalikkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar

Menurutmu Bagaimana Blog Ini?

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.