Pemikiran Martin
Heidegger
HERMENEUTIKA MARTIN HEIDEGER
I.
Biografi
Martin Heideger
Martin
Heideger (lahir 26 September 1889 dan meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86
tahun) dilahirkan dalam tradisi Katolik yang taat di kota Messkirch Jerman,
Heideger belajar filsafat di Universitas Freiburg di bawah seorang ahli
hermeneutika yakni Heinrich Rickert dan Husserl. Setelah mengajar selama 8
tahun di almamaternya, Heideger diangkat sebagai professor Filsafat di Marburg
(1923) dan dari sinilah ia merintis reputasinya sebagai tokoh filsuf penting
abad ke-20.
Tahun 1916
Husserl tiba di Freiburg sebagai professor filsafat. Kemudian dari tahun1919
sampai 1923 Heidegger menjadi assisten Husserl. Husserl merupakan pendiri dari
aliran filsafat penomenologi modern. Di tahun tersebut juga Heidegger
menikahi istrinya yaitu Elfrida Fetri. Pernikahannya dengan Elfrida Fetri sekitar
tahun 1918 sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Heidegger. Pada tahun 1928
Heideger ahirnya menggantikan posisi Husserl sebagai Dekan di Freiburg, tahun
1944 atas perintah sekutu Heideger diperintahkan untuk berhenti mengajar sampai
tahun 1951. Setelah pensiun dia menghabiskan sisa waktunya di pengasingan di
Messkirch.
II.
Pemikiran
Martin Heideger pada Hermeneutik
Heideger
merupakan murid terbaik Husserl dan secara jujur mengakuai bahwa intepretasinya
dipengaruhi oleh Husserl tentang (fenomenolgi) terutama tentang metode ilmu
pengetahuan dan konsep struktur kesadaran (intensionalitas). Namun dia tidak
menerima secara begitu saja tentang fenomenologi Husserl, karena dia
menyesuaikan dengan gagasan dan kebutuhan praktisnya. Bila Husserl memahami
esensi melalui fenomenologinya,
Heidegger membuat perubahan derastis, Ia tidak lagi memahami
hermeneutika sebagai salah satu bidang pengetahuan instrumental khususnya
sebagai metodologi penafsiran pada kawasan ilmu-ilmu sosial. Heidegger
menjadikan hermeneutika sebagai pusat bagi kegiatan filsafatnya. Heidegger
memahami hermeneutika sebagai bentuk ontologi.
Heideger lebih
mengfokuskan perhatiannya pada ontologi (eksistensi) merupakan cabang ilmu yang
memempelajari tentang hakikat, pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas,
yaitu segala yang ada dan yang mungkn ada yakni realitas, realita adalah
kenyataan yang nyata. Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah
pengaruh fisika, metafisika dan etika Aristoteles yang di interpretasikan oleh
Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl,
adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh
Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis,
meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi
yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena
menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih
sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri, bila Husserl memilih
teori, Heideger lebih menekankan pada praktik, bila Husserl menekankan
pemahaman (kognisi), Heideger lebih menekankan pada kesadaran.
Heidegger
menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental
ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung
memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datumkeberadaan. Heidegger tidak
memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas
sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger, realitas
tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus
ditunggu agar ia menyingkapkan diri. Heidegger mengembangkan hermeneutika
sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalam pandangan Heidegger,
pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode.
Heidegger
menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks
tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap
kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam
karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi
yang berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman,
dan interpretasi yang essensial dan terus menerus. Martin Heidegger mencoba
memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu
“ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada
dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi
antara wujud transendent dan horizontal. Semakin dalam kesadaran manusia
terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks;
karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait
dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa
meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses
memahami suatu teks.
0 komentar:
Posting Komentar