Kamis, 26 Februari 2015

HERMENEUTIKA MARTIN HEIDEGER

Pemikiran Martin Heidegger



HERMENEUTIKA MARTIN HEIDEGER


I.         Biografi Martin Heideger

Martin Heideger (lahir 26 September 1889 dan meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) dilahirkan dalam tradisi Katolik yang taat di kota Messkirch Jerman, Heideger belajar filsafat di Universitas Freiburg di bawah seorang ahli hermeneutika yakni Heinrich Rickert dan Husserl. Setelah mengajar selama 8 tahun di almamaternya, Heideger diangkat sebagai professor Filsafat di Marburg (1923) dan dari sinilah ia merintis reputasinya sebagai tokoh filsuf penting abad ke-20.
Tahun 1916 Husserl tiba di Freiburg sebagai professor filsafat. Kemudian dari tahun1919 sampai 1923 Heidegger menjadi assisten Husserl. Husserl merupakan pendiri dari aliran filsafat penomenologi modern. Di tahun tersebut juga Heidegger menikahi istrinya yaitu Elfrida Fetri. Pernikahannya dengan Elfrida Fetri sekitar tahun 1918 sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Heidegger. Pada tahun 1928 Heideger ahirnya menggantikan posisi Husserl sebagai Dekan di Freiburg, tahun 1944 atas perintah sekutu Heideger diperintahkan untuk berhenti mengajar sampai tahun 1951. Setelah pensiun dia menghabiskan sisa waktunya di pengasingan di Messkirch.

II.      Pemikiran Martin Heideger pada Hermeneutik

Heideger merupakan murid terbaik Husserl dan secara jujur mengakuai bahwa intepretasinya dipengaruhi oleh Husserl tentang (fenomenolgi) terutama tentang metode ilmu pengetahuan dan konsep struktur kesadaran (intensionalitas). Namun dia tidak menerima secara begitu saja tentang fenomenologi Husserl, karena dia menyesuaikan dengan gagasan dan kebutuhan praktisnya. Bila Husserl memahami esensi melalui fenomenologinya,  Heidegger membuat perubahan derastis, Ia tidak lagi memahami hermeneutika sebagai salah satu bidang pengetahuan instrumental khususnya sebagai metodologi penafsiran pada kawasan ilmu-ilmu sosial. Heidegger menjadikan hermeneutika sebagai pusat bagi kegiatan filsafatnya. Heidegger memahami hermeneutika sebagai bentuk ontologi.
Heideger lebih mengfokuskan perhatiannya pada ontologi (eksistensi) merupakan cabang ilmu yang memempelajari tentang hakikat, pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan yang mungkn ada yakni realitas, realita adalah kenyataan yang nyata. Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika dan etika Aristoteles yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri, bila Husserl memilih teori, Heideger lebih menekankan pada praktik, bila Husserl menekankan pemahaman (kognisi), Heideger lebih menekankan pada kesadaran.
Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datumkeberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri. Heidegger mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode.
Heidegger menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan interpretasi yang essensial dan terus menerus. Martin Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horizontal. Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.


0 komentar:

Posting Komentar

Menurutmu Bagaimana Blog Ini?

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.