FILSAFAT AL-KINDI
1. Biografi
dan Karyanya
Al-Kindi merupakan salah
satu filosof keturunan Arab. ia bernama Abu Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya
sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek pertama dari suku Arabia Selatan.
Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali di wilayah kufah pada saat pemerintahan
al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan nenek-neneknya adalah para penguasa di
daerah Kindah dan sekitarnya yaitu daerah Arabia Selatan.
Al-kindi mendapatkan
kedudukan yang istimewa pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan al-Mu’tas}im.
Bahkan disebutkan ia menjadi guru dari anak al-Mu’tas}im yaitu Ahnad. Al-Kindi
mengalami proses kemajuan berfikir dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam
bahasa Arab. Mendalamnya pengetahuan al-Kindi nampak dalam karyanya yang
meliputi berbagai bidang antara lain: logika, filsafat, geometri, matematika,
aritmatika, musik, astronomi dan lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh Ibn
Nadim sebanyak 241 topik. Dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik,
geometri 23 topik, matematika 13 topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik,
astronomi dan perbintangan 45 topik, geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi
17 topik, psikologi 5 topik, politik 12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab
wujud keduniaan (ahdathiyah) 14 topik dan lain-lain sebanyak 33 topik.
Namun dari sekian banyak
karya al-Kindi tersebut telah banyak yang hilang dan musnah dan hanya sedikit
yang ada hingga sekarang. Di antara karya-karyanya yang terkenal di temukan
oleh seorang orientalis berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth Ritter di
perpustakaan Aya Sofia di Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah
tersebut membahas tentang soal-soal alam dan filsafat, antara lain masalah ke
esaan Tuhan, akal, jiwa dan filsafat pertama.
Di antara unsur-unsur
filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah sebagai berikut:
a. Aliran
pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju filsafat
b. Pikiran-pikiran
Aristoteles mengenai masalah fisika dan metafisika, meskipun al-kindi tidak
sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang qadi>m nya alam
c. Pikiran-pikiran
Plato mengenai masalah kejiwaan
d. Pikiran-pikiran
Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e. Wahyu
dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan Tuhan
dan sifat-sifatnya.
f. Aliran
Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat
Al-qur’an.
Selain bidang filsafat,
Al-Kindi juga memperhatikan ilmu falak. Ia menulis buku tentang masalah masalah
kedokteran dan obat-obatan. Sebagian kaum orientalis memilih al-Kindi sebagai
satu di antara sepuluh orang yang mempunyai predikat sebagai puncak pemikir
manusia.
2. Menyatukan Agama
dengan Filsafat
Di tengah pertentangan
antara kelompok agamawan yang anti filsafat dengan para filosof mengenai
masalah keagamaan, maka al-Kindi berupaya memberikan gambaran menyangkut
persinggungan antara filsafat dengan agama. Menurutnya bahwa filsafat adalah
sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran sebagaimana agama juga ilmu tentang
kebenaran. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya. Pandangannya
mengenai kesanggupan akal manusia di dalam menemukan rahasia-rahasia apa yang
dibawa oleh Rasulullah SAW adalah jelas merupakan pengaruh pemikiran
Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang mencakup masalah ketuhanan, ke esaan,
keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang menjelaskan bagaimana memperoleh hal-hal
yang bermanfaat dan menjauhkan dari hal-hal yang merugikan juga dibawa oleh
para Rasul Tuhan.
Menurut al-Kindi kita
harus mengambil kebenaran darimanapun kita memperolehnya sekalipun dari
bangsa-bangsa yang mungkin amat jauh dari negeri kita. Orang yang berupaya
mencari kebenaran tidaklah lebih utama dari kebenaran itu sendiri. Bahkan ia
menyebutkan bahwa orang yang mengingkari filsafat adalah orang yang mengingkari
kebenaran. Para penentang filsafat juga menggunakan rumusan-rumusan filsafat
ketika mereka memperkuat argumentasinya tentang tidak perlunya filsafat.
Gagasan Al-Kindi untuk
mempertemukan hubungan agama dengan filsafat juga nampak dari penjelasannya
ketika misalnya secara lahiriyah ada kontradiksi antara ayat di dalam Alqur’an
dengan hasil rumusan filsafat maka yang mesti dilakukan adalah takwil, karena
karakter kebahasaan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu arti yang
sebenarnya dan arti majazi (arti kiasan). Penarikan makna dari
arti kiasan ini tentu harus dilakukan dengan jalan takwil, dengan syarat harus
dilakukan oleh orang-orang yang ahli agama sekaligus sebagai seorang pemikir.
Kendatipun misalnya ada pertentangan antara risalah yang dibawa oleh nabi
dengan hasil filsafat, maka perbedaan tersebut hanya mengenai cara, sumber dan
ciri-cirinya, karena ilmu nabi-nabi diterima oleh mereka setelah jiwanya
dibersihkan oleh Tuhan dan dipersiapkan menerima pengetahuan dengan cara yang
luar biasa di luar hukum alam. Namun para filosof haruslah berupaya mencari
kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dengan cara mengikuti pendapat orang-orang
sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.
Konsep Filsafat
Metafisika Al-Kindi
Mengenai pembahasan tentang
masalah di wilayah metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi pemikirannya
yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang filsafat
pertama” dan “tentang keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Terkait
dengan ini Al-Kindi mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat Tuhan,
bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang hakikat Tuhan ia
menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang menyebabkan ia ada. Tuhan akan
selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang
lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan Tuhan ia membangun
argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam, kedua, Keaneka
ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.
Langkah pertama ketika
membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi baharunya alam ia mengemukakan
pendapatnya melalui satu argumentasi bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi sebab
bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam semesta ini bersifat baharu dan
mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat terbatas. Berdasarkan
argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan alam
semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan argumentasi
kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-kindi membuktikan keberadaan
Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang bersifat inderawi maupun alam
lain yang menyamainya, tidak mungkin ada ke anekaragaman tanpa ada keseragaman,
atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika alam inderawi
tergabung dalam keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama, maka hal
itu bukan disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang menjadi
sebab. Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena jika
demikian maka tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir
dan itu adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut haruslah
berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya.
Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai pembuktian
wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-Kindi mengungkapkan
pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur
kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan zat yang tidak nampak
tersebut hanya bias diketahui keberadaannya melalui bekas-bekas Nya dan
keteraturan yang ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini dikenal
dengan sebutan “illat tujuan”.
Kemudian pandangan
al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan pendapatnya bahwa ke esaan
Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan bukanlah materi,
bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga mempunyai kualitas. Ia tidak
memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain, semisal sebagai ayah atau
sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada dalam pikiran. Ia
bukan genus, bukan differentia (fasl), bukan proprium (Khas),
bukan accident (‘arad}), tidak bertubuh dan tidak bergerak.
Oleh sebab itu menurut al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal
lain kecuali esa semata.
Oleh sebab itu pula,
Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada permulaannya.
Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan dengan
sebab. Dengan demikian ia bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya Tuhan
adalah sebab pertama dimana wujudnya bukan karena adanya sebab yang lain.
Menurut Al-Kindi sifat azali Tuhan juga menuntut ia tidak bergerak karena dalam
gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang
sempurna. Karena zat yang azali itu tidak bergerak maka zaman atau waktu tidak
berlaku padaNya. karena zaman merupakan bagian dari bilangan gerak. Namun
menurut al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus yang disebut dengan “ibda” yaitu
menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, namun tidak
mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh
Konsep Etika
Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan
definisi mengenai filsafat atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani
perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang
dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna,
juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah
mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh
keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh
kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat diajukan ialah
bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu.
Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban
pertanyaan ini ialah : keahuilah keutamaan itu dan bertingkah
lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
1.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain
adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini
kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan
asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan
perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga .Kebijaksanaan
(hikmah) yaitu keutamaan daya pikir; bersifat teoritik yaitu mengetahu
segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu
menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
2.
Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang
tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai
sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
3.
Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu
yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan
diri yang tidak diperlukan untuk itu.
4.
Kedua keutamaan-keutamaan manusia tidak
terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam
keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga
macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn
padanannya adalah penganiayaan.
Konsep Jiwa
Untuk mengenal, mengetahui serta memahami teori pengetahuan
Al-Kindi, maka kita harus melihat bagaimana pandangannya mengenai jiwa dan ruh.
Menurut Al-Kindi, substansi ruh adalah sederhana (tidak tersusun) dan kekal. Ia
memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia sempurna dan
mulia karena subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan
sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Jiwa menurut al-Kindi, adalah prinsip
kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya kemudian
melepaskanya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang substansinya sama dengan
substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari
substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari dengan matahari. Sekalipun ia
bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah dan independen dari tubuh.
Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat
tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali dengan dunia intelek dan
bersatu dengannya.
Meskipun begitu, nasib mulia ini bisa saja diingkari oleh
mereka yang tertarik pada kesenangan-kesenangan jasmaniah. karena itu, tidak
semua jiwa akan bergabung kembali dengan dunia akal yang ada di seberang
langit. Bagi orang yang hidupnya tenggelam dalam kontemplasi dan tidak
mengumbar kesenangan-kesenangan hidup, ia adalah orang bajik yang mengharapkan
kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa inilah yang langsung bergabung dengan
dunia intelek begitu ia terlepas dari penjara tubuh. Tetapi bagi mereka yang
terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan jasmani maka jiwanya akan mengalami
penyucian terlebih dahulu secara bertahap dengan singgah lebih dulu di bulan,
Merkuri, dan planet-planet lain sehingga jiwa tersebut bersih dan pantas dibawa
ke dunia akali.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya
bernafsu (appetitive), daya pemarah(irascible), dan
daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan
ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagi sais kereta
dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yangmenarik
kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya
jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya
dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan
al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi
sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Sekalipun ketiga daya tersebut merupakan
daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun al-Kindi sering kali hanya merujuk
daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan dengan kemampuan jiwa, sedang daya
appetitive dan irascible ada semata-mata untuk pertumbuhan dan pelestarian
(jiwa) hewani yang berkaitan dengan badan (wadag), sementara
yang pertama demi membantu penyempurnaannya. Sehingga, tidak mengherankan
ketika ia menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan manusia adalah
sebagai pengatur keinginan hawa nafsu, ia gunakan untuk membedakan jiwa dari
badan. Bagi al-Kindi, badan memiliki hawa nafsu dan sifat pemarah sedang
jiwa menentangnya. Jelas, antara yang menentang dan yang ditentang tidak sama.
Dengan perantara ruhlah manusia mempunyai pengetahuan yang sebenarnya. Di sini
jelas bahwa yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah merujuk pada daya berpikir
atau rational faculty.
Ketidaksistematisan pembahasan al-Kindi tentang jiwa sering kali
menjebak bagi orang yang mempelajarinya karena disamping ketiga daya jiwa di
atas, al-Kindi juga masih menyebut kemampuan-kemampuan lain dari jiwa ketika ia
bicara tentang pengetahuan manusia dilihat dari cara mendapatkannya. menurut
al- Kindi, di alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca
indera. Benda-benda ini merupakan partikular. Sementara, yang penting bagi
filsafat ialah hakikat yang terdapat dalam partikular tersebut, yaitu
universal. Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, partikular/ juz’iyyah/ aniyah dan universal/ kulliyah/ mahiyah. Karena itu, al-Kindi membagi
pengetahuan menjadi dua: pengetahuan panca indera dan pengetahuan akal.
Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir-lahir saja.
Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya diperoleh
kalau manusia mampu melepaskan sifat kebinatangan dalam dirinya. Dengan kata
lain, ia harus meninggalkan dunia dan berfikir serta konsentrasi tentang wujud.
Ketika jiwa sudah terbebas dari belenggu materi dan senantiasa berpikir dan
konsentrasi tentang hakikat wujud, maka ia menjadi suci dalam keadaan ini, ia
akan mampu menangkap ilmu-ilmu yang memancar dari Tuhan karena ia sendiri
adalah pancaran dari substansi Tuhan. Ia ibarat cermin yang mampu menangkap
gambar-gambar yang ada di depannya.
Pengetahuan indrawi berkaitan
dengan objek-objek lahir. Sebagaimana objek lahir, hasil dari tangkapan indrawi
selalu berubah-ubah. Tindakan pengindraan ini menghasilkan formasi
bayang-bayang tertentu dalam kecakapan membayangkan (representative faculty),dan bayang-bayang ini kemudian
dimasukkan ke dalam kecakapan menyimpan (retentive faculty) sebagai
tindak pemeliharaan, dan dengan begitu diperoleh tingkat keabadiaan tertentu.
Sementara, objek pengetahuan rasional bersifat universal dan imateriil yang
kebenarannya diambil dengan cara menyimpulkan secara logis dan niscaya dari prinsip
pengenalan pertama yang diketahui secara intuitif, seperti “keseluruhan adalah
lebih besar dari sebagian”. Di samping itu, objek pemikiran rasional juga
berkaitan dengan bentuk-bentuk yang dicapai abstaksi objek-objek indrawi.
Akal memiliki analogi tertentu dengan penginderaan
dalam dua hal. Satu, melepaskan bentuk-bentuk
objek akali. Dua, menjadi identik dengan objek dalam tindkan berpikir. Al Kindi
membedakan empat pengertian akal:
1.
Akal yang berada dalam potensialitas atau akal potensial atau materii.
2. Akal
yang telah berubah dari potensialitas ke aktualitas atau akal habitual
atau habitual without practicin
3. Akal manifes
atau habitual with practicing
4. Akal yang selalu
aktual atau Akal Aktif atau agent.
5.
Ketika jiwa memahami bentuk-bentuk akali yang tidak
berhubungan dengan materi dan bayang-bayang imajinasi, ia akan menjadi sama
dengan bentuk-bentuk itu dan akal kemudian beralih dari potensialitas ke
aktualitas. Dalam proses peralihan ini, bentuk-bentuk akali berperan sebagai
sebab efisien karena kalau tidak, peralihan ini tidak akan terjadi. Dipandang
dari aktualitas bentukbentuk akali, bentuk-bentuk ini identik dengan akal aktif
karena dalam tindakan pengenalan, perbedaan antara akal dengan objeknya sama
sekali tidak ada.
Dilihat dari sudut pandang jiwa yang berusaha untuk
memahami, bentuk-bentuk ini dapat disebut dengan akal perolehan (akal mustafad), selama jiwa memperoleh bentuk-bentuk ini
dari akal aktif. Bila jiwa telah memahami bentuk-bentuk ini, maka ia dapat
dipandang mempunyai kemampuan untuk melepaskan bentuk-bentuk itu semuanya
dan dalam kasus ini pengenalan bersifat habitual atau dari potensialitas ke
aktualitas ketika jiwa terlibat benar-banar dalam merenungkan bentuk-bentuk
akali dan mempraktikkannya kepada yang lain maka pengenalannya bersifat
manifes.
Dengan kata lain, akal manifes mengacu pada tingkat kedua
aktualitas yang membedakan antara aktualitas pertama yang hanya memiliki
pengetahuan dan aktualitas kedua yang mempraktikkannya. Tidak mengherankan jiwa
penyebutan akal manifes ini beragam. M.M. Syarif, misalnya menyebutnya dengan
“akal yang kedua”, sedangkan George N. Atiyeh menyebutnya dengan “ akal budi
sekunder”, dan C.A. Qadir menyebutnya dengan “ akal habitual yang dipraktikkan.
Pembagian objek ke dalam materiil dan
imateriil ini sesuai dengan pembagian filsafat ke dalam fisika dan metafisika.
Entitas yang jatuh ke dalam separo jarak antara materiil dan materiil di satu
sisi ia imeteriil, tetapi di sisi lain ia dapat dengan mudah berhubungan dengan
materi yaitu jiwa.
Tiap-tiap ilmu berkaitan jenis pembuktian
khusus. Dalam metafisika dan matematika kita mencari demonstrasi (Burhan), sementara dalam ilmu-ilmu yang lebih rendah
seperti fisika, retorika dan sejarah kita mencari pengakuan, representasi,
konsensus atau persepsi indriawi. Kerancuan akan ditemui pada penerapan metode
yang salah terhadap persoalan pokok.
Bagi al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya
bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang
lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat harus sama sekali tidak
mengajukan tuntunan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau
merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat
sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan
manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki
keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat,
surga, neraka dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi
mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio,kebangkitan
jasmani, mukjizat keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia.
Tentang jiwa, menurut
Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi
ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah,
terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan
pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan
dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan
ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah
jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat
kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan
bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak
bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan
badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa
kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer.
Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak
menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi
berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah,
dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun
keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan
oleh Tuhan
Konsep Moral
Menurut Al-Kindi,
filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang
filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri
sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para
ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates.
Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi,
tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi
prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara
wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
4. Studi
Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah filsafat yang
berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam
di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah.
Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun
dan Al-Mu’tas}im, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat
waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan
dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani
dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih
mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan
para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di
dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani
memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis
hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan,
disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran
Islam.
Jika kita mencermati
pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda
dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan
Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya
alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam
untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya.
Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan
makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk.
Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya.
Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa
keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin
terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia
maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal
pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap
fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin
kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi
maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian
merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh
al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau
oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan
ada kotoran unta jika tidak ada untanya. Namun ketika ia melampaui batas
jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak
berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh
makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat
penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan
berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun
mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian
bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak
lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan
logika sebagai justifikasinya.
FILSAFAT AL-KINDI
1. Biografi
dan Karyanya
Al-Kindi merupakan salah
satu filosof keturunan Arab. ia bernama Abu Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya
sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek pertama dari suku Arabia Selatan.
Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali di wilayah kufah pada saat pemerintahan
al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan nenek-neneknya adalah para penguasa di
daerah Kindah dan sekitarnya yaitu daerah Arabia Selatan.
Al-kindi mendapatkan
kedudukan yang istimewa pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan al-Mu’tas}im.
Bahkan disebutkan ia menjadi guru dari anak al-Mu’tas}im yaitu Ahnad. Al-Kindi
mengalami proses kemajuan berfikir dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam
bahasa Arab. Mendalamnya pengetahuan al-Kindi nampak dalam karyanya yang
meliputi berbagai bidang antara lain: logika, filsafat, geometri, matematika,
aritmatika, musik, astronomi dan lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh Ibn
Nadim sebanyak 241 topik. Dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik,
geometri 23 topik, matematika 13 topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik,
astronomi dan perbintangan 45 topik, geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi
17 topik, psikologi 5 topik, politik 12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab
wujud keduniaan (ahdathiyah) 14 topik dan lain-lain sebanyak 33 topik.
Namun dari sekian banyak
karya al-Kindi tersebut telah banyak yang hilang dan musnah dan hanya sedikit
yang ada hingga sekarang. Di antara karya-karyanya yang terkenal di temukan
oleh seorang orientalis berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth Ritter di
perpustakaan Aya Sofia di Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah
tersebut membahas tentang soal-soal alam dan filsafat, antara lain masalah ke
esaan Tuhan, akal, jiwa dan filsafat pertama.
Di antara unsur-unsur
filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah sebagai berikut:
a. Aliran
pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju filsafat
b. Pikiran-pikiran
Aristoteles mengenai masalah fisika dan metafisika, meskipun al-kindi tidak
sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang qadi>m nya alam
c. Pikiran-pikiran
Plato mengenai masalah kejiwaan
d. Pikiran-pikiran
Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e. Wahyu
dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan Tuhan
dan sifat-sifatnya.
f. Aliran
Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat
Al-qur’an.
Selain bidang filsafat,
Al-Kindi juga memperhatikan ilmu falak. Ia menulis buku tentang masalah masalah
kedokteran dan obat-obatan. Sebagian kaum orientalis memilih al-Kindi sebagai
satu di antara sepuluh orang yang mempunyai predikat sebagai puncak pemikir
manusia.
2. Menyatukan Agama
dengan Filsafat
Di tengah pertentangan
antara kelompok agamawan yang anti filsafat dengan para filosof mengenai
masalah keagamaan, maka al-Kindi berupaya memberikan gambaran menyangkut
persinggungan antara filsafat dengan agama. Menurutnya bahwa filsafat adalah
sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran sebagaimana agama juga ilmu tentang
kebenaran. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya. Pandangannya
mengenai kesanggupan akal manusia di dalam menemukan rahasia-rahasia apa yang
dibawa oleh Rasulullah SAW adalah jelas merupakan pengaruh pemikiran
Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang mencakup masalah ketuhanan, ke esaan,
keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang menjelaskan bagaimana memperoleh hal-hal
yang bermanfaat dan menjauhkan dari hal-hal yang merugikan juga dibawa oleh
para Rasul Tuhan.
Menurut al-Kindi kita
harus mengambil kebenaran darimanapun kita memperolehnya sekalipun dari
bangsa-bangsa yang mungkin amat jauh dari negeri kita. Orang yang berupaya
mencari kebenaran tidaklah lebih utama dari kebenaran itu sendiri. Bahkan ia
menyebutkan bahwa orang yang mengingkari filsafat adalah orang yang mengingkari
kebenaran. Para penentang filsafat juga menggunakan rumusan-rumusan filsafat
ketika mereka memperkuat argumentasinya tentang tidak perlunya filsafat.
Gagasan Al-Kindi untuk
mempertemukan hubungan agama dengan filsafat juga nampak dari penjelasannya
ketika misalnya secara lahiriyah ada kontradiksi antara ayat di dalam Alqur’an
dengan hasil rumusan filsafat maka yang mesti dilakukan adalah takwil, karena
karakter kebahasaan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu arti yang
sebenarnya dan arti majazi (arti kiasan). Penarikan makna dari
arti kiasan ini tentu harus dilakukan dengan jalan takwil, dengan syarat harus
dilakukan oleh orang-orang yang ahli agama sekaligus sebagai seorang pemikir.
Kendatipun misalnya ada pertentangan antara risalah yang dibawa oleh nabi
dengan hasil filsafat, maka perbedaan tersebut hanya mengenai cara, sumber dan
ciri-cirinya, karena ilmu nabi-nabi diterima oleh mereka setelah jiwanya
dibersihkan oleh Tuhan dan dipersiapkan menerima pengetahuan dengan cara yang
luar biasa di luar hukum alam. Namun para filosof haruslah berupaya mencari
kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dengan cara mengikuti pendapat orang-orang
sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.
Konsep Filsafat
Metafisika Al-Kindi
Mengenai pembahasan tentang
masalah di wilayah metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi pemikirannya
yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang filsafat
pertama” dan “tentang keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Terkait
dengan ini Al-Kindi mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat Tuhan,
bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang hakikat Tuhan ia
menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang menyebabkan ia ada. Tuhan akan
selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang
lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan Tuhan ia membangun
argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam, kedua, Keaneka
ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.
Langkah pertama ketika
membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi baharunya alam ia mengemukakan
pendapatnya melalui satu argumentasi bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi sebab
bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam semesta ini bersifat baharu dan
mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat terbatas. Berdasarkan
argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan alam
semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan argumentasi
kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-kindi membuktikan keberadaan
Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang bersifat inderawi maupun alam
lain yang menyamainya, tidak mungkin ada ke anekaragaman tanpa ada keseragaman,
atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika alam inderawi
tergabung dalam keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama, maka hal
itu bukan disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang menjadi
sebab. Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena jika
demikian maka tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir
dan itu adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut haruslah
berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya.
Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai pembuktian
wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-Kindi mengungkapkan
pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur
kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan zat yang tidak nampak
tersebut hanya bias diketahui keberadaannya melalui bekas-bekas Nya dan
keteraturan yang ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini dikenal
dengan sebutan “illat tujuan”.
Kemudian pandangan
al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan pendapatnya bahwa ke esaan
Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan bukanlah materi,
bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga mempunyai kualitas. Ia tidak
memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain, semisal sebagai ayah atau
sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada dalam pikiran. Ia
bukan genus, bukan differentia (fasl), bukan proprium (Khas),
bukan accident (‘arad}), tidak bertubuh dan tidak bergerak.
Oleh sebab itu menurut al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal
lain kecuali esa semata.
Oleh sebab itu pula,
Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada permulaannya.
Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan dengan
sebab. Dengan demikian ia bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya Tuhan
adalah sebab pertama dimana wujudnya bukan karena adanya sebab yang lain.
Menurut Al-Kindi sifat azali Tuhan juga menuntut ia tidak bergerak karena dalam
gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang
sempurna. Karena zat yang azali itu tidak bergerak maka zaman atau waktu tidak
berlaku padaNya. karena zaman merupakan bagian dari bilangan gerak. Namun
menurut al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus yang disebut dengan “ibda” yaitu
menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, namun tidak
mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh
Konsep Etika
Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan
definisi mengenai filsafat atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani
perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang
dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna,
juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah
mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh
keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh
kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat diajukan ialah
bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu.
Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban
pertanyaan ini ialah : keahuilah keutamaan itu dan bertingkah
lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
1.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain
adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini
kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan
asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan
perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga .Kebijaksanaan
(hikmah) yaitu keutamaan daya pikir; bersifat teoritik yaitu mengetahu
segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu
menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
2.
Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang
tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai
sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
3.
Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu
yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan
diri yang tidak diperlukan untuk itu.
4.
Kedua keutamaan-keutamaan manusia tidak
terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam
keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga
macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn
padanannya adalah penganiayaan.
Konsep Jiwa
Untuk mengenal, mengetahui serta memahami teori pengetahuan
Al-Kindi, maka kita harus melihat bagaimana pandangannya mengenai jiwa dan ruh.
Menurut Al-Kindi, substansi ruh adalah sederhana (tidak tersusun) dan kekal. Ia
memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia sempurna dan
mulia karena subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan
sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Jiwa menurut al-Kindi, adalah prinsip
kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya kemudian
melepaskanya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang substansinya sama dengan
substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari
substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari dengan matahari. Sekalipun ia
bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah dan independen dari tubuh.
Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat
tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali dengan dunia intelek dan
bersatu dengannya.
Meskipun begitu, nasib mulia ini bisa saja diingkari oleh
mereka yang tertarik pada kesenangan-kesenangan jasmaniah. karena itu, tidak
semua jiwa akan bergabung kembali dengan dunia akal yang ada di seberang
langit. Bagi orang yang hidupnya tenggelam dalam kontemplasi dan tidak
mengumbar kesenangan-kesenangan hidup, ia adalah orang bajik yang mengharapkan
kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa inilah yang langsung bergabung dengan
dunia intelek begitu ia terlepas dari penjara tubuh. Tetapi bagi mereka yang
terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan jasmani maka jiwanya akan mengalami
penyucian terlebih dahulu secara bertahap dengan singgah lebih dulu di bulan,
Merkuri, dan planet-planet lain sehingga jiwa tersebut bersih dan pantas dibawa
ke dunia akali.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya
bernafsu (appetitive), daya pemarah(irascible), dan
daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan
ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagi sais kereta
dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yangmenarik
kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya
jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya
dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan
al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi
sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Sekalipun ketiga daya tersebut merupakan
daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun al-Kindi sering kali hanya merujuk
daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan dengan kemampuan jiwa, sedang daya
appetitive dan irascible ada semata-mata untuk pertumbuhan dan pelestarian
(jiwa) hewani yang berkaitan dengan badan (wadag), sementara
yang pertama demi membantu penyempurnaannya. Sehingga, tidak mengherankan
ketika ia menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan manusia adalah
sebagai pengatur keinginan hawa nafsu, ia gunakan untuk membedakan jiwa dari
badan. Bagi al-Kindi, badan memiliki hawa nafsu dan sifat pemarah sedang
jiwa menentangnya. Jelas, antara yang menentang dan yang ditentang tidak sama.
Dengan perantara ruhlah manusia mempunyai pengetahuan yang sebenarnya. Di sini
jelas bahwa yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah merujuk pada daya berpikir
atau rational faculty.
Ketidaksistematisan pembahasan al-Kindi tentang jiwa sering kali
menjebak bagi orang yang mempelajarinya karena disamping ketiga daya jiwa di
atas, al-Kindi juga masih menyebut kemampuan-kemampuan lain dari jiwa ketika ia
bicara tentang pengetahuan manusia dilihat dari cara mendapatkannya. menurut
al- Kindi, di alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca
indera. Benda-benda ini merupakan partikular. Sementara, yang penting bagi
filsafat ialah hakikat yang terdapat dalam partikular tersebut, yaitu
universal. Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, partikular/ juz’iyyah/ aniyah dan universal/ kulliyah/ mahiyah. Karena itu, al-Kindi membagi
pengetahuan menjadi dua: pengetahuan panca indera dan pengetahuan akal.
Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir-lahir saja.
Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya diperoleh
kalau manusia mampu melepaskan sifat kebinatangan dalam dirinya. Dengan kata
lain, ia harus meninggalkan dunia dan berfikir serta konsentrasi tentang wujud.
Ketika jiwa sudah terbebas dari belenggu materi dan senantiasa berpikir dan
konsentrasi tentang hakikat wujud, maka ia menjadi suci dalam keadaan ini, ia
akan mampu menangkap ilmu-ilmu yang memancar dari Tuhan karena ia sendiri
adalah pancaran dari substansi Tuhan. Ia ibarat cermin yang mampu menangkap
gambar-gambar yang ada di depannya.
Pengetahuan indrawi berkaitan
dengan objek-objek lahir. Sebagaimana objek lahir, hasil dari tangkapan indrawi
selalu berubah-ubah. Tindakan pengindraan ini menghasilkan formasi
bayang-bayang tertentu dalam kecakapan membayangkan (representative faculty),dan bayang-bayang ini kemudian
dimasukkan ke dalam kecakapan menyimpan (retentive faculty) sebagai
tindak pemeliharaan, dan dengan begitu diperoleh tingkat keabadiaan tertentu.
Sementara, objek pengetahuan rasional bersifat universal dan imateriil yang
kebenarannya diambil dengan cara menyimpulkan secara logis dan niscaya dari prinsip
pengenalan pertama yang diketahui secara intuitif, seperti “keseluruhan adalah
lebih besar dari sebagian”. Di samping itu, objek pemikiran rasional juga
berkaitan dengan bentuk-bentuk yang dicapai abstaksi objek-objek indrawi.
Akal memiliki analogi tertentu dengan penginderaan
dalam dua hal. Satu, melepaskan bentuk-bentuk
objek akali. Dua, menjadi identik dengan objek dalam tindkan berpikir. Al Kindi
membedakan empat pengertian akal:
1.
Akal yang berada dalam potensialitas atau akal potensial atau materii.
2. Akal
yang telah berubah dari potensialitas ke aktualitas atau akal habitual
atau habitual without practicin
3. Akal manifes
atau habitual with practicing
4. Akal yang selalu
aktual atau Akal Aktif atau agent.
5.
Ketika jiwa memahami bentuk-bentuk akali yang tidak
berhubungan dengan materi dan bayang-bayang imajinasi, ia akan menjadi sama
dengan bentuk-bentuk itu dan akal kemudian beralih dari potensialitas ke
aktualitas. Dalam proses peralihan ini, bentuk-bentuk akali berperan sebagai
sebab efisien karena kalau tidak, peralihan ini tidak akan terjadi. Dipandang
dari aktualitas bentukbentuk akali, bentuk-bentuk ini identik dengan akal aktif
karena dalam tindakan pengenalan, perbedaan antara akal dengan objeknya sama
sekali tidak ada.
Dilihat dari sudut pandang jiwa yang berusaha untuk
memahami, bentuk-bentuk ini dapat disebut dengan akal perolehan (akal mustafad), selama jiwa memperoleh bentuk-bentuk ini
dari akal aktif. Bila jiwa telah memahami bentuk-bentuk ini, maka ia dapat
dipandang mempunyai kemampuan untuk melepaskan bentuk-bentuk itu semuanya
dan dalam kasus ini pengenalan bersifat habitual atau dari potensialitas ke
aktualitas ketika jiwa terlibat benar-banar dalam merenungkan bentuk-bentuk
akali dan mempraktikkannya kepada yang lain maka pengenalannya bersifat
manifes.
Dengan kata lain, akal manifes mengacu pada tingkat kedua
aktualitas yang membedakan antara aktualitas pertama yang hanya memiliki
pengetahuan dan aktualitas kedua yang mempraktikkannya. Tidak mengherankan jiwa
penyebutan akal manifes ini beragam. M.M. Syarif, misalnya menyebutnya dengan
“akal yang kedua”, sedangkan George N. Atiyeh menyebutnya dengan “ akal budi
sekunder”, dan C.A. Qadir menyebutnya dengan “ akal habitual yang dipraktikkan.
Pembagian objek ke dalam materiil dan
imateriil ini sesuai dengan pembagian filsafat ke dalam fisika dan metafisika.
Entitas yang jatuh ke dalam separo jarak antara materiil dan materiil di satu
sisi ia imeteriil, tetapi di sisi lain ia dapat dengan mudah berhubungan dengan
materi yaitu jiwa.
Tiap-tiap ilmu berkaitan jenis pembuktian
khusus. Dalam metafisika dan matematika kita mencari demonstrasi (Burhan), sementara dalam ilmu-ilmu yang lebih rendah
seperti fisika, retorika dan sejarah kita mencari pengakuan, representasi,
konsensus atau persepsi indriawi. Kerancuan akan ditemui pada penerapan metode
yang salah terhadap persoalan pokok.
Bagi al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya
bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang
lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat harus sama sekali tidak
mengajukan tuntunan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau
merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat
sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan
manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki
keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat,
surga, neraka dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi
mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio,kebangkitan
jasmani, mukjizat keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia.
Tentang jiwa, menurut
Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi
ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah,
terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan
pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan
dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan
ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah
jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat
kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan
bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak
bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan
badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa
kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer.
Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak
menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi
berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah,
dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun
keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan
oleh Tuhan
Konsep Moral
Menurut Al-Kindi,
filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang
filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri
sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para
ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates.
Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi,
tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi
prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara
wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
4. Studi
Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah filsafat yang
berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam
di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah.
Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun
dan Al-Mu’tas}im, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat
waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan
dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani
dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih
mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan
para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di
dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani
memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis
hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan,
disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran
Islam.
Jika kita mencermati
pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda
dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan
Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya
alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam
untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya.
Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan
makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk.
Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya.
Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa
keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin
terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia
maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal
pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap
fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin
kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi
maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian
merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh
al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau
oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan
ada kotoran unta jika tidak ada untanya. Namun ketika ia melampaui batas
jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak
berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh
makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat
penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan
berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun
mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian
bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak
lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan
logika sebagai justifikasinya.
0 komentar:
Posting Komentar