Jumat, 27 Februari 2015

Filsafat Al-Kindi

FILSAFAT AL-KINDI



1.    Biografi dan Karyanya
Al-Kindi merupakan salah satu filosof keturunan Arab. ia bernama Abu Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek pertama dari suku Arabia Selatan. Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali di wilayah kufah pada saat pemerintahan al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan nenek-neneknya adalah para penguasa di daerah Kindah dan sekitarnya yaitu daerah Arabia Selatan.
Al-kindi mendapatkan kedudukan yang istimewa pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan al-Mu’tas}im. Bahkan disebutkan ia menjadi guru dari anak al-Mu’tas}im yaitu Ahnad. Al-Kindi mengalami proses kemajuan berfikir dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Mendalamnya pengetahuan al-Kindi nampak dalam karyanya yang meliputi berbagai bidang antara lain: logika, filsafat, geometri, matematika, aritmatika, musik, astronomi dan lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh Ibn Nadim sebanyak 241 topik. Dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik, geometri 23 topik, matematika 13 topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik, geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi 17 topik, psikologi 5 topik, politik 12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab wujud keduniaan (ahdathiyah) 14 topik dan lain-lain sebanyak 33 topik.
Namun dari sekian banyak karya al-Kindi tersebut telah banyak yang hilang dan musnah dan hanya sedikit yang ada hingga sekarang. Di antara karya-karyanya yang terkenal di temukan oleh seorang orientalis berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth Ritter  di perpustakaan Aya Sofia di Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah tersebut membahas tentang soal-soal alam dan filsafat, antara lain masalah ke esaan Tuhan, akal, jiwa dan filsafat pertama.
Di antara unsur-unsur filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah sebagai berikut:
a.    Aliran pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju filsafat
b.    Pikiran-pikiran Aristoteles mengenai masalah fisika dan metafisika, meskipun al-kindi tidak sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang qadi>m nya alam
c.    Pikiran-pikiran Plato mengenai masalah kejiwaan
d.    Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e.    Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan Tuhan dan sifat-sifatnya.
f.     Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-qur’an.
Selain bidang filsafat, Al-Kindi juga memperhatikan ilmu falak. Ia menulis buku tentang masalah masalah kedokteran dan obat-obatan. Sebagian kaum orientalis memilih al-Kindi sebagai satu di antara sepuluh orang yang mempunyai predikat sebagai puncak pemikir manusia.
2.    Menyatukan Agama dengan Filsafat
Di tengah pertentangan antara kelompok agamawan yang anti filsafat dengan para filosof mengenai masalah keagamaan, maka al-Kindi berupaya memberikan gambaran menyangkut persinggungan antara filsafat dengan agama. Menurutnya bahwa filsafat adalah sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran sebagaimana agama juga ilmu tentang kebenaran. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya. Pandangannya mengenai kesanggupan akal manusia di dalam menemukan rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah jelas merupakan pengaruh pemikiran Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang mencakup masalah ketuhanan, ke esaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang menjelaskan bagaimana memperoleh hal-hal yang bermanfaat dan menjauhkan dari hal-hal yang merugikan juga dibawa oleh para Rasul Tuhan.
Menurut al-Kindi kita harus mengambil kebenaran darimanapun kita memperolehnya sekalipun dari bangsa-bangsa yang mungkin amat jauh dari negeri kita. Orang yang berupaya mencari kebenaran tidaklah lebih utama dari kebenaran itu sendiri. Bahkan ia menyebutkan bahwa orang yang mengingkari filsafat adalah orang yang mengingkari kebenaran. Para penentang filsafat juga menggunakan rumusan-rumusan filsafat ketika mereka memperkuat argumentasinya tentang tidak perlunya filsafat.
Gagasan Al-Kindi untuk mempertemukan hubungan agama dengan filsafat juga nampak dari penjelasannya ketika misalnya secara lahiriyah ada kontradiksi antara ayat di dalam Alqur’an dengan hasil rumusan filsafat maka yang mesti dilakukan adalah takwil, karena karakter kebahasaan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu arti yang sebenarnya dan arti majazi (arti kiasan). Penarikan makna dari arti kiasan ini tentu harus dilakukan dengan jalan takwil, dengan syarat harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli agama sekaligus sebagai seorang pemikir. Kendatipun misalnya ada pertentangan antara risalah yang dibawa oleh nabi dengan hasil filsafat, maka perbedaan tersebut hanya mengenai cara, sumber dan ciri-cirinya, karena ilmu nabi-nabi diterima oleh mereka setelah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan dipersiapkan menerima pengetahuan dengan cara yang luar biasa di luar hukum alam. Namun para filosof haruslah berupaya mencari kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dengan cara mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.

 Konsep Filsafat Metafisika Al-Kindi
Mengenai pembahasan tentang masalah di wilayah metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi pemikirannya yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang filsafat pertama” dan “tentang keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Terkait dengan ini Al-Kindi mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat Tuhan, bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang hakikat Tuhan ia menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang menyebabkan ia ada. Tuhan akan selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan Tuhan ia membangun argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam, kedua, Keaneka ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.
Langkah pertama ketika membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi baharunya alam ia mengemukakan pendapatnya melalui satu argumentasi bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam semesta ini bersifat baharu dan mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat terbatas. Berdasarkan argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan argumentasi kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-kindi membuktikan keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang bersifat inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada ke anekaragaman tanpa ada keseragaman, atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika alam inderawi tergabung dalam keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama, maka hal itu bukan disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang menjadi sebab. Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena jika demikian maka tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir dan itu adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya. Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai pembuktian wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-Kindi mengungkapkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan zat yang tidak nampak tersebut hanya bias diketahui keberadaannya melalui bekas-bekas Nya dan keteraturan yang ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini dikenal dengan sebutan “illat tujuan”.
Kemudian pandangan al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan pendapatnya bahwa ke esaan Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan bukanlah materi, bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga mempunyai kualitas. Ia tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain, semisal sebagai ayah atau sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada dalam pikiran. Ia bukan genus, bukan differentia (fasl), bukan proprium (Khas), bukan accident (‘arad}), tidak bertubuh dan tidak bergerak. Oleh sebab itu menurut al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal lain kecuali esa semata.
Oleh sebab itu pula, Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada permulaannya. Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan dengan sebab. Dengan demikian ia bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya Tuhan adalah sebab pertama dimana wujudnya bukan karena adanya sebab yang lain. Menurut Al-Kindi sifat azali Tuhan juga menuntut ia tidak bergerak karena dalam gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang azali itu tidak bergerak maka zaman atau waktu tidak berlaku padaNya. karena zaman merupakan bagian dari bilangan gerak. Namun menurut al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus yang disebut dengan “ibda”  yaitu menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, namun tidak mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh
Konsep Etika
             Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
                Pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah : keahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
1.          Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga .Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya pikir; bersifat teoritik yaitu mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
2.           Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
3.          Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.
4.      
         Kedua  keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga  hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya adalah penganiayaan.
      Konsep Jiwa
          Untuk mengenal, mengetahui serta memahami teori pengetahuan Al-Kindi, maka kita harus melihat bagaimana pandangannya mengenai jiwa dan ruh. Menurut Al-Kindi, substansi ruh adalah sederhana (tidak tersusun) dan kekal. Ia memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia sempurna dan mulia karena subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan  matahari.
                 Jiwa menurut al-Kindi, adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya kemudian melepaskanya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang substansinya sama dengan substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari dengan matahari. Sekalipun ia bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah dan independen dari tubuh. Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali dengan dunia intelek dan bersatu dengannya.
           Meskipun begitu, nasib mulia ini bisa saja diingkari oleh mereka yang tertarik pada kesenangan-kesenangan jasmaniah. karena itu, tidak semua jiwa akan bergabung kembali dengan dunia akal yang ada di seberang langit. Bagi orang yang hidupnya tenggelam dalam kontemplasi dan tidak mengumbar kesenangan-kesenangan hidup, ia adalah orang bajik yang mengharapkan kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa inilah yang langsung bergabung dengan dunia intelek begitu ia terlepas dari penjara tubuh. Tetapi bagi mereka yang terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan jasmani maka jiwanya akan mengalami penyucian terlebih dahulu secara bertahap dengan singgah lebih dulu di bulan, Merkuri, dan planet-planet lain sehingga jiwa tersebut bersih dan pantas dibawa ke dunia akali.
            Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah(irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagi sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yangmenarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
                Sekalipun ketiga daya tersebut merupakan daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun al-Kindi sering kali hanya merujuk daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan dengan kemampuan jiwa, sedang daya appetitive dan irascible ada semata-mata untuk pertumbuhan dan pelestarian (jiwa) hewani yang berkaitan dengan badan (wadag), sementara yang pertama demi membantu penyempurnaannya. Sehingga, tidak mengherankan ketika ia menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan manusia adalah sebagai pengatur keinginan hawa nafsu, ia gunakan untuk membedakan jiwa dari badan. Bagi al-Kindi, badan memiliki hawa nafsu dan sifat pemarah sedang  jiwa menentangnya. Jelas, antara yang menentang dan yang ditentang tidak sama. Dengan perantara ruhlah manusia mempunyai pengetahuan yang sebenarnya. Di sini jelas bahwa yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah merujuk pada daya berpikir atau rational faculty.
                Ketidaksistematisan pembahasan al-Kindi tentang jiwa sering kali menjebak bagi orang yang mempelajarinya karena disamping ketiga daya jiwa di atas, al-Kindi juga masih menyebut kemampuan-kemampuan lain dari jiwa ketika ia bicara tentang pengetahuan manusia dilihat dari cara mendapatkannya. menurut al- Kindi, di alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini merupakan partikular. Sementara, yang penting bagi filsafat ialah hakikat yang terdapat dalam partikular tersebut, yaitu universal. Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, partikular/ juz’iyyah/ aniyah dan universal/ kulliyah/ mahiyah. Karena itu, al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua: pengetahuan panca indera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir-lahir saja. 
         Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya diperoleh kalau manusia mampu melepaskan sifat kebinatangan dalam dirinya. Dengan kata lain, ia harus meninggalkan dunia dan berfikir serta konsentrasi tentang wujud. Ketika jiwa sudah terbebas dari belenggu materi dan senantiasa berpikir dan konsentrasi tentang hakikat wujud, maka ia menjadi suci dalam keadaan ini, ia akan mampu menangkap ilmu-ilmu yang memancar dari Tuhan karena ia sendiri adalah pancaran dari substansi Tuhan. Ia ibarat cermin yang mampu menangkap gambar-gambar yang ada di depannya.
                 Pengetahuan indrawi berkaitan  dengan objek-objek lahir. Sebagaimana objek lahir, hasil dari tangkapan indrawi selalu berubah-ubah. Tindakan pengindraan ini menghasilkan formasi bayang-bayang tertentu dalam kecakapan membayangkan (representative faculty),dan bayang-bayang ini kemudian dimasukkan ke dalam kecakapan menyimpan (retentive faculty) sebagai tindak pemeliharaan, dan dengan begitu diperoleh tingkat keabadiaan tertentu. Sementara, objek pengetahuan rasional bersifat universal dan imateriil yang kebenarannya diambil dengan cara menyimpulkan secara logis dan niscaya dari prinsip pengenalan pertama yang diketahui secara intuitif, seperti “keseluruhan adalah lebih besar dari sebagian”. Di samping itu, objek pemikiran rasional juga berkaitan dengan bentuk-bentuk yang dicapai abstaksi objek-objek indrawi.
             Akal memiliki analogi tertentu dengan penginderaan dalam dua hal. Satu, melepaskan bentuk-bentuk objek akali. Dua, menjadi identik dengan objek dalam tindkan berpikir. Al Kindi membedakan empat pengertian akal:
1.           Akal yang berada dalam potensialitas atau akal potensial atau materii.
2.         Akal yang telah berubah dari potensialitas ke aktualitas atau akal habitual atau habitual without practicin
3.           Akal manifes atau habitual with practicing
4.           Akal yang selalu aktual atau Akal Aktif atau agent.
5.      
            Ketika jiwa memahami bentuk-bentuk akali yang tidak berhubungan dengan materi dan bayang-bayang imajinasi, ia akan menjadi sama dengan bentuk-bentuk itu dan akal kemudian beralih dari potensialitas ke aktualitas. Dalam proses peralihan ini, bentuk-bentuk akali berperan sebagai sebab efisien karena kalau tidak, peralihan ini tidak akan terjadi. Dipandang dari aktualitas bentukbentuk akali, bentuk-bentuk ini identik dengan akal aktif karena dalam tindakan pengenalan, perbedaan antara akal dengan objeknya sama sekali tidak ada. 
             Dilihat dari sudut pandang jiwa yang berusaha untuk memahami, bentuk-bentuk ini dapat disebut dengan akal perolehan (akal mustafad), selama jiwa memperoleh bentuk-bentuk ini dari akal aktif. Bila jiwa telah memahami bentuk-bentuk ini, maka ia dapat dipandang mempunyai  kemampuan untuk melepaskan bentuk-bentuk itu semuanya dan dalam kasus ini pengenalan bersifat habitual atau dari potensialitas ke aktualitas ketika jiwa terlibat benar-banar dalam merenungkan bentuk-bentuk akali dan mempraktikkannya kepada yang lain maka pengenalannya bersifat manifes. 
           Dengan kata lain, akal manifes mengacu pada tingkat kedua aktualitas yang membedakan antara aktualitas pertama yang hanya memiliki pengetahuan dan aktualitas kedua yang mempraktikkannya. Tidak mengherankan jiwa penyebutan akal manifes ini beragam. M.M. Syarif, misalnya menyebutnya dengan “akal yang kedua”, sedangkan George N. Atiyeh menyebutnya dengan “ akal budi sekunder”, dan C.A. Qadir menyebutnya dengan “ akal habitual yang dipraktikkan.
                Pembagian objek ke dalam materiil dan imateriil ini sesuai dengan pembagian filsafat ke dalam fisika dan metafisika. Entitas yang jatuh ke dalam separo jarak antara materiil dan materiil di satu sisi ia imeteriil, tetapi di sisi lain ia dapat dengan mudah berhubungan dengan materi yaitu jiwa.
                Tiap-tiap ilmu berkaitan jenis pembuktian khusus. Dalam metafisika dan matematika kita mencari demonstrasi (Burhan), sementara dalam ilmu-ilmu yang lebih rendah seperti fisika, retorika dan sejarah kita mencari pengakuan, representasi, konsensus atau persepsi indriawi. Kerancuan akan ditemui pada penerapan metode yang salah terhadap persoalan pokok.
                Bagi al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat harus sama sekali tidak mengajukan tuntunan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio,kebangkitan jasmani, mukjizat keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia.
                      Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
             Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan
Konsep Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates.
Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
4.    Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tas}im, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya.  Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai justifikasinya.
  
FILSAFAT AL-KINDI

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR0S-CgdsvK9ke3c2ykgcrEzK1BLWU5QnWjnON3KCW5W70hV8ynsPHlNdzQd2DJOoMHCcfUUNXVAU0UVCrJW1JebOA90VAy6aIIDWEwK-nhkcvjtSt4JHnIlNlQ4aqZgewAFzsNIA1flY/s1600/ff.jpg

1.    Biografi dan Karyanya
Al-Kindi merupakan salah satu filosof keturunan Arab. ia bernama Abu Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek pertama dari suku Arabia Selatan. Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali di wilayah kufah pada saat pemerintahan al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan nenek-neneknya adalah para penguasa di daerah Kindah dan sekitarnya yaitu daerah Arabia Selatan.
Al-kindi mendapatkan kedudukan yang istimewa pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan al-Mu’tas}im. Bahkan disebutkan ia menjadi guru dari anak al-Mu’tas}im yaitu Ahnad. Al-Kindi mengalami proses kemajuan berfikir dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Mendalamnya pengetahuan al-Kindi nampak dalam karyanya yang meliputi berbagai bidang antara lain: logika, filsafat, geometri, matematika, aritmatika, musik, astronomi dan lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh Ibn Nadim sebanyak 241 topik. Dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik, geometri 23 topik, matematika 13 topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik, geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi 17 topik, psikologi 5 topik, politik 12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab wujud keduniaan (ahdathiyah) 14 topik dan lain-lain sebanyak 33 topik.
Namun dari sekian banyak karya al-Kindi tersebut telah banyak yang hilang dan musnah dan hanya sedikit yang ada hingga sekarang. Di antara karya-karyanya yang terkenal di temukan oleh seorang orientalis berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth Ritter  di perpustakaan Aya Sofia di Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah tersebut membahas tentang soal-soal alam dan filsafat, antara lain masalah ke esaan Tuhan, akal, jiwa dan filsafat pertama.
Di antara unsur-unsur filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah sebagai berikut:
a.    Aliran pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju filsafat
b.    Pikiran-pikiran Aristoteles mengenai masalah fisika dan metafisika, meskipun al-kindi tidak sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang qadi>m nya alam
c.    Pikiran-pikiran Plato mengenai masalah kejiwaan
d.    Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e.    Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan Tuhan dan sifat-sifatnya.
f.     Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-qur’an.
Selain bidang filsafat, Al-Kindi juga memperhatikan ilmu falak. Ia menulis buku tentang masalah masalah kedokteran dan obat-obatan. Sebagian kaum orientalis memilih al-Kindi sebagai satu di antara sepuluh orang yang mempunyai predikat sebagai puncak pemikir manusia.
2.    Menyatukan Agama dengan Filsafat
Di tengah pertentangan antara kelompok agamawan yang anti filsafat dengan para filosof mengenai masalah keagamaan, maka al-Kindi berupaya memberikan gambaran menyangkut persinggungan antara filsafat dengan agama. Menurutnya bahwa filsafat adalah sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran sebagaimana agama juga ilmu tentang kebenaran. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya. Pandangannya mengenai kesanggupan akal manusia di dalam menemukan rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah jelas merupakan pengaruh pemikiran Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang mencakup masalah ketuhanan, ke esaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang menjelaskan bagaimana memperoleh hal-hal yang bermanfaat dan menjauhkan dari hal-hal yang merugikan juga dibawa oleh para Rasul Tuhan.
Menurut al-Kindi kita harus mengambil kebenaran darimanapun kita memperolehnya sekalipun dari bangsa-bangsa yang mungkin amat jauh dari negeri kita. Orang yang berupaya mencari kebenaran tidaklah lebih utama dari kebenaran itu sendiri. Bahkan ia menyebutkan bahwa orang yang mengingkari filsafat adalah orang yang mengingkari kebenaran. Para penentang filsafat juga menggunakan rumusan-rumusan filsafat ketika mereka memperkuat argumentasinya tentang tidak perlunya filsafat.
Gagasan Al-Kindi untuk mempertemukan hubungan agama dengan filsafat juga nampak dari penjelasannya ketika misalnya secara lahiriyah ada kontradiksi antara ayat di dalam Alqur’an dengan hasil rumusan filsafat maka yang mesti dilakukan adalah takwil, karena karakter kebahasaan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu arti yang sebenarnya dan arti majazi (arti kiasan). Penarikan makna dari arti kiasan ini tentu harus dilakukan dengan jalan takwil, dengan syarat harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli agama sekaligus sebagai seorang pemikir. Kendatipun misalnya ada pertentangan antara risalah yang dibawa oleh nabi dengan hasil filsafat, maka perbedaan tersebut hanya mengenai cara, sumber dan ciri-cirinya, karena ilmu nabi-nabi diterima oleh mereka setelah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan dipersiapkan menerima pengetahuan dengan cara yang luar biasa di luar hukum alam. Namun para filosof haruslah berupaya mencari kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dengan cara mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.

 Konsep Filsafat Metafisika Al-Kindi
Mengenai pembahasan tentang masalah di wilayah metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi pemikirannya yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang filsafat pertama” dan “tentang keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Terkait dengan ini Al-Kindi mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat Tuhan, bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang hakikat Tuhan ia menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang menyebabkan ia ada. Tuhan akan selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan Tuhan ia membangun argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam, kedua, Keaneka ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.
Langkah pertama ketika membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi baharunya alam ia mengemukakan pendapatnya melalui satu argumentasi bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam semesta ini bersifat baharu dan mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat terbatas. Berdasarkan argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan argumentasi kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-kindi membuktikan keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang bersifat inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada ke anekaragaman tanpa ada keseragaman, atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika alam inderawi tergabung dalam keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama, maka hal itu bukan disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang menjadi sebab. Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena jika demikian maka tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir dan itu adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya. Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai pembuktian wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-Kindi mengungkapkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan zat yang tidak nampak tersebut hanya bias diketahui keberadaannya melalui bekas-bekas Nya dan keteraturan yang ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini dikenal dengan sebutan “illat tujuan”.
Kemudian pandangan al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan pendapatnya bahwa ke esaan Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan bukanlah materi, bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga mempunyai kualitas. Ia tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain, semisal sebagai ayah atau sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada dalam pikiran. Ia bukan genus, bukan differentia (fasl), bukan proprium (Khas), bukan accident (‘arad}), tidak bertubuh dan tidak bergerak. Oleh sebab itu menurut al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal lain kecuali esa semata.
Oleh sebab itu pula, Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada permulaannya. Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan dengan sebab. Dengan demikian ia bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya Tuhan adalah sebab pertama dimana wujudnya bukan karena adanya sebab yang lain. Menurut Al-Kindi sifat azali Tuhan juga menuntut ia tidak bergerak karena dalam gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang azali itu tidak bergerak maka zaman atau waktu tidak berlaku padaNya. karena zaman merupakan bagian dari bilangan gerak. Namun menurut al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus yang disebut dengan “ibda”  yaitu menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, namun tidak mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh
Konsep Etika
             Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
                Pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah : keahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
1.          Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga .Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya pikir; bersifat teoritik yaitu mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
2.           Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
3.          Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.
4.      
         Kedua  keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga  hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya adalah penganiayaan.
      Konsep Jiwa
          Untuk mengenal, mengetahui serta memahami teori pengetahuan Al-Kindi, maka kita harus melihat bagaimana pandangannya mengenai jiwa dan ruh. Menurut Al-Kindi, substansi ruh adalah sederhana (tidak tersusun) dan kekal. Ia memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia sempurna dan mulia karena subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan  matahari.
                 Jiwa menurut al-Kindi, adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya kemudian melepaskanya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang substansinya sama dengan substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari dengan matahari. Sekalipun ia bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah dan independen dari tubuh. Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali dengan dunia intelek dan bersatu dengannya.
           Meskipun begitu, nasib mulia ini bisa saja diingkari oleh mereka yang tertarik pada kesenangan-kesenangan jasmaniah. karena itu, tidak semua jiwa akan bergabung kembali dengan dunia akal yang ada di seberang langit. Bagi orang yang hidupnya tenggelam dalam kontemplasi dan tidak mengumbar kesenangan-kesenangan hidup, ia adalah orang bajik yang mengharapkan kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa inilah yang langsung bergabung dengan dunia intelek begitu ia terlepas dari penjara tubuh. Tetapi bagi mereka yang terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan jasmani maka jiwanya akan mengalami penyucian terlebih dahulu secara bertahap dengan singgah lebih dulu di bulan, Merkuri, dan planet-planet lain sehingga jiwa tersebut bersih dan pantas dibawa ke dunia akali.
            Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah(irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagi sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yangmenarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
                Sekalipun ketiga daya tersebut merupakan daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun al-Kindi sering kali hanya merujuk daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan dengan kemampuan jiwa, sedang daya appetitive dan irascible ada semata-mata untuk pertumbuhan dan pelestarian (jiwa) hewani yang berkaitan dengan badan (wadag), sementara yang pertama demi membantu penyempurnaannya. Sehingga, tidak mengherankan ketika ia menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan manusia adalah sebagai pengatur keinginan hawa nafsu, ia gunakan untuk membedakan jiwa dari badan. Bagi al-Kindi, badan memiliki hawa nafsu dan sifat pemarah sedang  jiwa menentangnya. Jelas, antara yang menentang dan yang ditentang tidak sama. Dengan perantara ruhlah manusia mempunyai pengetahuan yang sebenarnya. Di sini jelas bahwa yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah merujuk pada daya berpikir atau rational faculty.
                Ketidaksistematisan pembahasan al-Kindi tentang jiwa sering kali menjebak bagi orang yang mempelajarinya karena disamping ketiga daya jiwa di atas, al-Kindi juga masih menyebut kemampuan-kemampuan lain dari jiwa ketika ia bicara tentang pengetahuan manusia dilihat dari cara mendapatkannya. menurut al- Kindi, di alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini merupakan partikular. Sementara, yang penting bagi filsafat ialah hakikat yang terdapat dalam partikular tersebut, yaitu universal. Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, partikular/ juz’iyyah/ aniyah dan universal/ kulliyah/ mahiyah. Karena itu, al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua: pengetahuan panca indera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir-lahir saja. 
         Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya diperoleh kalau manusia mampu melepaskan sifat kebinatangan dalam dirinya. Dengan kata lain, ia harus meninggalkan dunia dan berfikir serta konsentrasi tentang wujud. Ketika jiwa sudah terbebas dari belenggu materi dan senantiasa berpikir dan konsentrasi tentang hakikat wujud, maka ia menjadi suci dalam keadaan ini, ia akan mampu menangkap ilmu-ilmu yang memancar dari Tuhan karena ia sendiri adalah pancaran dari substansi Tuhan. Ia ibarat cermin yang mampu menangkap gambar-gambar yang ada di depannya.
                 Pengetahuan indrawi berkaitan  dengan objek-objek lahir. Sebagaimana objek lahir, hasil dari tangkapan indrawi selalu berubah-ubah. Tindakan pengindraan ini menghasilkan formasi bayang-bayang tertentu dalam kecakapan membayangkan (representative faculty),dan bayang-bayang ini kemudian dimasukkan ke dalam kecakapan menyimpan (retentive faculty) sebagai tindak pemeliharaan, dan dengan begitu diperoleh tingkat keabadiaan tertentu. Sementara, objek pengetahuan rasional bersifat universal dan imateriil yang kebenarannya diambil dengan cara menyimpulkan secara logis dan niscaya dari prinsip pengenalan pertama yang diketahui secara intuitif, seperti “keseluruhan adalah lebih besar dari sebagian”. Di samping itu, objek pemikiran rasional juga berkaitan dengan bentuk-bentuk yang dicapai abstaksi objek-objek indrawi.
             Akal memiliki analogi tertentu dengan penginderaan dalam dua hal. Satu, melepaskan bentuk-bentuk objek akali. Dua, menjadi identik dengan objek dalam tindkan berpikir. Al Kindi membedakan empat pengertian akal:
1.           Akal yang berada dalam potensialitas atau akal potensial atau materii.
2.         Akal yang telah berubah dari potensialitas ke aktualitas atau akal habitual atau habitual without practicin
3.           Akal manifes atau habitual with practicing
4.           Akal yang selalu aktual atau Akal Aktif atau agent.
5.      
            Ketika jiwa memahami bentuk-bentuk akali yang tidak berhubungan dengan materi dan bayang-bayang imajinasi, ia akan menjadi sama dengan bentuk-bentuk itu dan akal kemudian beralih dari potensialitas ke aktualitas. Dalam proses peralihan ini, bentuk-bentuk akali berperan sebagai sebab efisien karena kalau tidak, peralihan ini tidak akan terjadi. Dipandang dari aktualitas bentukbentuk akali, bentuk-bentuk ini identik dengan akal aktif karena dalam tindakan pengenalan, perbedaan antara akal dengan objeknya sama sekali tidak ada. 
             Dilihat dari sudut pandang jiwa yang berusaha untuk memahami, bentuk-bentuk ini dapat disebut dengan akal perolehan (akal mustafad), selama jiwa memperoleh bentuk-bentuk ini dari akal aktif. Bila jiwa telah memahami bentuk-bentuk ini, maka ia dapat dipandang mempunyai  kemampuan untuk melepaskan bentuk-bentuk itu semuanya dan dalam kasus ini pengenalan bersifat habitual atau dari potensialitas ke aktualitas ketika jiwa terlibat benar-banar dalam merenungkan bentuk-bentuk akali dan mempraktikkannya kepada yang lain maka pengenalannya bersifat manifes. 
           Dengan kata lain, akal manifes mengacu pada tingkat kedua aktualitas yang membedakan antara aktualitas pertama yang hanya memiliki pengetahuan dan aktualitas kedua yang mempraktikkannya. Tidak mengherankan jiwa penyebutan akal manifes ini beragam. M.M. Syarif, misalnya menyebutnya dengan “akal yang kedua”, sedangkan George N. Atiyeh menyebutnya dengan “ akal budi sekunder”, dan C.A. Qadir menyebutnya dengan “ akal habitual yang dipraktikkan.
                Pembagian objek ke dalam materiil dan imateriil ini sesuai dengan pembagian filsafat ke dalam fisika dan metafisika. Entitas yang jatuh ke dalam separo jarak antara materiil dan materiil di satu sisi ia imeteriil, tetapi di sisi lain ia dapat dengan mudah berhubungan dengan materi yaitu jiwa.
                Tiap-tiap ilmu berkaitan jenis pembuktian khusus. Dalam metafisika dan matematika kita mencari demonstrasi (Burhan), sementara dalam ilmu-ilmu yang lebih rendah seperti fisika, retorika dan sejarah kita mencari pengakuan, representasi, konsensus atau persepsi indriawi. Kerancuan akan ditemui pada penerapan metode yang salah terhadap persoalan pokok.
                Bagi al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat harus sama sekali tidak mengajukan tuntunan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio,kebangkitan jasmani, mukjizat keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia.
                      Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
             Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan
Konsep Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates.
Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
4.    Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tas}im, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya.  Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai justifikasinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Menurutmu Bagaimana Blog Ini?

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.